[Opini] Sirik Gara-Gara Instagram?

Instagram sebagai sebuah ilusi, apa yang kita lihat belum tentu menunjukkan tentang dirinya

 

Mungkin banyak di antara kita, bahkan saya sendiri, pernah merasa iri hanya karena melihat postingan seseorang di instagram pribadinya. Sering sekali terbersit dalam benak kita ketika melihat beberapa postingan yang diunggah oleh beberapa teman seperti:

“Wih! Enak banget dia liburan. Lah gue? Di rumah doang!”

“Hp-nya baru dong!”

“Gaya tuh si dia nongkrong terus.”

“Udah ganti lagi aja tuh pacarnya.”

Dan beberapa komentar lain yang memang tidak pernah kita ucapakan dengan mulut kita, tapi nyatanya selalu muncul dalam kepala kita, bahkan tanpa kita sadari.

Saya tidak akan mengatakan apakah hal itu salah atau benar. Pun saya pun kerap melakukannya, karena itu tadi, kalimat-kalimat itu muncul begitu saja tanpa saya sadari. Toh kita adalah pengguna internet yang terdidik yang tidak dengan begitu saja mengirim komentar apa yang ada di kepala kita tanpa pikir panjang. Menurut saya sah-sah saja bergumam karena memang tidak merugikan pihak yang bersangkutan. Tapi, hal yang kemudian muncul adalah rasa tidak nyaman dalam diri kita sendiri.

Ini lah yang akan saya diskusikan.

Sudah menjadi tren bahwa orang-orang zaman now mencari tempat liburan yang ‘instagrammable’, bukan lagi mencari ketenangam di tengah padatnya aktivitas. Untuk apa mencari tempat yang instagrammable? Tentu untuk mendapat foto yang bagus agar dapat diunggah ke instagram masing-masing. Tak tanggung-tanggung, 1000 foto pun diambil demi mendapat satu saja yang ‘bagus’ untuk diunggah. Hebat bukan?

Rasanya saya tidak perlu lagi menjelaskan apa itu media sosial, atau secara khusus apa itu instagram. Semua sudah tahu dan sudah mahir menjalankan aplikasi yang satu ini. Instagram banyak digunakan untuk "bersosial", dalam hal ini saya artikan sebagai media untuk mengetahui cerita, kisah, kabar, keadaan, atau hal terkini dari orang yang kita kenal tanpa perlu kita cari tahu — karena dengan sendirinya orang tersebut akan menunjukkannya.

Seperti halnya foto tadi, di antara 1000 foto toh hanya satu saja yang diunggah, tidak semuanya. Seseorang hanya akan menunjukkan ‘kisah’ terbaiknya saja, tidak semua kisah hidupnya dia umbar. Alhasil kita hanya melihat sisi terbaik seseorang — yang kemudian menimbulkan pernyataan bahwa dia hidup dengan ‘bahagia’.

Kita tidak pernah tahu apa cerita dibalik foto itu. Barangkali ada perjuangan yang berat di balik foto bahagianya — menabung mati-matian dengan menyisihkan uang jajan demi bisa jalan-jalan, atau ke sana ke mari mencari kawan agar tidak terlihat sendirian. Seseorang tidak akan menceritakan itu dalam fotonya, menyinggungnya pun tidak.

Apa gunanya kita sirik? Kita hanya menyaksikan episode terbaik hidupnya saja. Kita lihat ia berlibur selama seminggu penuh di luar negeri. Tapi apa kamu tahu 51 minggu lainnya ia habiskan untuk apa? Sama sepertimu! Berangan-angan menanti kapan liburan selanjutnya datang agar bisa diceritakan kembali di Instagram.

Pun kita melakukan hal yang sama. 51 minggu yang membosankan kita habiskan di depan gawai masing-masing melihat orang lain bahagia. Tiba giliran kita untuk bahagia, dengan penuh semangat kita bagikan momen tersebut di Instagram.  Kemudia muncul pernyataan dalam benak orang yang melihatnya:

“Wah dia lagi liburan tuh. Enak banget hidupnya!”

Sayangnya ia tidak pernah tahu bahwa 51 minggu yang lain kita melakukan hal yang sama seperti yang mereka lakukan: berangan-angan.

Allisa Waskita Photo Writer Allisa Waskita

Unpredictable writer interested in exploring various topic.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya