Fenomena Gunung Es Kasus Kekerasan Seksual, Siapa yang Salah?

Merespons keresahan kita semua akan kasus kekerasan seksual

Seperti gelombang ombak yang saling menyusul, kemunculan berita di Indonesia terus berdatangan untuk bergantian menjadi bahan perbincangan bagi mulut-mulut yang butuh untuk dibasahi dengan obrolan panas. Boomer, milenial, mereka sama saja. Kelompok emak-emak misalnya, yang kali ini dengan hormat saya sebut sebagai sampel dari generasi boomer, identik dengan label sebagai penikmat gosip untuk mengiringi aktivitas mereka yang kebetulan mengharuskan untuk bertemu dengan sesamanya. Dengan cara yang lebih modern, yang milenial juga sama-sama menikmati kemunculan suatu isu dengan antusias. Terlebih dengan adanya media sosial, penyebaran suatu informasi bisa secepat perubahan warna tisu menjadi hitam setelah ditetesi cairan tinta.

Isu yang baru-baru ini populer diperbincangkan dalam kancah permedia-sosialan Indonesia dan memunculkan ratusan pemberitaan media yakni mengenai kekerasan seksual. Bak fenomena gunung es, kasus-kasus kekerasan seksual terus menerus bermunculan menyisakan empati dan keprihatinan yang mendalam bagi siapa pun yang mengetahuinya. Mulai dari kasus pemerkosaan tiga orang anak oleh ayah kandung sendiri, pelecehan seksual oleh dosen terhadap mahasiswanya, sampai kasus pemerkosaan belasan orang santri oleh pimpinan pondok pesantren hingga hamil.

Jika kita ingin membedah fenomena kekerasan seksual ini, kita akan menemukan kompleksitas yang mungkin berujung kefrustrasian. Apa sih sebenarnya yang menyebabkan kekerasan seksual terus terjadi? Sebiadab itukah manusia memperlakukan manusia lainnya? Bagaimana peran negara dalam mengatasi permasalahan ini? Dan deretan pertanyaan dengan jawaban abstrak yang justru menyisakan amarah dalam benak. Kemarahan-kemarahan yang timbul atas fenomena ini kemudian menemukan sub permasalahannya sendiri. Kepada siapakah marah ini layak untuk ditujukan?

Kemunculan peristiwa di atas apabila ditarik ke dalam lingkup yang lebih luas bisa saja berasal dari konstruksi sosial yang ada di masyarakat kita. Sistem dan kultur patriarki, misalnya, yang semakin menyudutkan wanita dengan perilaku-perilaku opresi maupun diskriminatif sehingga keberadaan wanita seperti dilemahkan bahkan tidak dihargai secara setara. Hal ini tentunya merugikan, terutama dalam konteks kekerasan seksual yang mana secara ilmiah dibuktikan korbannya kebanyakan adalah wanita. Selain itu, yang ramai menjadi diskusi adalah pola edukasi terhadap anak perempuan dan anak laki-laki. Kami, sebagai wanita sejak kecil selalu dididik oleh orang tua untuk menjaga diri baik-baik dalam rangka melindungi diri dari peristiwa yang tidak diinginkan. Munculnya kritik dalam pola edukasi ini tidak berlebihan, sebab rasanya memang tidak adil ketika wanita terus-terusan dituntut untuk bisa menjaga diri, sedangkan laki-laki sejak dini tidak diedukasi untuk menghormati wanita dan tidak berbuat semaunya.

Tak sampai di situ, kita juga perlu membahas mengenai peran pemegang otoritas, dalam hal ini negara dalam mengatasi masalah utama kita. Pasalnya, kebanyakan kasus kekerasan seksual yang dilaporkan mandeg begitu saja bahkan tidak sampai ke ranah hukum karena kurang becusnya aparat penegak hukum dalam menjalankan tugasnya. Di samping karena tidak adanya aturan yang mengatur tindak kekerasan seksual tersendiri, munculnya stigma dan perilaku yang justru menyudutkan korban dari pihak kepolisian memang memuakkan. Miris sekali membayangkan nasib korban yang ibarat sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Sudah ia mengalami kerugian karena kekerasan seksual yang ia alami, ia malah harus berhadapan dengan hukum yang tidak adil.

Dari hal-hal tersebut, bisa kita simpulkan bahwa permasalahan ini sangat pelik. Apabila kita ingin mencari siapa yang bisa disalahkan, yang paling tepat adalah para pelaku kekerasan seksual itu sendiri. Saya yakin kita semua berdoa untuk seburuk-buruknya nasib mereka demi keadilan korban. Namun juga bahwa sistem dan konstruksi sosial kita cukup berpengaruh besar dalam menciptakan budaya dan perilaku sosial yang salah.

Problematika sistemik tersebut tentunya sangat penting untuk diperbaiki dalam upaya pemberantasan tindak kekerasan seksual. Lantas, bisakah kita memperbaiki sistem? Ini adalah pertanyaan yang sering saya pikirkan juga. Karena permasalahan sistemik cenderung kompleks mencakup berbagai sektor, rasanya ada banyak sekali yang perlu untuk dikaji secara mendalam dan dicarikan solusinya. Terkesan melelahkan, bukan? Apalagi sistem yang terkonstruksi sudah mengakar dan tumbuh dalam beberapa generasi dan saling memadu dengan budaya. Namun, seperti kata seorang teman, kita sendiri adalah bagian dari sistem, sehingga bukannya tidak mungkin kita mengusahakannya bersama. Yang menjadi PR kini adalah bagaimana agar kita saling berkontribusi dan berkomitmen untuk andil dalam perbaikan sistem ini sehingga tujuan utama kita dapat tercapai.

Baca Juga: [OPINI] Enam Bulan yang Mengubah Wajah Cagar Budaya di Metro

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Indiana Malia

Berita Terkini Lainnya