Dilema Nyepi di Bali: Polusi Berkurang, Sampahnya Meningkat Dalam Sehari

Nyepi disebut-sebut sebagai obat ampuh dalam upaya merawat bumi, tapi...

Bali, terima kasih.

Keberanianmu menyepi di era globalisasi, sangat luar biasa bagi alam ini.

Terlepas dari esensimu mengajak kami untuk catur brata penyepian dan mengevaluasi diri melalui tri kaya parisudha. Tak sedikit yang mengakui, udara pagi hari pasca nyepi sangat menyenangkan, segar, bersih tanpa polusi. Belum lagi manfaat hemat listrik yang dirasakan oleh penduduk di Bali.

Saya pernah tahu, terdapat tulisan ilmiah dari seorang abdi pengetahuan bernama Anak Agung Gde Raka Dalem [1] beberapa tahun lalu. Tulisan itu menggambarkan tabel perbandingan jumlah polutan yang di produksi di beberapa wilayah di Bali setiap hari dengan ketika Bali merayakan Nyepi.

Hasilnya tentu saja mudah diduga. Hari raya nyepi yang tanpa aktivitas selama 24 jam berhasil mereduksi jumlah polutan di udara seperti SO2, CO, O3, NO2 dan NO hingga 40% [2]. Siapa yang tidak merayakan segarnya udara pagi hari di Ngembak Geni sehabis Nyepi? Hampir tidak ada.

Semua berbangga. Hanya penduduk Bali satu-satunya di dunia yang bisa bekerjasama untuk menciptakan suasana sedemikian rupa. Nyepi pun disebut-sebut sebagai obat ampuh dalam upaya merawat bumi yang mulai renta.

Banyak pula yang berandai-andai menginginkan Nyepi agar dilakukan lebih sering lagi di lebih banyak lokasi. Apa kalian kalian memiliki pemikiran yang sama? Saya juga.

Sampai akhirnya tukar pikiran dengan seorang kawan menghasilkan pemikiran yang lain.

Nyepi tahun ini, saya habiskan di rumah bersama dengan dua orang kawan, yang sama-sama perantauan dari desa. Kami memutuskan tidak bersama keluarga dengan alasan yang berbeda-beda. Kami menikmati semua kesederhanaan dan indahnya tapa brata penyepian. Hingga pagi harinya kami merayakan Ngembak Geni dengan mengunjungi pantai terdekat dan bermaksud untuk olahraga.

Pantai sudah ramai sekali meskipun saat itu masih sangat pagi. Banyak pemuda dan pemudi desa bersiap untuk memusnahkan ogoh-ogoh representasi dari asurisampad. Lalu, apa yang mengubah pikiran saya terkait duplikasi Nyepi di berbagai lokasi?

Sampah.

Kita boleh saja bangga, senang, bahagia saat menghirup segarnya udara bersih sehabis Nyepi di pagi hari. Tapi, jika kita lebih jeli memperhatikan sekeliling. Indra penciuman kita akan malu akan kemampuan indra penglihatan kita di sepanjang jalan-jalan. Banyak sekali sampah bertebaran.

Terutama di lajur pengarakan ogoh-ogoh sebagai aktivitas bhuta yadnya hingga ke pusat kota. Dapat dipastikan sampah plastik mineral berbentuk gelas dan botol ada di mana-mana. Waaah! Hilang sudah rasa bangga. Rasa malu mulai menyergap.

Jika dipikir secara logika, benar saja. Kita bisa lihat gejala peningkatan konsumerisme dalam menyambut hari raya ini. Kita berbondong-bondong berbelanja, yang dari desa bahkan berbelanja hingga ke kota. Dan yang berdomisili di kota, tak lupa membeli bekal untuk di bawa ke desa.

Swalayan-swalayan, supermarket, minimarket hingga gerai waralaba ramai tak terkira. Antrean menuju kasir panjang luar biasa. Dan bisa dibayangkan, hampir semua jajanan dan bahan-bahan masakan yang terbeli dibungkus plastik! Sayangnya lagi, Negara kita ini masih minim mengenai tata kelola sampah yang baik.

Terlebih lagi, sampah plastik. Kebanyakan sih, seperti yang sudah-sudah selama ini, dibuangnya ke aliran sungai hingga bermuara ke laut Bali yang kita banggakan keindahannya selama ini.

Mungkin kawan-kawan juga sudah melihat atau hanya sekedar mendengar. Nama Bali baru saja tercemar akibat sebuah video viral seorang penyelam berkebangsaan Inggris bernama Rich Horner. Dalam videonya, Rich Horner memperlihatkan ia sedang menyelam di perairan Nusa Penida, tepatnya di Manta Point.

Bukannya keindahan alam bawah laut Bali yang tertangkap kamera, melainkan gumulan sampah plastik di mana-mana. Menyedihkan.

Pengakuan mengenai pelonjakan volume sampah mendekati hari raya juga dilontarkan oleh Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Denpasar, I Ketut Wisada. Dalam wawancaranya, beliau menyampaikan bahwa saat hari normal, volume sampah hanya mencapai 2.700 meter kubik per hari dengan rata-rata setiap orang per harinya menghasilkan sampah 1,4 kilogram.

Namun menjelang hari raya, terjadi kenaikan produksi sampah hingga 60% - 70%. Itu hanya perhitungan sampah individual, belum termasuk dengan sampah kelompok, yakni sampah yang diproduksi selama melasti dan bhuta yadnya. Perhitungan itupun masih terdata dalam satu kota, belum wilayah lainnya.

Dan hanya sebatas kuantitatif sampah plastik, belum lagi sampah organik. Bapak I Ketut Wisada menambahkan, fenomena tersebut biasa dikenal dengan istilah peningkatan sampah luar biasa, terjadi menjelang hari-hari besar seperti hari raya. [3]

Mengingat semua itu, masih pantaskah kita menyebut Bali berkontribusi dalam penyelamatan bumi di Hari Raya Nyepi? Sementara di saat yang bersamaan, justru Nyepi memproduksi sampah plastik yang luar biasa lebih banyak lagi.

Jika hal seperti ini bisa dirumuskan dalam formulasi matematika sederhana, yang bahkan anak di bangku sekolah dasarpun bisa mengerjakannya. Nyepi di Bali adalah NOL. Mengapa? Angka +1 (plus satu) diberikan untuk penurunan polusi, dan harap kita mawas diri menerima angka -1 (minus satu) untuk peningkatan volume sampah, terlebih yang plastik.

Belum lagi fakta bahwa kedua hal tersebut terjadi hanya satu hari, di hari raya Nyepi yang selama ini kita agungkan segala berkah dan amanahnya. Ditambah, kekurangan kita dalam manajemen pengolahan sampah hingga saat ini. Yang tak ayal lagi, justru membuat daftar kekurangan lebih panjang dari kelebihan yang dimiliki.

Semoga, Nyepi kali ini benar-benar menjadi media intropeksi diri. Sejatinya apapun yang terjadi di dunia ini tetap membuat kita tetap memiliki sifat Abhyasa. Abhyasa yang artinya untuk perbuatan baik lakukanlah dan biasakanlah hal itu setiap hari, tidak perlu menunggu Nyepi.

Minimalisir penggunaan plastik, hematlah terhadap air dan listrik, dan mulai bertanggung jawab terhadap kelestarian bumi. Setidaknya, dimulai dari membuang sampah tidak sembarangan. Bukannya sejak kecil kita diajarkan untuk membuang sampah pada tempatnya?

Mengapa justru ketika kita dewasa, kita malah memberi kesempatan pada ego untuk merasakan menang walaupun hanya sementara? Toh, apapun dampaknya terhadap bumi ini, kita juga yang merasakannya.

Selain itu, semoga di kesempatan Nyepi kali ini kita menjadi lebih mawas diri dan mencapai sifat Sthitaprajña. Memulai hidup berkeseimbangan lahir dan batin, tidak terlalu bergembira bila apabila melakukan kebaikan dan mendapat keberuntungan, serta tidak putus asa bila menghadapi kemalangan atau kedukaan.

Selamat hari Raya Nyepi, tahun baru Caka 1940.

Referensi:

[1] A. Raka Dalam, Kearifan lokal dalam pengelolaan lingkungan hidup, Denpasar: UPT Universitas Udayana, 2007.

[2] N. L. R. Tirtawati, "Makna Hari Raya Nyepi Bagi Lingkungan," Lingkungan, pp. 1-5, 10 June 2016.

[3] D. K. d. P. K. Denpasar, "Laporan Volume Sampah Kota Denpasar," Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Denpasar, Denpasar, 2015.

Auditya Sari Photo Writer Auditya Sari

Member IDN Times Community ini masih malu-malu menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Irma Yudistirani

Berita Terkini Lainnya