Plagiarisme: Kesalahan Tak Termaafkan dalam Karya Tulis

Mengaku nulis, taunya copas. Duh, malu...

Sebagai platform yang mewadahi karya-karya tulis Millennials dan Gen Z, IDN Times Community tak melepas tanggung jawab untuk menjaga kualitas karya tersebut yang kemudian ditampilkan di halaman idntimes.com. Setiap bulannya, IDN Times Community menerima ribuan tulisan. Jumlah sebanyak itu tidak menjamin semuanya adalah karya orisinal dari sang penulis. 

Inilah mengapa kami sangat ketat dalam proses kurasi — agar setiap karya yang lolos terbit adalah tulisan-tulisan terbaik yang juga patut dibanggakan oleh penulisnya sendiri. Dalam hal ini, salah satu poin kualitas yang dinilai adalah apakah artikel yang dikirim penulis merupakan hasil tulisannya sendiri atau bukan. Jika diketahui tulisan tersebut adalah hasil copas alias plagiat, maka sudah pasti tulisan tersebut tidak akan diterbitkan.

Kita harus benar-benar serius saat membicarakan soal plagiarisme

Plagiarisme kita pahami sebagai bentuk pencurian ide yang amat sulit dimaafkan. Di dunia akademik, praktik plagiarisme ini dipantau dengan ketat karena berkaitan dengan gagasan para akademisi yang telah mempelajari bidangnya selama bertahun-tahun kemudian merumuskannya menjadi sebuah teori baru.

Di dunia kreatif pun, pencurian ide tidak bisa diterima. Setiap pembuat karya pasti punya proses kreatif masing-masing, mulai dari mencari inspirasi, mengumpulkan bahan, hingga dibuat menjadi sebuah karya. Panjang prosesnya. Makanya, banyak yang bilang bahwa ide itu mahal sehingga tidak sepatutnya sebuah karya kreatif dijiplak.

Bayangkan seperti ini, kamu sedang jatuh cinta lalu terbesit beberapa kata indah dalam kepala kemudian kamu untai kata-kata tersebut jadi sebuah puisi yang menyentuh hati. Puisi itu viral di media sosial. Tapi, suatu ketika kamu dapati puisi buatanmu itu muncul di akun orang lain dan ia mengaku itu adalah karyanya.

Sedih? Marah?

Nah, itu hanya sedikit akibat dari praktik plagiarisme. Namun, sebelum jauh membicarakan dampak dari praktik pencurian tak kasat mata ini, kita harus paham dulu sebenarnya apa, sih plagiarisme itu dan sejauh mana sebuah karya bisa termasuk ke dalam praktik tersebut.

Mengawasi praktik plagiarisme bukan hal yang mudah

Plagiarisme: Kesalahan Tak Termaafkan dalam Karya TulisUnsplash.com/@benchaccounting

Kalau merujuk pada definisinya berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), plagiat adalah pengambilan karangan (pendapat dan sebagainya) orang lain dan menjadikannya seolah-olah karangan (pendapat dan sebagainya) sendiri, misalnya menerbitkan karya tulis orang lain atas nama dirinya sendiri; jiplakan.

Namun, beberapa individu dan lembaga pendidikan punya batasan plagiarisme itu sejauh mana. Oxford University misalnya, menyatakan bahwa ‘parafrasa’ termasuk dalam praktik plagiarisme jika tidak mencantumkan referensinya. Begitu pula dengan MIT yang mewajibkan mahasiswa untuk menuliskan sitasi jika mereka melakukan parafrasa.

Sekarang ini, tak bisa dimungkiri bahwa di internet ada milyaran artikel yang tersebar. Praktik plagiarisme pun sangat amat mungkin terjadi — apalagi bagi orang-orang yang baru menggandrungi dunia menulis. Merasa bisa mengakses banyak informasi, lantas dengan mudahnya sekadar memindahkan kalimat yang ada dalam artikel referensinya tersebut ke board menulisnya sehingga seolah-olah itu adalah tulisan karyanya sendiri.

Di satu sisi, milyaran artikel di internet tersebut akan memudahkan editor untuk mengecek orisinalitas tulisan yang diterima. Namun, di sisi lain, sulit juga mengukur sebaiknya sejauh mana penulis bisa mengutip sebuah informasi untuk tulisannya dan menemukan ide tulisan agar tidak terjebak dalam jurang penjiplakan.

Kira-kira, ada 3 tanda besar yang menunjukkan bahwa sebuah tulisan adalah hasil plagiat sehingga tidak layak diterbitkan.

Baca Juga: Artikel Listicle vs Narasi, Ini Lho Perbedaannya!

1. Satu kalimat utuh yang terindikasi mirip dengan tulisan lain sudah dianggap bentuk plagiarisme

Editor menempuh beragam cara untuk mengecek apakah sebuah tulisan plagiat/copas atau tidak. Jika ketahuan satu kalimat saja sudah terindikasi mirip dengan tulisan di website lain, otomatis editor akan menolak tulisan tersebut. Dengan kata lain, copas utuh satu kalimat adalah bentuk plagiarisme yang tidak termaafkan.

Sebagai contoh, tidak sedikit penulis yang merujuk informasi dari Wikipedia sehingga menjadikannya sumber utama untuk tulisan. Kita semua tentu sebenarnya sudah paham bahwa Wikipedia sejatinya adalah portal ensiklopedi yang siapa pun bisa menyuntingnya — sehingga tidak sepatutnya menjadi rujukan utama untuk sebuah tulisan.

Oleh karenanya, kami sangat melarang penulis yang hanya menggunakan Wikipedia sebagai sumber informasi tulisannya. Lebih menggemaskannya lagi, tidak sedikit penulis yang sekadar menyalin-tempel (copy-paste alias copas) kalimat-kalimat dalam Wikipedia secara utuh. Ketahuan seperti ini, sudah tentu tulisannya akan ditolak oleh editor karena dua kesalahan: menjadikan Wikipedia sebagai sumber rujukan utama dan copas kalimat di dalamnya.

2. Urutan isi tulisan yang dibolak-balik dari artikel yang disontek

Jelas ini adalah praktik plagiarisme. Sudah idenya menyontek, isinya pun sama persis dengan artikel rujukannya. Kadang penulis dengan cerdik hanya membolak-balik urutan isi tulisannya sehingga seolah-olah seperti tulisan baru.

Pula, meski kalimat penjelasannya tidak sama, hal ini tetap dianggap sebagai plagiarisme oleh editor. Ini disebut dengan praktik plagiarisme parsial, di mana penulis hanya mengambil beberapa bagian dari tulisan lain kemudian “menuliskannya” kembali dalam karya tulisnya sendiri.

3. Sekadar menerjemahkan satu artikel berbahasa Inggris atau bahasa asing lainnya pun termasuk plagiarisme

Ya, tentu saja. Mengalihbahasakan artikel berbahasa asing itu sama saja dengan menjiplak tulisan tersebut meski dengan bahasa yang berbeda — baik itu keseluruhan artikel atau sebagiannya, misalnya satu paragraf. Pula, meskipun di dalam tulisan tersebut disebutkan sumbernya, tapi jika tidak mendapatkan izin dari penulis aslinya itu sama saja plagiat.

Soal alih bahasa seperti ini biasa kami temukan untuk artikel-artikel berita KPop, sains, kesehatan, dan teknologi. Keempat kategori ini memang informasinya banyak sekali tersebar di internet, apalagi untuk sains dan kesehatan yang biasanya kami anjurkan para penulis untuk merujuk pada sumber ilmiahnya — tidak cuma satu, tapi setidaknya lebih dari 2 sumber. Namun, masih banyak yang pada akhirnya sekadar menerjemahkan artikel dari sumber-sumber tersebut.

Bagaimana editor bisa tahu bahwa artikel itu cuma translate? Mudah saja. Cirinya bisa diketahui dari:

  1. Susunan kalimatnya sama persis dengan konteks yang mirip pula
  2. Paling kentara adalah jika ada kata-kata yang ‘aneh’ dalam susunan kalimatnya bila dibahasaindonesiakan. Yang seperti ini biasanya penulis bukan menerjemahkan konteks kalimat melainkan mengartikan kata demi kata dalam kalimat tersebut

Meski berdalih tidak sengaja, namun sebaiknya penulis belajar memahami plagiarisme

Plagiarisme: Kesalahan Tak Termaafkan dalam Karya TulisPexels/Startup Stock Photos

Memang, seiring banyaknya artikel dan informasi yang tersebar di internet, sungguh riskan ada sebuah tulisan yang bisa sama persis — baik itu idenya, isinya, maupun bagian kalimatnya. Apalagi untuk informasi-informasi umum, misalnya kalimat-kalimat dalam tulisan resep: cincang bawang putih kemudian tumis dengan minyak secukupnya sampai harum.

Hal ini yang kadang membuat penulis “terjebak” dalam praktik plagiarisme, padahal maksudnya tidak seperti itu. Bahkan bisa saja penulis tidak menyadari bahwa kalimat yang ditulisnya itu mirip dengan tulisan lain yang sebenarnya tidak pernah ia baca sebelumnya. Maka, demi menghindari tuduhan plagiarisme, memang seharusnya penulis pun harus paham bagaimana membuat tulisan yang baik.

Bagaimana caranya?

Plagiarisme: Kesalahan Tak Termaafkan dalam Karya Tulisunsplash/Christin-Hume
  1. Baca banyak referensi, pahami setiap gagasan dari tulisan yang dibaca. Cari ide pokoknya kemudian rangkaikan dalam satu kalimat yang kamu tulis sendiri
  2. Jika melakukan parafrasa, ketahui kata-kata kunci dalam paragraf yang hendak disalin — jangan sampai kata itu hilang karena bisa mengakibatkan misleading atau sesat pemahaman. Kemudian jangan lupa cantumkan sumber rujukan dari kalimat yang diparafrasa tersebut
  3. Jika menemukan ide yang mirip, coba kamu cari sudut pandang lain untuk membahas ide tersebut sehingga menjadi gagasan yang baru. 

Sampai sini, semoga kamu sudah paham dengan praktik plagiarisme dalam kepenulisan kreatif. Ingat, meng-copy paste artikel lain adalah kesalahan paling tidak termaafkan dalam sebuah karya tulis. Hukuman ringan yang akan didapat barangkali adalah tulisanmu tak lagi dilirik oleh editor. Sedangkan hukuman beratnya bisa jadi karya tersebut berujung di meja hijau. Tidak keren bukan?

Baca Juga: 5 Alasan Menjiplak Karya Orang Lain Itu Bukan Hal yang Keren

Topik:

  • Arifina Budi A.
  • Ernia Karina

Berita Terkini Lainnya