Setahun Pandemik: Kawal Orangtua adalah Jalan Ninjaku

#SatuTahunPandemik COVID-19

Share pengalaman susahnya ajak orangtua patuh protokol kesehatan untuk bertahan di masa pandemik.

- A Thread -

Kira-kira begitu cuitannya kalau aku mau menjadikan catatan pandemikku ini dalam sebuah utas di Twitter. Buatku, seperti anak yang menjalani pendidikan pertamanya di keluarga, maka protokol kesehatan juga seharusnya berawal dari keluarga, termasuk orangtua. Dan jujur saja, itu sama sekali gak mudah.

Setahun sejak kasus pertama COVID-19 di Indonesia dikonfirmasi pada 2 Maret 2020, kondisinya hingga Februari 2021 ini kian bikin was-was. Circle pasien positif makin dekat, bahkan klaster keluarga meningkat. Ironisnya, protokol kesehatan malah makin tak terlihat.

Aku pun gak tahu lagi harus bagaimana lihat orang-orang di lingkungan rumah yang sudah bebas ke sana ke mari tanpa masker. Tapi satu hal yang masih terus aku upayakan adalah menjaga ayah, mama, adik, kakak, keponakan, dan saudara-saudara terdekatku untuk tetap menjalani protokol kesehatan. Dibilang cerewet? Pasti! Capek? Ya. Bosan? Tidak.

Ketika seruan #dirumahaja digaungkan sekitar Maret 2020, gak lama setelah pasien COVID-19 pertama di Indonesia diumumkan presiden, di situlah ujianku sesungguhnya. Gak cuma aku, tapi bagi kedua orangtua yang usianya jelang 60 tahun, 'lockdown' sungguh masih sangat baru. Bukan hal yang mudah buatku meminta mereka untuk tidak ke mana-mana, apalagi keduanya aktif banget dalam kegiatan beragama. Ibuku bisa tiga kali dalam seminggu ikut pengajian dan ayahku gak pernah bolong lima waktu berjemaah di masjid. Lalu ketika tiba-tiba harus meminta mereka di rumah, sungguh tak tega.

Ayahku pernah setengah lumpuh selama dua tahunan, karena saraf kejepit. Di sela rintihan tiap harinya, hanya satu pinta yang selalu ku dengar. "Ayah ingin bisa jalan lagi cuma biar bisa ke masjid." Rembes mata ini tiap kali mengingatnya.

Membombardir WA keluarga dengan link berita COVID-19

Memaksa ayah LDR dengan masjid yang amat dicintainya adalah tantanganku di awal pandemik. Gak bisa main putus. Ibarat lagi cinta-cintanya, tiba-tiba dipaksa berjauhan, pasti berat, kan? Karena panik, aku frontal membombardir grup WA keluarga dengan berbagai link berita terkait COVID-19. Usahaku mental, tentu saja, karena mereka gak kalah gencar membalas dengan nasihat optimistis penuh keyakinan, doa!

Ketika jumlah pasien positifnya masuk belasan orang, aku mengubah strategi dengan cara yang lebih moderat. Alih-alih link berita, aku memilih mengirimkan infografik dan video-video yang lebih mudah dipahami terkait apa yang harus dilakukan agar terhindar dari corona. Aku juga gak langsung melarang pakai kata-kata, tapi lebih sigap menyiapkan masker dan sajadah untuk dibawa ayah ke masjid. Setiap pulang, Ayah mungkin bosan ketika aku selalu memintanya cuci tangan pakai sabun dulu sebelum kami menyalaminya. "Cuci tangan dulu, mau salim!" Begitu kataku tiap Ayah pulang, pakai nyengir pastinya.

Berbeda dari Mama yang mudah memahami situasinya, Ayah kami memang lebih sulit. Seperti bapak-bapak lain yang grup WA-nya kebanyakan jokes garing dan pesan hoax, Ayah pun termasuk golongan yang auto-ketrigger sama konten-konten provokatif terusan dari grup sebelah. Isi WA-nya didominasi pesan berantai yang intinya menyebar paham COVID itu gak ada. Biasanya, kalau gak penting-penting amat, aku malas menanggapi postingan ayah, tapi kali itu tidak. Tiap foto, artikel, dan video aku buka dan lihat isinya. Jika ada yang gak tepat, aku coba cari artikel atau video untuk meluruskannya. Berasa tim cek fakta. Kawal terus, pokoknya!

Mendampingi Mama yang suka nonton berita pun jadi lebih intens ku lakukan. Kami sering diskusi soal kebijakan-kebijakan pemerintah terkait COVID-19. Lebih tepatnya ikut ngedumel sama pernyataan-pernyataan gak jelas mereka, sih, hihi. Mamaku eks-simpatisan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada masanya. Demen politik. Kalau gak karena jadi Bhayangkari, mungkin dulu bisa nyalon. Makanya, ini jalan ninjaku untuk ajak Mama peduli prokes.

Hamdalah, upayaku perlahan membuahkan hasil, terutama ketika para ulama mulai bersuara. Misalnya, ketika AA Gym menyerukan salat di rumah aja, sungguh sangat berpengaruh. Jujur saja, untuk tipe seperti orangtuaku ini, kata-kata ulama lebih ampuh daripada pemerintah.

Namun pastinya, masa-masa sosialisasi itu pasti gak mulus. Selisih pendapat dan gaya komunikasi beda generasi bikin kami sering kali saling sewot, bersitegang. Bete karena gak didengarkan, dibilang ribet, cerewet, dan sebagainya, ya biasalah...~ Kalau ala dr. Tirta, gak seru kalau gak ngegas! Tapi, karena jadi lebih sering peduli, disuruh jaga jarak sebab corona kok malah bikin hubunganku dengan orangtua lebih dekat, ya?  Komunikasi kami yang kian hari kian mencair bikin kami bisa makin terbuka dan mengerti satu sama lain.

Selain itu, masih sulit rasanya untuk membuat mereka benar-benar di rumah saja, karena kegiatan di lingkungan pun belum sepenuhnya disetop RT/RW. Mama masih sering diminta untuk mengisi pengajian. Ketika Mama minta vakum dulu, sejumlah ibu-ibu malah nyinyir membalas dengan meme-meme jangan takut corona. Kudu sabar memang. Sementara untuk membuat Ayah beribadah di rumah, aku dan adik yang sudah WFH kala itu sepakat untuk bergerak lebih cepat darinya. Menggelar sajadah dan meninggalkan sejenak pekerjaan jadi aksi kami membujuk Ayah berjemaah di rumah. Hasilnya, dari Maret hingga habis Lebaran, kami sekeluarga full tidak ke mana-mana.

Kukira sudah selesai, tapi tidak kawan! Sejak PSBB transisi hingga saat ini, apa pun istilahnya, lingkungan kami tak kenal lagi corona, tak peduli lagi jaga jarak dan maskeran. Pengajian sudah digelar seperti biasa, bahkan hajatan marak di mana-mana. Ini tantanganku jilid dua.

Saling jaga ketika protokol kesehatan mulai kendor

Ketika kita gak bisa lagi mengandalkan pemerintah untuk tegas soal penerapan pembatasan kegiatan masyarakatnya, maka di situlah, aku pasrah. Aku gak bisa lagi menahan Ayah untuk beribadah di rumah saja atau melarang mama menghadiri undangan hajatan. Tapi yang pasti, aku gak menyerah sama keadaan. Di tengah new normal yang sudah normal banget di lingkunganku, kami sekeluarga masih berusaha untuk terus saling jaga.

Kalau ada penghargaan untuk lansia paling taat protokol kesehatan di RT/RW-ku, aku sih pasti setuju ayah mamaku juara, gak tahu Mas Anang. :)

Mamaku masih pakai masker, bahkan ketika hanya beli sayur di depan rumah. Pengajian yang didatanginya lebih selektif, hanya jika dalam grup kecil atau dekat rumah saja. Tentu menjaga jarak, tidak bersalaman, dan selalu memakai hand sanitizer. Sebagai seorang ustazah, dia pun menggunakan privilege-nya mengingatkan ibu-ibu pengajian untuk selalu pakai masker di mana pun berada.

"Terserah mau dibilang apa," jawab mamaku saat aku tanya bagaimana respons ibu-ibu lain.

Ayah pun begitu. Sudah pensiun dan jauh dari cucu, sehari-harinya ia isi dengan berkebun dan beternak ayam, bebek, juga lele. Pulang-pergi ke kebun selalu pakai masker. Begitu juga ketika ke masjid, tentu saja sajadah tak lupa dibawa. Saat pulang, cuci tangan pakai sabun sudah jadi kebiasaan. Baik ayah maupun Mama berusaha sebisa mungkin menghindari kumpul-kumpul warga. Jika harus datang ke hajatan tetangga, hanya bertemu si empunya dan langsung pulang tanpa makan prasmanan.

Bagi kami yang tinggal di perkampungan, pandemik corona sepertinya bukan lagi momok, atau mungkin memang tak pernah dianggap seperti itu. Teman dan kerabat yang positif kian banyak, tapi makin hari malah makin terbiasa melihat orang lalu-lalang tanpa masker. Terserah, tapi semoga kami istikamah.

Sesungguhnya, doa tanpa usaha itu jumawa. Kalau kata Armin, si jenius dan ahli strategi di anime megahit Attack on Titan, "Ingin doang gak cukup untuk memenangkan perang." Maka, semoga ikhtiar ini jadi pelindung, untuk orangtuaku, tapi tentu juga buat aku, kamu, dan kita semua.

#SatuTahunPandemik adalah refleksi dari personel IDN Times soal satu tahun virus corona menghantam kehidupan di Indonesia. Baca semua opini mereka di sini.

Baca Juga: Kilas Balik Setahun Pandemik: Deretan Langkah Anies Tangani COVID-19

Topik:

  • Umi Kalsum

Berita Terkini Lainnya