[OPINI] Gagalnya PSBB: Remang-remang Transparansi dan Minim Edukasi

Jangan kebanyakan selebrasi, ayo saling mengedukasi

Sejumlah 24 daerah di Indonesia sedang "berlomba-lomba" menerapkan kebijakan populer di tengah pandemik COVID-19. Kebijakan itu dikenal dengan nama PSBB, kepanjangannya Pembatasan Sosial Berskala Besar. Sampai hari ini (26/5), PSBB belum membuahkan hasil.

Adapun 24 daerah yang menerapkannya terdiri dari dua provinsi dan 22 kabupaten/kota. Antara lain; DKi Jakarta, Jawa Barat, Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi, Kota Depok, Kota Bogor, Kabupaten Bogor, Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan dan Kabupaten Tangerang.

Kemudian Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kota Cimahi, Kabupaten Sumedang, Kota Tegal, Kota Surabaya, Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Gresik, Kota Malang, Kabupaten Malang, Kota Batu, Kota Makassar, Kota Pekanbaru, Kota Banjarmasin dan Kota Tarakan.

Jumlah kasus terkonfirmasi positif COVID-19 di kawasan PSBB belum ada yang tuntas. Sama halnya dengan daerah yang tidak menerapkan kebijakan ini. Memang ada beberapa daerah terkesan kasusnya melandai dalam pengumuman yang disampaikan tiap harinya oleh juru bicara pemerintah Kolonel Achmad Yurianto.

Tapi apakah benar itu bisa menjadi rujukan bersama oleh masyarakat? Jawabannya ternyata tidak. Selama ini pemerintah belum memberikan data gamblang untuk penanganan pandemik SARS CoV-2 kepada publik. Bisa dibilang masih remang-remang. Bahkan masyarakat hanya diminta di rumah saja tanpa diberi kepastian berupa transparansi.

Lho bukannya data yang diumumkan wujud transparansi? Iya itu salah satunya. Tapi perlu dicatat secara seksama bahwa hingga saat ini pemerintah belum pernah menunjukkan kurva epidemi dan kurva prediksi. Kurva yang diumumkan setiap hari itu hanyalah perihal kasus, bisa disebut itu kurva declare. Kurva ini mengumumkan kasus yang sebenarnya sudah diambil swabnya tiga sampai lima hari yang lalu. 

Sebenarnya masyarakat tidak terlalu butuh dengan bantuan sembako maupun tunai di tengah pandemik ini. Toh, kata "bantuan" itu juga tidak pantas. Ingat, pada pembukaan UUD 1945 mensejahterahkan dan menolong rakyat ialah kewajiban pemerintah tanpa terkecuali. Jadi lebih pantasnya sebutan bantuan itu hak saja.

Terlepas dari itu, nyatanya masyarakat lebih butuh kepastian daripada bantuan. Kepastian kapan klimaks dan antiklimaks wabah. Andai saja, pemerintah lebih jujur dan adil dalam pemaparan data, masyarakat akan teredukasi. Keoptimisan akan muncul kembali, masyarakat tak lagi berharap belas asih pemerintah melalui sembako dan uang ratusan ribu rupiah itu.

Ditambah lagi, media. Harusnya mereka mendesak pemerintah segera membuka dua kurva yang selama ini disembunyikan, yakni epidemi dan prediksi. Karena dua kurva ini penting. Seperti kurva epidemi, masyarakat akan tahu mengenai reproduksi virus yang menjangkit seseorang disuatu kasus. Kemudian melalui kurva prediksi dapat dihitung puncak penularan dan selesainya.

Mungkin banyak yang menganggap pemerintah tidak punya dua kurva ini. Padahal mereka memilikinya di tiap-tiap provinsi. Pakar-pakar epidemiologi telah bekerja keras membuat analisa lewat kurva-kurva, tapi sains masih dikesampingkan dalam penanganan COVID-19. Pemerintah sibuk selebrasi dalam membuat kebijakan pembatasan-pembatasan.

Tembok berupa aturan pembatasan itu tidak perlu dibangun. Yang perlu diwujudkan sebenarnya ialah kesadaran bersama. Kuncinya pada transparansi dan edukasi ke masyarakat. Jika dua hal itu dilakukan sedari awal, maka asas gotong royong yang menjadi tagline bumi nusantara ini akan terwujud dengan sendirinya.

Toh, rakyat Indonesia ini sudah pintar, mereka akan melek jika pemerintah menyampaikan data secara gamblang dan jujur alias transparan. Sehingga kesadaran harus bertahan berapa lama di rumah akan muncul. Transparansi ini akan menciptakan kepastian. Polesan edukasi berupa protokol kesehatan COVID-19 menyempurnakan kesadaran bersama untuk memutus mata rantai penularan virus.

Kalau tetap tidak transparan, sampai kapan terkurung di dalam rumah tanpa kepastian?

Ardiansyah Fajar Photo Writer Ardiansyah Fajar

Malu ah

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Novaya

Berita Terkini Lainnya