[OPINI] Yang Perlu Kita Bicarakan Saat Membincangkan Bullying

Ide di balik kumpulan cerpen IDN Times

Jakarta, IDN Times - Seiring semakin rutinnya kita mengakses media sosial, disadari atau tidak, semakin marak pula perilaku bullying atau perundungan yang terjadi. Baiklah, beberapa tahun terakhir ini jagat maya maupun nyata, amat rajin membincangkan kasus bullying. Namun, diskusi tersebut rupanya belum sepenuhnya bisa meredam kasus itu.

Merujuk data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada Mei 2019, semakin banyak kasus perundungan yang dilaporkan masyarakat. Bahkan, kasus perundungan di ranah pendidikan berada di peringkat tertinggi dalam kasus yang ditangani KPAI. Itu baru kasus yang ketahuan terjadi di sekolah. Sedangkan, kasus bullying di kalangan orang dewasa yang terjadi di kantor, tempat umum, hingga dunia maya, bisa jadi tak kalah banyaknya.

Bullying disebut-sebut menjadi salah satu penyebab hebat menurun nya kondisi psikologis seseorang. Sayangnya, kasus ini bukan lah kasus sepele yang bisa kita redam dan musnahkan dari muka bumi dalam kurun waktu singkat. Kita harus benar-benar serius saat membicarakan kasus perundungan ini.

Baca Juga: 5 Hal yang Tanpa Sadar Bisa Menjadi Pemicu Cyber Bullying

1. Pihak yang berkaitan dengan kasus bullying tidak cuma pelaku dan korban

[OPINI] Yang Perlu Kita Bicarakan Saat Membincangkan BullyingDok. IDN Times

Jika membicarakan bullying, selama ini kita cuma fokus pada pelaku dan korbannya. Padahal, banyak penelitian psikologi menyebutkan peristiwa bullying memiliki akar masalah yang begitu dalam, sehingga tak cuma melibatkan dua pihak.

Dan Olweus, profesor psikologi di University of Bergen Norwegia membuat skema lingkaran perilaku bullying yang terdiri dari delapan pihak, yakni pelaku, follower (orang yang ikut merundung), active supporter atau orang yang mendukung bully, passive supporter (orang yang menyukai kejadian perundungan tapi tidak ikut-ikutan merundung), penonton (orang yang masa bodoh dengan kejadian perundungan), potential witness (orang yang menyaksikan perundungan tapi tidak bisa berbuat apa-apa), dan defender (orang yang melindungi dan membela korban).

Dari sini bisa kita melihat bullying merupakan kasus yang begitu kompleks, karena banyak sekali nyatanya pihak yang terkait. Ya, kita pasti sering berada di posisi sebagai passive supporter bukan? Saking banyaknya pihak, akhirnya menjadi bias siapa yang salah dan siapa yang seharusnya menolong. Hal ini membuat orang yang mengalami perundungan menjadi “pasrah”, terhadap apa yang menimpanya dan memilih diam.

2. Karena memang begitu sulit untuk mengungkapkannya

[OPINI] Yang Perlu Kita Bicarakan Saat Membincangkan Bullyingpexels.com/Kobe Michael

Semacam berteriak dalam dunia yang tiba-tiba senyap tak bertelinga, amat sulit membuat orang percaya ada rekannya yang mengalami perundungan. Sebagian orang punya persepsi hal tersebut sekadar “bercanda” dan tidak semestinya ditanggapi serius. Tapi, hati orang siapa yang tahu?

Tim riset dari University of Toronto mengklasifikasikan penyebab mengapa banyak anak-anak tidak berani mengungkapkan dirinya dirundung. Di antaranya adalah sebagian besar kasus bullying tidak terjadi di tempat yang terjamah orang lain, misalnya di gang sempit atau bahkan di media sosial.

Selain itu, banyak anak merasa orang dewasa tidak bisa membantu menyelesaikan masalah bullying tersebut. Bisa jadi pula ia telah mendapat ancaman dari pelaku bully, sehingga membuatnya urung meminta bantuan. Di sisi lain, ia akan merasa semakin dianggap lemah bila membicarakan hal tersebut pada orang dewasa.

Pada akhirnya, bila yang mengalami perundungan terus terperangkap dalam kebungkaman tersebut, kondisi psikologisnya bisa jadi semakin lemah, hingga berujung pada pemikiran bunuh diri. Bila begitu sulit mengungkapkannya, lantas bagaimana harus mengakuinya?

3. Menceritakannya dalam bentuk kisah lain bisa jadi salah satu penyembuhnya

[OPINI] Yang Perlu Kita Bicarakan Saat Membincangkan BullyingPexels/Burst

Di sinilah kekuatan cerita fiksi — bagaimana ia bisa berperan menyembuhkan segala luka atas fakta-fakta yang terjadi. Di saat banyak orang lebih percaya cerita fantasi ketimbang kisah nyata, maka menuliskan kasus-kasus bullying dalam bentuk cerita pendek adalah salah satu langkah preventif yang efisien.

IDN Times dengan semangatnya menjadi the voice of Millennials and Gen Z memiliki pilar-pilar yang menjadi dasar setiap konten yang diproduksi, di antaranya adalah anti-bullying. Pilar ini menjadi semangat untuk memerangi perilaku perundungan, baik di ranah siber maupun dunia nyata, agar anak-anak muda Indonesia berani berdikari dan percaya diri, sehingga Indonesia menjadi bangsa yang terpandang.

Tak mudah menggerakkan hati orang-orang untuk berempati terhadap kasus perundungan ini. Salah satu jalan terbaik adalah dengan mengungkapkan lewat cerita pendek. Atas inisiatif tersebut lah IDN Times Community mengajak Community Writers untuk berkontribusi memerangi perilaku bullying.

Terdapat ratusan cerita yang kami terima dan terpilih 20 cerita terbaik yang diterbitkan secara online dalam Antologi Cerpen IDN Times Community: Jangan Panggil Aku Lemot di platform Storial.co.

Yang kita pikirkan selama ini, bentuk perundungan hanya terbatas pada kekerasan fisik. Padahal, lebih jauh dari itu, bentuk perundungan verbal pun membekaskan luka dalam benak orang-orang yang mengalaminya. Potret semacam ini barangkali sulit kita temui, namun lewat penuturan para penulis dalam cerpen-cerpen ini setidaknya bisa membuat kita sadar, bullying tidak serta merta tampak dampaknya dari luar, melainkan juga apa yang ada dalam pikiran para penyintas.

Cerpen-cerpen terpilih dalam antologi ini diedit Arifina Budi Aswati dan Novaya Siantita, keduanya adalah editor komunitas penulis IDN Times. Tulisan yang dipilih tidak sekadar menyajikan kisah dari sudut pandang mereka yang mengalami perundungan, melainkan sudut pandang lain yang lebih luas. Mulai dari sudut pandang si perundung itu sendiri, active bully, hingga witness atau orang yang menyaksikan bullying dan mencoba membantu korban.

Dari 20 cerpen tersebut, semoga saja dapat semakin membuka mata hati pembaca bahwa kasus bullying atau perundungan — sesepele apa pun — bukan lah kasus yang main-main. Kasus ini begitu kompleks, sehingga perlu langkah-langkah strategis untuk menguranginya.

Kisah yang dituliskan para Community Writers tersebut diharapkan dapat menjadi penguat bagi kawan-kawan yang mengalami perundungan. Ya, amat sulit untuk jujur mengungkapkannya. Bagaimana pun, diri sendiri adalah pahlawan paling besar untuk melawan bullying. Maka, jangan takut untuk bicara.

Jika sulit mengungkapkannya, coba tuliskan. Semoga lukamu luruh lebih cepat dengan begitu. Karena setiap manusia terlahir spesial, jangan beri ruang bagi setan-setan di kepala maupun orang-orang di luar sana meruntuhkan tembok kepercayaan diri yang sudah lama kamu bangun.

Kamu bisa baca kisah-kisah perjuangan melawan bullying selengkapnya di sini storial.co/book/jangan-panggil-aku-lemot

Baca Juga: Buku Kumpulan Cerpen Bertema Bullying Diluncurkan di IWF 2019

Topik:

  • Rochmanudin
  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya