[OPINI] Pendidikan dan Esensi Kemanusiaan

Pendidikan harus menempatkan esensi kemanusiaan di dalamnya

Di penghujung akhir tahun 2019, Indonesia diberi hadiah skor PISA (Program on International Student Assessment) yang begitu-begitu saja. Tidak beranjak posisi 10 besar dari bawah. Dilihat dari model uji PISA ini, memang sulit bila dalam kurun waktu lima tahun, kita bisa masuk ke klasemen 10 besar dari atas, atau bahkan 20 besar sekalipun. Mengapa? Karena PISA berkaitan dengan kemampuan dasar siswa dalam menelaah sesuatu yang dilihat dari daya baca serta kemahiran sains dan matematika. Bukan sekedar hafalan.

Kita harus akui bahwa sistem pendidikan kita masih belum menukik ke perihal yang mendasar, seperti imajinasi dan kreativitas. Para guru, peraih gelar sarjana pendidikan, sepertinya tidak mendapat bekal yang cukup untuk mendidik. Mereka adalah produk pendidikan tinggi 144 kredit yang banyak dijejali target. Ketika masuk pun mereka "dibina" senior yang merasa lebih matang dan lebih mulia. Mereka tanamkan "disiplin" melalui ancaman hukuman fisik yang sering lewat batas. Dalihnya adalah demi kebaikan masa depan sarjana. Apa benar?

Begitu jadi guru, kebiasaan banyak tugas dengan target menggunung tentu berimbas kepada pola pendidikan di sekolah. Diantara tugas pendidikan yang paling mudah adalah memberi PR (Pekerjaan Rumah) yang banyak. Kegiatan siswa akhirnya tersedot oleh kewajiban menyelesaikan tugas semata. Sedikit sekali waktu mereka untuk bercanda, bermain, berkreasi, mengeksplor rasa ingin tahu (kuriositas) yang berkaitan dengan kehidupan. Memang ada beberapa siswa yang menyenangi beban PR itu, tetapi secara umum pola ini akan menurunkan daya kreativitasnya. Akhirnya, tanpa disadari pendekatan beban ini membuat anak-anak terbebani sehingga muncullah rasa malas untuk bersekolah.

Kita tentu sangat setuju dengan keinginan Mas Menteri Nadiem untuk membenahi guru. Bagaimanapun guru adalah sentra dari pendidikan, terutama di tingkat dasar sampai menengah. Siswa akan melihat guru. Guru yang otoriter akan membuat siswa jadi tertekan. Guru yang berpola satu arah, akan membuat siswa pasif. Guru yang membosankan akan membuat siswa mengantuk. Guru yang semangat akan membuat siswa juga semangat. Peran inti guru tidak bisa digantikan oleh alat, termasuk teknologi tercanggih sekalipun.

Guru tentu harus memahami dan menjalankan pemikiran Bapak Pendidikan Nasional Ki Hadjar Dewantara. Ing ngarso sung tulodo (di depan jadi teladan). Ing madyo mangun karso (di tengah membangkitkan karsa). Tut wuri handayani (di belakang memberikan dorongan). Ini luar biasa lengkap. Ketiga fungsi itulah yang wajib dijalankan guru. Tentu, guru yang menikmati tugasny lah yang akan mampu menjalankan fungsinya. Jadi, bukan sekedar penjejalan berbagai macam PR kepada siswa.

Sering kita mendengar bahwa pendidikan di suatu negara adalah cerminan negara itu. Kasarnya, baik buruknya negara akan sangat bergantung kepada mutu pendidikannya. Itulah sebabnya pada tahun 1960 Finlandia mulai sungguh-sungguh membenahi pendidikannya. Alhasil, mereka memetik hasilnya 20 tahun kemudian. Hingga saat ini, Finlandia masuk ke dalam negara teratur, bebas korupsi, tenang, tertib dan bahagia.

Pendidikan memang tidak bisa dilepaskan dari sektor ekonomi dan industri, tetapi tidak berarti itulah tujuan pendidikan. Bila terlalu dibobotkan kepada ekonomi yang cenderung orientasi materi, sulit kita membangun manusia unggul dengan kreativitas sebagai cirinya. Manusia yang akan membangun ekonomi, bukan sebaliknya.

Bila pendidikan terlalu diarahkan untuk ekonomi, maka sektor tenaga kerja akan menjadi indikator keberhasilan. Para siswa akan dijejali aneka target pencapaian keahlian dan ilmu pengetahuan sejak tingkat dasar. Kita harus akui pendekatan ini tidak berhasil, bahkan untuk mencapai indikator kinerja berbasis tenaga kerja sekalipun.

Faktanya dominasi angkatan kerja adalah para lulusan SD. Tentunya kategori tenaga kerja murah yang tidak perlu keterampilan menengah ke atas. Ujung-ujungnya, industri kita tidak kompetitif walau hanya dibandingkan dengan negara Asean saja.

Semua kondisi ini seharusnya membuat kita sadar bahwa pendidikan kita tidak ke mana-mana. Bila dianalogikan dengan sepak bola, kita ngotot untuk memasukkan bola secara garis lurus. Sangat minim strategi. Akhirnya, bukannya kita menghasilkan gol, malah kebobolan yang didapatkan. Sama saja dengan siswa yang dijejali pengetahuan, namun ilmunya tidak berkembang pada saat yang sama menjadi tenaga kerja level rendah. Tidak dapat apa-apa.

Maka kemudian, tentu kita harus merubah strategi dan kurikulum pendidikan. Di tingkat awal (dasar dan menengah) siswa tidak harus banyak dijejali mata pelajaran. Apalagi jika poin per poinnya bisa diperoleh melalui sumber pengetahuan yang saat ini berlimpah. Tetapi kuriositas dan kemampuan berkolaborasinyalah yang harus dipupuk. Selain tentunya kebiasaan saling menghormati, tidak mengambil hak orang lain, disiplin mematuhi aturan termasuk mampu antre juga menjadi poin capaian yang harus diperhatikan. Adapun teknologi dioptimalkan fungsinya hanya untuk mempercepat memperoleh informasi.

Selain itu, kecerdasan majemuk siswa harus tetap menjadi fokus agar terus berkembang. Tidak terkooptasi oleh satu kecerdasan saja dengan menihilkan komponen lainnya. Mereka juga harus terbiasa memelihara lingkungan yang bersih, asri dan hijau. Jangan sampai para siswa tidak bisa membuang sampah sesuai dengan jenisnya, organik atau anorganik, sampah berbahaya, dan klasifikasi lainnya.

Contoh sederhananya bahwa saat ini kita masih sangat lemah dalam hal menangani sampah, sehingga banyak tumpukan sampah di kota-kota. Padahal, kebersihan kota akan menjadi salah satu daya tarik wisata. Selain itu, pembuangan sampah menjadi faktor pemborosan dana daerah. Jadi para pendidik tentu harus paham keterkaitan antara pendidikan dan aspek-aspek kehidupan lainnya.

Jadi, selama pendidikan masih parsial, seolah-olah entitas sendiri, lepas dari aspek kehidupan lainnya. Maka pendidikan itu gagal. Indonesia harus berani mengubah total pendidikan ini dengan menempatkan esensi kemanusiaan di dalamnya. Tanpa itu semua, manusia unggul dan Indonesia maju akan menjadi angan-angan. Sulit terwujud.

Baca Juga: [OPINI] Kenapa Literasi di Era Millennial Merupakan Hal Penting?

Asep Saefuddin Photo Writer Asep Saefuddin

Rektor Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) dan juga Guru besar IPB University. Senang belajar dan diskusi dengan siapapun.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Novaya

Berita Terkini Lainnya