Unboxing Kado di Tengah Pandemik COVID-19

Refleksi #SatuTahunPandemik COVID-19

Mulutku seakan tergembok. Mataku terbelalak. Sedangkan jari-jariku menggeser layar ponsel yang penuh dengan ‘Breaking News’. Mandi yang seharusnya membuat badanku segar, justru berubah gerah. Rasa ingin marah tak bisa. Hanya umpatan khas Suroboyoan yang berkecamuk dalam batin.

Iya. Waktu itu, Presiden Joko ‘Jokowi’ Widodo baru saja mengumumkan kasus COVID-19 pertama di Indonesia pada 2 Maret 2021. Tak ada satu pun komentar yang aku lempar di WhatsApp Group (WAG) ponselku. Aku hanya terus mengamati. Mencari tahu awal mula virus SARS CoV-2 bertandang ke negeri ini.

Semua media memberitakan, kalau corona telah menginfeksi dua perempuan yang merupakan ibu dan anak di Depok, Jawa Barat. Pemberitaan awal hanya seputar itu. Dilanjutkan ajakan tidak boleh panik. Presiden dan menteri kesehatan saat itu, Terawan Agus Putranto, sesumbar kalau negara sudah siap menghadapi si virus.

Kesiapan itu rupanya omong kosong belaka. Setahun ini corona telah menjadi pandemik. Lajunya tak memperlihatkan grafik melandai. Sebanyak 1,2 juta lebih orang berkenalan dengan COVID-19. Dan, 34 ribu lebih di antaranya harus terenggut nyawanya. Pembatasan-pembatasan dengan pelaksanaan tidak begitu ketat, berganti-ganti nama diterapkan pemerintah. Mulai dari Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) dan terbaru, PPKM Mikro.

Pembatasan itulah yang memaksa kita beraktivitas dari rumah. Mulai dari ibadah, bekerja hingga sekolah. Sebagai seorang jurnalis, aku harus memutar otak. Beradaptasi mencari berita jarak jauh. Agar tetap produktif, mulailah aku menerapkan jurnalis “wartel” dari kosku yang ada di Surabaya. Corona-corona-corona mewarnai lini masa selama berbulan-bulan. Setiap hari harus memproduksi pemberitaan itu.

Virus itu tak masuk ke tubuhku. Tapi ke mimpiku. Dia menghantuiku, sampai pernah suatu malam aku kesulitan bernafas. Leherku bak tercekik. Aku pun terbangun dari tidurku. Rasanya aneh tapi nyata. Telapak tangan segera kutempelkan ke keningku. Mengecek apakah badanku demam. Karena itu salah satu gejala COVID-19. Ternyata aku baik-baik saja, kemudian aku menyempatkan minum air mineral dan tidur lagi.

Segeralah kuceritakan pengalaman ini di WAG IDN Times Jatim. Ternyata aku tidak sendirian. Dua rekanku, Fitria dan Dida juga mengalami pengalaman yang persis. Dalam satu tim, kami semua sedang dihantui si virus. Secara perlahan rasa itu mulai hilang dengan sendirinya. Kebijakan yang tak kunjung membuahkan hasil nyata membuatku sudah malas diam di kos.

Aku menggerutu. Sia-sia berdiam diri di kos tapi yang lain tetap beraktivitas. Bahkan pejabat masih mengundang awak media dalam acara seremonial. Belum lagi calon kepala daerah yang getol memasarkan dirinya ke masyarakat. Padahal, sudah ada imbauan kampanye daring. Imbauan itu memang diterapkan tapi hanya sesaat. Kebanyakan dari mereka tetap menyapa warga sambil bagi-bagi kaus dan masker bergambar wajahnya.

Daripada menggerutu melulu, lebih baik mencari informasi beasiswa liputan atau fellowship. Aku sudah kangen banget buat turun lapangan lagi. Seorang teman pun memberitahukan kalau ada fellowship bertemakan pekerja migran yang diadakan Infest. Sesegera mungkin aku menyiapkan bahan untuk pengajuan proposal. Awal Agustus, proposal ku kirim via email. Pihak panitia menjanjikan peserta terpilih akan dihubungi awal September. Memasuki bulan sembilan, berulang kali aku cek kotak masuk email tapi tak ada satu pun dari Infest. Yang ada hanya pemberitahuan soal perpanjangan work from home (WFH) dari Mbak Desy Ratnasari, head POPs kami.

Aku sempat putus asa, rasanya imunku menurun. Apalagi aku baru saja putus cinta. Tapi aku percaya sedih dan senang datangnya tak jauh-jauh amat. Sekitar pertengahan September hadiah pertama datang. Infest mengumumkan enam jurnalis terpilih fellowship. Salah satunya aku. Sebelum liputan, kami yang terpilih mengikuti pelatihan daring selama tiga hari berturut-turut untuk pematangan.

Memasuki Oktober, aku bersiap menuntaskan fellowship. Rencana yang aku susun bulan lalu sudah matang. Lagi-lagi ada kendala. Kali ini bukan urusan asmara. Namun urusan kesehatan. Ada sesuatu yang tidak beres di bagian intimku. Aku belum berani bilang ke siapa-siapa. Merasa masih kuat beraktivitas, berangkatlah aku ke Ponorogo untuk liputan pekerja migran.

Tujuanku waktu itu ke Desa Pondok, Ponorogo. Di sana ada mantan pekerja migran yang sekarang ini menjadi guru sekolah dasar (SD). Namanya Nonik. Kisah heroiknya sangat layak diangkat, yakni memperjuangkan identitas berupa akta kelahiran anak-anak pekerja migran. Hasil liputan itu aku tuangkan di IDN Times Jatim.

Tuntas fellowship dan uang Rp5 juta telah cair, segeralah aku ke rumah sakit untuk periksa. Rupanya dokter merekomendasikan kalau aku harus naik meja operasi. Aku bingung harus bagaimana, meski sebagian biaya sudah ditanggung asuransi kesehatan dari kantor. Akhirnya aku bertemu dengan teman kuliahku, Yurike namanya. Di perkopian dekat kampus Universitas Negeri Surabaya (Unesa) aku mulai curhat soal asmaraku selama beberapa tahun belakang.

Curhatan itu membuatku sedikit lega, walau aku belum cerita kalau sedang sakit dan akan operasi. Pikirku, buat apa cerita wong dia bukan siapa-siapaku. Lagian gak enak juga harus ngerepotin orang lain. Sebelum operasi, aku sengaja menawarkan diri menemani Yurike yang ingin ke Kebun Binatang Surabaya. Dia mengaku sudah lama tidak berkunjung ke sana. Aku juga penasaran bagaimana objek wisata sewaktu pandemik begini.

Sepulang dari situ, hujan turun. Kami berdua harus berteduh. Hujan mulai reda, irama keroncong mulai terdengar dari perut. Aku mengajak Yurike mencari makan. Dia tertarik berburu ramen di Kawasan Kayoon. Penjualnya asli orang Jepang. Tak perlu ba-bi-bu aku melajukan sepeda motor Scoopy-ku ke sana. Rasa lega seharian bermain dengan kawan yang sudah satu tahun tak berjumpa. Malamnya, aku ke rumah sakit sendirian, menjalani operasi.

Usai operasi aku langsung pulang ke kos. Aku pun mengabarkan kondisiku ke orangtua. Tengah malam mereka menjemputku. Dibawalah aku pulang ke Lamongan. Beberapa hari aku harus rawat jalan. Bolak-balik ke dokter untuk check up. Selain orangtua, Yurike mendampingiku ke rumah sakit untuk konsultasi pascaoperasi. Dia sempat menangis dan menyesal gak bisa menemani saat aku operasi. Ia menyimpan marah karena aku tak memberitahu kalau sedang sakit.

Setelah dinyatakan mulai pulih, aku mengajak Yurike ke Kota Batu. Di tengah pandemik yang masih merajalela, kami bedua sepakat hanya berkunjung sebentar. Tak perlu ke tempat wisata yang ramai, cuma mampir ngopi di salah satu café ala-ala vintage. Ternyata aku sedang jatuh cinta lagi. Aku segan menyampaikan ke Yurike. Sorotan matanya juga mengisyaratkan kalau ia ada rasa ke aku. Mungkin aku sedikit ke-geer-an juga.

Kami berdua mulai intens berkirim pesan lewat chat WhatsApp (WA). Mengabarkan kondisi masing-masing. Memberi perhatian dan semangat satu sama lain. Termasuk ketika aku sedang menggarap karya 10 tahun kepemimpinan Wali Kota Tri Rismaharini pada November 2020. Waktu itu aku mengangkat kisah pengusaha tempe, Jarwo, yang merupakan warga asli Dolly. Dia mengisahkan perkembangan eks distrik lampu merah di Kota Pahlawan.

Karya itulah yang membuatkan mendapat kado kedua di tengah pandemik. Alhamdulliah menjadi juara pertama lomba jurnalis di Surabaya. Semangat untuk berlomba kian menggebu. Terlebih ada Yurike yang kerap kali mengirim semangat buatku. Aku tancap gas ikut lomba tingkat Jawa Timur yang digelar Lumbung Pangan. Kali ini aku dapat kado ketiga. Menjadi juara ketiga lomba tersebut.

Yurike ikut bangga, begitu juga kedua orangtuaku. Tapi di akhir Desember badai kembali menerpa. Aku harus berkenalan dengan COVID-19. Mulanya aku berniat futsal, tapi hujan deras. Aku mengurungkan niat. Malam hari, justru badanku demam. Berkelanjutan selama empat hari. Memasuki hari kelima demamku turun, tapi lidahku sudah mati rasa. Makanan semuanya hambar. Hidungku tidak bisa mencium bau apapun termasuk parfum dan minyak kayu putih. Ternyata aku terkonfirmasi positif.

Selama 14 hari aku menjalani isolasi mandiri. Aku bercumbu dengan virus corona. Memasuki hari ke-15, aku dinyatakan negatif COVID-19. Aku bersyukur terbebas dari si virus, Yurike juga bersyukur kalau aku sudah pulih kembali. Aku pun bersiap menjemput hadiah-hadiah lagi di tengah pandemik ini. Hadiah spesial yang aku kejar saat ini adalah Yurike dan restu orangtuanya.

Pada awal Februari ini, meski masih pandemik COVID-19, aku memberanikan diri melamar Yurike. Ternyata, lamaranku diterima kedua orangtuanya. Bagiku, Yurike menjadi kado spesial di pandemik ini. Asmaraku seperti Undaan-Jambangan, gak usah genda’an langsung lamaran (gak perlu pacaran langsung lamaran). Kami berencana melangsungkan pernikahan bulan 11 tahun ini. Semoga semesta merestui. Amiin.

#SatuTahunPandemik adalah refleksi dari personel IDN Times soal satu tahun virus corona menghantam kehidupan di Indonesia. Baca semua opini mereka di sini.

Baca Juga: Pandemik dan Keluarga Kecilku

Topik:

  • Umi Kalsum

Berita Terkini Lainnya