[OPINI] Mengapa Aku Benci Sekolah Tapi Suka Belajar - Bagian 1

Ketika seorang millennial dihadapkan dengan dunia terbuka tapi terkekang oleh pemikiran tertutup. Bagaimana hasilnya?

 

The world is moving so fast these days that the man who says it can’t be done is generally interrupted by someone doing it. — Elbert Hubbard

Ada seorang millennial yang lahir sekitar tahun 1995 di Surabaya. Dia lahir di keluarga yang baru saja menikah setahun sebelumnya, membawa harapan besar (?) sebagai anak pertama yang akan menjadi panutan bagi saudara-saudaranya.

Setidaknya dalam “pendidikan” dan “kedudukan”, anak pertama sering diharapkan dan akan sangat wajar jika memiliki derajat yang lebih tinggi daripada saudara-saudaranya yang lebih muda, bahkan daripada saudara sepupu yang lain (dalam keluarga besar). Terkadang orang tua pun rela memberi budget lebih besar kepada anak pertama dalam banyak hal: pendidikan, mainan, makanan, kursus dan sampai-sampai perhatian. That’s right, affection is a commodity that can be distributed tooSomehow keadaan seperti itu seringkali membentuk anak pertama yang lebih cerdas daripada saudaranya yang lain. Ada studinya lho, ini untuk yang lebih suka dalam bentuk riset.

Begitu pula dengan orang ini, setelah saya kutip dari orang tua dan guru-gurunya, sejak kecil sudah menunjukkan kemampuan yang lebih baik di usia yang lebih muda daripada teman-temannya. Mulai hitung-hitungan, membaca, olahraga maupun interaksi dengan orang-orang di sekitarnya. Lalu itu juga yang menjadi alasan kenapa orang tuanya memutuskan untuk mendaftarkannya ke SD di usia yang belum cukup pada saat itu.

 

Belajar

Nilai sempurna, atau minimal nilai sembilan, sudah menjadi kebiasaan bagi anak itu. Dia juga menikmati rangking-rangking tiga besar yang selalu disabet tiap semester dan dia cukup berbangga atas pencapaiannya. Matematika, PPKn, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, apapun mata pelajarannya, lembar-lembar ujian itu selalu diikuti dengan angka satu, nol, atau sembilan (kecuali Bahasa Jawa, pelajaran itu hanya milik anak-anak yang rajin dan pandai menghafal).

Memang, menghafal bukanlah field terbaiknya. Anak itu lebih menyukai belajar dengan menalar, dengan mencoba-coba dan dengan memvisualisasikan. Keingintahuannya juga cukup besar, dia sering bikin repot orang tuanya dengan menanyai hal-hal yang trivial seperti mengapa kucing punya empat kaki, dimanakah kiblat itu, mengapa harus sekolah, sampai hal-hal yang fundamental seperti siapakah Allah, dimanakah surga dan neraka, bagaimana matahari bisa terbit dari timur dan tenggelam di barat setiap harinya, dan lain-lain.

Sampai pada suatu hari ketika tantenya pulang dari Mesir dan membawa satu tas besar super berat berisi bermacam-macam ensiklopedia. Matanya menyala-nyala. Dibawanya tas besar itu ke dalam kamar lalu menjadikannya bahan bacaan setiap hari. Buku-buku itu baginya cukup menarik untuk dibaca, karena tidak penuh dengan tulisan namun ada satu-dua ilustrasi di tiap beberapa halamannya. Meskipun ditulis dengan bahasa Inggris, dia sudah menyiapkan buku kamus di sampingnya untuk mencari kata-kata yang tidak dipahaminya. Tidak pernah dalam hidupnya dia menemukan harta karun seberharga itu. Semua itu terjadi di kelas 4 SD.

Setelah menamatkan semua buku-buku itu, suatu hari dia diantarkan oleh bapaknya ke sumber harta karun yang lain. Persewaan buku. Dipilihlah satu buku yang memang sudah ia sukai sejak film pertamanya rilis. Harry Potter. Seperti biasa, kamus besar milik bapaknya selalu menemaninya dalam perjalanannya ke Hogwarts. Satu persatu dihabiskannya sampai buku kelima dan itu adalah buku terbaru. Half Blood Prince belum rilis.

Minat baca anak itu tidak terbendung, namun yang paling ia sukai, yang dapat menyalakan matanya paling terang, adalah buku ensiklopedia. Mulai dari yang bergambar sampai yang tidak bergambar sama sekali seperti Encyclopedia Americana. Kakeknya memiliki satu set lengkap dan satu-persatu juga ia baca.

Yang bikin heran, anak itu jarang atau tidak pernah terlihat “belajar”. Magically nilai rapornya bisa menyamai nilai rapor teman sekelasnya yang belajar dengan susah payah — les kesana kemari. Atau memang haruskah dia belajar dengan susah payah? Harus les kesana kemari?

Mungkin tidak. Mungkin anak itu memiliki cara belajarnya sendiri.

Dia belajar matematika dengan sedikit mendengarkan guru lalu banyak mencoba-coba sendiri, yang kemudian memberikan pembelajaran lebih daripada sekedar mendengarkan atau membaca. Dia belajar Bahasa Indonesia dengan membaca novel, membaca kamus, menulis puisi dan bahkan dia bisa belajar Bahasa Indonesia melalui tulisan-tulisan di koran. Dia belajar IPA dengan membaca ensiklopedia dan mengamati kejadian-kejadian di sekitarnya lalu menghubungkannya dengan apa yang dia baca di buku. Dia belajar Bahasa Inggris, tenses dan vocabulary, dengan membaca novel dan ensiklopedia berbahasa Inggris. Dia belajar PPKn selain dari buku pelajarannya, juga dari pengamatannya di dalam keluarganya, teman-temannya di sekolah, teman-temannya di tempat mengaji, dan lain-lain.

Apakah “belajar” adalah ketika dia membaca buku pelajaran sekolah, mendengarkan gurunya berbicara dan mengikuti segala kegiatan sekolah? Mungkin iya bagi orang lain. Namun baginya lebih dari itu.

Baginya “belajar” adalah apapun yang dapat membuatnya berpikir dan mengetahui hal baru. Baginya “belajar” adalah ketika dia bisa bangun tengah malam demi bisa bebas mengamati periode daerah gelap bulan secara langsung tanpa disuruh bapaknya tidur. Baginya “belajar” adalah ketika dia mencoba-coba rumus keliling persegi panjang dan menemukan cara menghitung yang lebih cepat.

Baginya “belajar” adalah mencoba dan gagal lalu bangkit.

Baginya “belajar” adalah sumber cahaya dari gelapnya ketidaktahuan.

 

Mencontek

Sekolah pasti memiliki ujian atau ulangan sebagai alat untuk mengevaluasi murid-muridnya. Tidak terkecuali sekolah dasar dimana anak itu belajar. Dia pun, sama seperti teman-temannya, mempersiapkan diri dalam menghadapi ulangan akhir semester. Ulangan mata pelajaran pertama dikerjakan dengan baik, meskipun sempat mengantuk karena harus menunggu waktu ulangan habis untuk bisa istirahat di luar kelas. Namun ada yang aneh di mata pelajaran yang kedua. Jika oleh pengawas sebelumnya bahkan untuk sekedar menoleh saja sudah ditegur, pada saat itu dia melihat teman-temannya bertukar jawaban.

Lalu sang guru berkata, “Jangan rame-rame ya.”

Saat itu juga anak itu merasa dikhianati. Dia merasa hakikat “belajar” yang telah ia cintai ternoda oleh ucapan guru tersebut. Baginya kegiatan contek mencontek itu sendiri sudah cukup hina, apalagi kegiatan contek mencontek yang didukung oleh seorang guru, seorang manusia yang harusnya mengajarkan nikmatnya belajar itu sendiri, seorang manusia yang memberi contoh kebaikan dan memperbaiki penyimpangan, seorang manusia yang menjaga kebersihan ilmu.

Baginya mencontek adalah tindakan hina, karena itu adalah upaya mendapatkan sesuatu yang bukan miliknya. “Masak gak belajar bisa dapet nilai bagus?”. Mencontek juga mengakibatkan ketidakadilan di antara pelajar lain. Bayangkan, ketika si Fulan belajar susah payah semalam sebelum ujian hanya untuk mendapatkan nilai 80, si Fulanah bisa mendapatkan nilai 90 hanya dengan mencontek. Super evil.

Ini masih di ulangan harian, pikirnya. Kalau di ujian masuk SMP Negeri? Ada berapa banyak anak jujur yang harus “mengalah” dengan anak-anak yang mencontek?

Lalu itu terjadi terus menerus sepanjang minggu.

Bahkan pada saat hasil ulangan dibagikan, tidak sedikit mata pelajaran yang nilainya lebih kecil dibanding teman-temannya yang mencontek. Dia kalah oleh orang yang mencontek, dia kalah oleh orang yang harusnya tidak menang. Akhirnya semester itu dia tidak bertahta di rangking tiga besar. Gurunya pun sempat menanyakan alasan mengapa rangkingnya turun. Dia hanya diam.

Lalu itu terjadi terus menerus sepanjang tahun, sampai Uji Kendali Mutu di tahun 2006 (ujian kelulusan yang nilainya digunakan untuk seleksi masuk SMP Negeri).

Pengawas ujian juga memperbolehkan peserta ujian saling bertukar jawaban dengan syarat yang mudah: “Jangan rame”. Untuk melengkapi kejadian ironis itu, sebelum ujian, gurunya meminta agar dia tidak pelit untuk memberikan jawabannya ke teman-temannya. Saling membantu, ujarnya.

Pada bagian hidup itulah anak itu menyadari bahwa “belajar”, bagi sekolah, bukanlah tentang menjadi lebih baik, bukanlah tentang cara berhitung, bukanlah tentang memahami alam dan manusia. “Belajar”, bagi sekolah, adalah tentang angka-angka yang tertera di ijazah dan lima huruf yang ditulis besar-besar:

L, U, L, U, S.

 

[Baca: BAGIAN 2]

Arfian Adam Photo Writer Arfian Adam

Member IDN Times Community ini masih malu-malu menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Ernia Karina

Berita Terkini Lainnya