[OPINI] Efek Domino dalam Miskonsepsi Solidaritas

Seperti apakah pemaknaan solidaritas yang sebenarnya?

Solidaritas. Kata solidaritas mungkin bukanlah suatu kata yang baru di telinga kita. Kata yang satu ini merupakan satu di antara ribuan kata yang sering kali kita dengar sehari-hari. Suatu kata yang bahkan kerap kita tanamkan dalam diri agar mampu sukses pada setiap kegiatan bersosialisasi dalam suatu kelompok.

‘Solidaritas’ memang hanyalah sebuah kata. Pemaknaan dan pengaplikasiannya akan bergantung seutuhnya kepada pemahaman serta bagaimana tiap individu memaknai kata ini. Namun kenyataannya, pemaknaan kata solidaritas lebih umum disalahartikan oleh kebanyakan orang.

Kata solidaritas ini terkadang justru dijadikan sebagai tameng dalam pembenaran aksi yang sebenarnya pun tak patut dibenarkan untuk dilakukan. Dijadikan sebagai tameng dalam penyeragaman preferensi, perspektif, hingga prinsip dari tiap-tiap anggota kelompok. Bahkan terkadang kerap kali juga dijadikan sebuah media dalam pemenuhan ego serta kepentingan orang-orang tertentu di dalam kelompok tersebut.

Orang-orang ini lantas memaknai solidaritas sebagai suatu keseragaman dan generalisasi dalam kelompok. Sehingga hal-hal seperti diversitas atau keberagaman justru kerap kali dipandang sebelah mata dan dianggap layaknya sebuah hama yang mengganggu. Sesuatu yang perlu diberantas keberadaannya hingga ke akar-akarnya.

Perbedaan bukanlah suatu hal yang dapat dipahami dan layak dimaklumi oleh orang-orang yang memaknai solidaritas dengan cara ini. Bagi mereka, untuk dapat dikatakan solid maka kita harus bisa menyesuaikan diri dengan mayoritas anggota dalam kelompok tersebut. Kita dituntut untuk dapat berlari seirama dengan mayoritas anggota dalam kelompok ini. Dan tentu saja kita diharuskan untuk tetap seragam dalam hal preferensi, perspektif hingga bahkan prinsip dalam hidup.

Maraknya miskonsepsi tentang solidaritas inilah yang menyebabkan tak sedikit orang merasa bahwa kata solidaritas sebenarnya hanyalah sebuah omong kosong. Hanyalah permainan anak-anak yang benar-benar tak sesuai dengan prinsip hidup orang-orang yang sudah dewasa. Hanyalah salah satu media dalam rangka pemenuhan ego serta kepentingan orang-orang tertentu di dalam suatu kelompok.

Oleh karenanya, kata solidaritas-pun seakan semakin kehilangan esensinya. Bahkan eksistensinya pun kerap kali diragukan kebenarannya oleh kebanyakan orang.

Padahal kenyataannya, tak sedikit pula adanya kelompok-kelompok yang memaknai solidaritas dengan pemaknaan sebagai suatu rasa kesatuan kepentingan bersama dalam kelompok. Sebuah pemaknaan yang sebenar-benarnya dari solidaritas. Sebuah penerapan konsep solidaritas yang murni, tanpa adanya bumbu-bumbu tambahan yang tak perlu dan terkadang justru berpotensi merusak cita rasa aslinya.

Namun sekali lagi, karena jumlahnya yang tak seberapa jika dibandingkan dengan orang-orang yang menyalahartikannya, kelompok-kelompok ini justru terasa sangat tak tersentuh, asing dan semu. Kelompok-kelompok ini bahkan kerap disalahpahami sebagai kelompok yang terlalu naïf dan penuh dengan kepalsuan.

Seperti reaksi berantai atau efek domino, pada akhirnya pun kita secara tak sadar terjatuh dan ikut menyalahartikan kata solidaritas ini. Kita kerap menganggap miskonsepsi solidaritas yang terjadi di sekeliling kita ini sebagai bentuk solidaritas yang sebenarnya. Sebagai pemaknaan solidaritas yang sebenar-benarnya.

Dan fakta bahwa kebanyakan dari kita lebih terbiasa memaknai suatu hal ditinjau dari bagaimana bentuk mayoritas-nya pun semakin memperburuk keadaan yang ada. Karenanya, kita justru berakhir dengan jatuh kepada sebuah miskonsepsi berkepanjangan. Dimana kita melupakan esensi sebenarnya dari hal ini dan lebih terfokuskan kepada nilai-nilai buruk yang menutupi permukaannya. Nilai-nilai buruk yang jika kita mau sebenarnya dapat kita kesampingkan dan singkirkan keberadaannya.

Miskonsepsi solidaritas mungkin memang lebih banyak terjadi di sekeliling kita, namun hal itu seharusnya tak lantas menjadi alasan kita dalam memandang negatif kata solidaritas ini. Solidaritas bukanlah sebuah kata berkonotasi negatif. Bukan juga sebuah kata yang pantas diartikan sebagai suatu paradoks. Kekeliruan kita dalam mengartikannyalah yang sudah seharusnya perlu kita perbaiki. Cara pandang kitalah yang sesekali perlu kita ubah.

Baca Juga: [OPINI] Alasan Mengapa Mahasiswa Berperan Penting Bagi Kemajuan Bangsa

Amira Kartika Photo Verified Writer Amira Kartika

I found writing as one of the best method to help me calming the chaos in my mind.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Novaya

Berita Terkini Lainnya