Implementasi EV dalam Mendorong Pembangunan Berkelanjutan

Kendaraan listrik, kendaraan masa depan

Electric Vehicle (EV) atau kendaraan listrik mulai ramai diperbincangkan dalam beberapa tahun terakhir. Di seluruh dunia, termasuk Indonesia, pemerintah terus berusaha mendorong masyarakat untuk beralih ke kendaraan listrik.

Walaupun pada kenyataannya, masih sedikit masyarakat yang tertarik menggunakan kendaraan listrik dibandingkan dengan kendaraan konvensional berbahan bakar minyak.

Mengutip dari situs Dephub Kementerian Perhubungan RI, dikatakan bahwa jumlah populasi sepeda motor listrik saat ini kurang lebih mencapai 10.300 yang sudah beredar di masyarakat, dan populasi mobil listrik sudah mencapai angka di atas 1500 unit. Jumlah ini sangat jauh dibandingkan dengan penggunaan kendaraan konvensional yang hampir mencapai total 150 juta unit. Sangat fantastis!

Bisa kita bayangkan, sudah banyak emisi karbon yang disumbangkan kendaraan konvensional yang masuk ke atmosfer setiap tahunnya. Maka dari itu, pemerintah terus berusaha mendorong penggunaan kendaraan listrik yang diharapkan menjadi salah satu solusi atas isu pencemaran lingkungan, yang disebabkan oleh emisi karbon dari kendaraan konvensional.

Tetapi apakah kendaraan listrik benar-benar ramah lingkungan seperti yang kita pikirkan? Untuk itu, kita perlu memahami setiap tahap dari siklus hidup produk kendaraan listrik dan dampak sebenarnya terhadap lingkungan.

Dampak produksi kendaraan listrik terhadap lingkungan

Dikutip dari situs European Environment Agency, dijelaskan bahwa sebagian besar dampak produksi kendaraan listrik terhadap lingkungan berasal dari proses produksinya. Emisi karbon dari industri manufaktur dalam pembuatan kendaraan listrik jauh lebih tinggi daripada kendaraan konvensional.

Lalu, mengapa produksi kendaraan listrik menghasilkan emisi karbon yang lebih tinggi? Hal tersebut dapat terjadi karena komponen-komponen yang digunakan dalam kendaraan listrik membutuhkan lebih banyak energi untuk diproduksi. Misalnya, baterai mobil membutuhkan bahan baku seperti nikel, lithium dan kobalt, yang harus melalui proses penambangan dan akan melibatkan banyak energi.

Mengutip dari situs BloombergNEF, emisi karbon yang dihasilkan dari industri manufaktur baterai di China mencapai 60 persen hingga 85 persen lebih tinggi daripada di Eropa dan Amerika Serikat. Apalagi saat ini, sebagian besar baterai mobil diproduksi di China, yang sebagian besar proses produksinya masih menggunakan bahan bakar fosil.

Dampak mengendarai kendaraan listrik terhadap lingkungan

Kendaraan listrik sering kali disebut sebagai kendaraan bebas emisi. Kendaraan listrik memang tidak memiliki gas buang dari sisa pembakaran kendaraan. Namun, kendaraan listrik membutuhkan pengisian daya baterai secara teratur, sebab masih banyak pengguna kendaraan listrik yang masih menggunakan tenaga listrik dari bahan bakar fosil. Jadi, meskipun kendaraan listrik menghasilkan nol emisi karbon, mereka tidak sepenuhnya bebas emisi.

Kabar baiknya, kendaraan listrik ternyata bisa bebas emisi. Lalu, bagaimana caranya? tenaga listrik yang dihasilkan harus bersumber dari energi terbarukan, seperti energi surya.

Jika sudah menggunakan energi terbarukan dalam setiap prosesnya, kendaraan listrik sudah pasti akan menghasilkan biaya lingkungan yang jauh lebih rendah. Dengan nol emisi karbon, kita akan bebas dari pencemaran lingkungan.

Jadi, apakah kendaraan listrik benar-benar ramah lingkungan?

Tentu saja, kendaraan listrik jauh lebih ramah bagi lingkungan dibandingkan kendaraan konvensional. Kendaraan listrik tidak menghasilkan emisi karbon secara langsung, jika energinya dihasilkan dari sumber terbarukan, seperti tenaga surya.

Walaupun kendaraannya sudah ramah lingkungan, tetap saja masih banyak infrastruktur yang harus dibenahi. Melalui 1000 Aspirasi Indonesia Muda, saya berpendapat bahwa pemerintah harus meninjau pembangunan infrastruktur terkait kendaraan listrik ini, dengan cara:

  1. Meningkatkan penggunaan energi terbarukan. Pemerintah Indonesia diharapkan mulai beralih ke energi terbarukan dalam memenuhi kebutuhan listrik. Elektrifikasi kendaran bermotor ini perlu diiringi dengan peningkatan kapasitas pembangkit listrik tenaga energi terbarukan, seperti PLTS di tanah air.
  2. Pemberian subsidi dalam pembelian kendaraan listrik. Harga kendaraan listrik harus jauh lebih murah daripada kendaraan konvensional agar elektrifikasi kendaraan bermotor dapat dipercepat dan masyarakat bersedia untuk beralih ke kendaraan listrik.
  3. Pembangunan Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum. Pemerintah bersama Perusahaan Listrik Negara harus mendorong pengembangan Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) dengan membuat fasilitas pengisian daya kendaraan listrik, seperti ultrafast charging. Hal tersebut dilakukan agar memudahkan konsumen pemilik kendaraan listrik untuk mengisi daya baterai kendaraan listrik mereka.

Melalui Presidensi G20 Indonesia, saya menaruh harapan besar pada pemerintah Indonesia dan negara anggota G20 untuk mendorong penggunaan kendaraan listrik di seluruh dunia. Diharapkan dalam waktu kurang dari sepuluh tahun, semua kendaraan konvensional akan berganti menjadi kendaraan listrik.

Jika kendaraan listrik ini mulai diimplementasikan, maka tujuan nomor 12 dari Sustainable Development Goals (SDGs), yaitu konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab dengan menjamin pola produksi dan konsumsi yang berkelanjutan akan tercapai pada tahun 2030.

Mari kita bersama-sama berkontribusi dalam mendukung transisi energi dan menyukseskan implementasi kendaraan listrik di Indonesia dan seluruh dunia, sesuai dengan tema KTT G20, yaitu “Recover Together, Recover Stronger”, dimana kita harus pulih lebih cepat dan bangkit lebih kuat.

Baca Juga: Akselerasi Kendaraan Listrik, Honda Hadir di Rangkaian Acara G20

Alfian Nurhidayat Photo Verified Writer Alfian Nurhidayat

an anthropologist in the milky way

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Ananda Zaura

Berita Terkini Lainnya