[OPINI] Krisis Eksistensial: Kita ‘Hidup’ Atau Sekadar ‘Ada’?

Mengapa kita tidak memaknai hidup dengan lebih sederhana?

Membicarakan hidup rasanya bukanlah suatu hal yang dapat dituntaskan dalam satu pembahasan. Bukan pula suatu hal yang dapat dijelaskan dalam satu kalimat atau bahkan satu paragraf yang padu. Bukan pula suatu hal yang dapat ditarik benang merahnya dan didapatkan kesimpulannya begitu saja.

Membicarakan hidup itu suatu hal yang rumit. Mencangkup ranting-ranting yang bercabang serta akar-akar yang berserabut tipis. Membicarakan hidup benar-benar bukanlah suatu hal yang mudah. It takes a lot of times, plenty of efforts also an endless amount of personal experiences.

Meski demikian, dalam proses bertransformasi menjadi dewasa, nyatanya mempertanyakan kehidupan adalah suatu hal yang sudah biasa terjadi. Sesuatu hal yang sangat lumrah untuk terjadi. Karena dengan bertambahnya usia serta meluasnya pola pikir, kita kerap menghadapi masa-masa di mana kita mempertanyakan makna dari kehidupan. Makna keberadaan diri kita sendiri.

Kita kerap mempertanyakan hal seperti :

Apa alasan di balik keberadaan kita di dunia ini?

atau sesederhana pertanyaan :

Mengapa kita hidup?

Dan hal inilah yang disebut sebagai fase krisis eksistensial, di mana kita mulai mempertanyakan makna dari kehidupan dan keberadaan kita di dunia. Di mana kita mulai merasa seperti hampa, tersesat dan tak tahu arah. Di mana kita ingin mencoba untuk mengenali diri kita sendiri lebih dalam lagi.

Sekali lagi, memaknai kehidupan bukanlah suatu yang mudah untuk dilakukan. Memaknai kehidupan sebenarnya lebih terasa seperti sebuah perjalanan dalam mengenali diri sendiri. Lebih terasa seperti salah satu rangkaian proses dalam pendewasaan diri.

Krisis eksistensi sendiri sebenarnya dapat dilatarbelakangi oleh berbagai macam alasan. Namun yang paling umum biasanya dilatarbelakangi oleh fakta bahwa kita kerap merasa tak benar-benar menghidupi kehidupan kita sendiri. Bahwa kita terlalu sering mengorbankan kepentingan pribadi untuk orang lain di sekitar kita. Bahwa kita kerap kali tanpa sadar justru membuat diri kita sendiri tenggelam dalam lautan penyesalan yang tak berujung.

Maka ketimbang sibuk meraba-raba suatu hal yang semu dan tak pasti, mengapa kita tak mencoba untuk memaknai kehidupan dengan cara yang jauh lebih sederhana saja? Dengan meninjau dari akar permasalahan yang ada? Dengan mencoba menarik perlahan-lahan sedikit benang merah yang dapat kita temukan?

Mengapa kita tak memaknai kehidupan dengan cara yang lebih mudah? Sebatas menjalani hidup sesuai dengan apa yang kita mau. Sebatas benar-benar memiliki hak penuh atas diri kita sendiri. Sebatas mengetahui porsi untuk diri sendiri dan orang lain. Sebatas menciptakan kebahagiaan sendiri dan benar-benar menikmati setiap proses dan momen yang sedang berlangsung dalam hidup kita.

Karena pada dasarnya, kehidupan itu merupakan sebuah hal yang kita hidupi, sebuah hal yang seharusnya menjadikan kita nyata. Tidak bisa benar-benar menghidupi kehidupan kita seperti yang kita mau dan atas kehendak diri kita sendiri sama saja dengan tidak benar-benar hidup.

Seakan jati diri kita dirampas dan hidup kita diinvasi. Dan pada akhirnya, itu sama saja dengan kita hanya sekadar berada di dunia. Kita tidak benar-benar menghidupi kehidupan kita sendiri.

Terlalu mengutamakan kepentingan pribadi memang bukan hal yang baik, namun terlalu sering mengorbankan diri sendiri untuk kepentingan orang lain terkadang juga bukanlah suatu keputusan yang baik. Terkadang menjadi sedikit egois bukanlah hal yang buruk, dan terkadang memilih untuk mendahulukan kepentingan pribadi kita terlebih dahulu juga tak lantas menjadikan kita jahat.

Jika kita bisa menakar porsi yang tepat untuk kepentingan pribadi dan orang lain, serta dapat menentukan dengan bijak kapan waktu yang tepat untuk mengutamakan kepentingan pribadi dari kepentingan orang lain maka kita bisa jauh lebih bisa merasakan hidup yang sebenarnya. Kita dapat berpikir dengan jauh lebih jernih dan sedikit demi sedikit mulai mengurangi beban yang berada di kedua pundak kita.

Dan yang terpenting, pada akhirnya kita bisa merasa nyata dan jauh lebih hidup.

Baca Juga: Ini Opini Millenial di Kaltim Soal Jokowi yang Kembali Jadi Presiden

Amira Kartika Photo Verified Writer Amira Kartika

I found writing as one of the best method to help me calming the chaos in my mind.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Merry Wulan

Berita Terkini Lainnya