Fakta di Balik Eksistensi Musik di dalam Imajinasi dan Indera Manusia

Mayor label dan label niche dalam peradaban industri musik

Musik adalah suara yang disusun demikian rupa sehingga mengandung irama, lagu, nada, dan keharmonisan terutama dari suara yang dihasilkan dari alat-alat yang dapat menghasilkan irama. Walaupun musik adalah sejenis fenomena intuisi, untuk mencipta, memperbaiki dan mempersembahkannya adalah suatu bentuk seni. Mendengar musik adalah sejenis hiburan. Musik adalah sebuah fenomena yang sangat unik yang bisa dihasilkan oleh beberapa alat musik. Menurut Bambang Sugiharto, musik merupakan pengalaman sosial, di mana musik mempunyai sistem kerja yang melibatkan orang banyak bagi masyarakat modern. Musik secara misterius juga menunjukan korelasi yang menarik antara bangunan musik tertentu dengan latar sosial dan budayanya, bahkan dengan latar alamnya. Artinya, musik merupakan suatu bentuk daripada gambaran realitas, atau dengan kata lain, realitas yang diartikulasikan melalui musik

Musik mungkin menjadi hal yang familiar bagi semua kalangan masyarakat yang pernah merasakan eksistensinya di dalam imajinasi dan indera kita sebagai manusia. Bagi masyarakat saat ini akses untuk mendengarkan musik adalah hal yang sangat mudah dilakukan, karena media untuk mendengarkan musik sangat beragam yaitu melalui indera pendengaran, event musik, memainkan alat musik, radio, TV, smartphone, earphone, dll. Namun dibalik kenikmatan mendengarkan musik ada sebuah proses yang harus dilakukan oleh kalangan musisi yang melewati beberapa tahapan di dalam produksi musik itu sendiri. Jika kita merefleksikan alat yang paling umum yang kita gunakan saat ini untuk mendengarkan musik adalah teknologi karena dengan alat tersebut kita dapat mendengarkan musik tanpa harus berinteraksi secara langsung dengan para musisi pencipta musik maupun lagu yang kita dengarkan. Teknologi tersebut yang menjadi awal dari perubahan tingkat pola eksistensi musik itu sendiri. 

Budaya populer dalam hal ini berkaitan pula dengan apa yang disebut budaya massa, yaitu budaya yang diproduksi untuk massa yang luas, mengikuti pola produksi massa. Kebudayaan kapitalisme mengembangkan segala sesuatu untuk dikomodifikasikan termasuk seni musik. Musik di era kapitalisme yang didukung dengan informasi teknologi yang canggih telah berkembang begitu pesat. Namun untuk mengetahui pengaruh kapitalisme terhadap beberapa realitas di dalam industri musik tersebut perlu pemahaman di dalam rantai produksi di dalam industri musik. Produk musisi yang telah sampai kepada indera pendengar kita pada umumnya memiliki label masing-masing sebagai alat produksi.

Label tersebut terbagi menjadi 2 yaitu Label Mayor (Major Label) & Label Niche (Label Rekaman). Empat perusahaan musik multinasional seperti Universal music groups, Sony BMG Warner Music Group, dan EMI, menjadi perusahaan raksasa musik dunia, yang disebut “The big four” yang menjadi label mayor dalam industri musik . Mereka menguasai 70% pasar musik di dunia termasuk Indonesia, dan 80% musik di Amerika Serikat. Seluruh Major label ini dimiliki oleh konglomerat internasional yang berbentuk music group dengan perusahaan induk yang menjadi payung bisnisnya. Dengan kehadiran mayor label tersebut sebagai penyedia alat produksi dalam musik mulai dari proses produksi di studio rekaman, lagu diolah melalui proses rekaman yang termasuk tahap mixing dan mastering. Setelah proses tersebut, lagu dikirim ke major label atau perusahaan tertentu untuk didistribusikan ke toko-toko musik dan berbagai perusahaan media.

Dalam perkembangannya mayor label cenderung mendominasi para musisi dalam proses pembuatan karya hingga kepada penentuan segementasi pasar berdasarkan analisa budaya populer atau budaya massa bukan kebebasan ekspresi dan akomodasi karya dari musisi itu sendiri. Hal ini terbukti dalam wawancara bersama Majalah Cobra, Morgue Vanguard menceritakan alasan kenapa dia mendirikan label Grimloc Records. Pria bernama asli Herry Ucok Sutresna ini mendirikan Grimloc bersama kawannya. Alasan utama Herry Ucok Sutresna mendirikan label karena kebutuhan untuk merilis albumnya sendiri. Agar dapat merilis album-album teman-teman disukai oleh teman-temannya. Katalog rilisan Grimloc amat mengesankan, mulai dari merilis ulang album klasik Homicide, album kelompok punk Milisi Kecoa, band hardcore WETHEPEOPLE!, hingga merilis piringan hitam band punk/ hardcore asal Bandung, Hark! It's A Crawling Tartar. Tentu saja sedikit susah membayangkan band-band seperti itu akan dirilis oleh label besar.

Namun perlawanan atas dominasi tersebut tidak akan terhenti oleh dominasi para kapitalis karena di era globalisasi ini, ternyata juga memunculkan subkultur-subkultur dalam kebudayaan dominan. Subkultur yang terlahir dari sub rock memang lebih banyak menciptakan budaya tanding dari mainstreem budaya dominan, baik sosial masyarakat maupun dalam dunia musik itu sendiri. Subkultur semacam ini biasanya masuk dalam scene underground. Istilah underground ini sering kali diartikan dengan karakteristik musik yang keras dan ugal-ugalan. Selain itu, istilah ini juga mengarah pada suatu pergerakkan dimana subkultur ini tidak mau terikat pada suatu korporasi yang mengatur ekspresi seni mereka. Mereka mengembangkan nilai-nilai etika, seperti Do It Yourself (DIY). Subkultur seperti ini merupakan bentuk dari budaya tanding dari budaya dominan yaitu kapitalisme, maupun budaya sosial masyarakat. Seperti kelompok musik Nirvana yang beraliran grunge. Nirvana merupakan kelompok grunge fenomenal sebagai simbol perlawanan terhadap kapitalisme dengan membawakan lagu-lagu dengan tema protes dan menolak menggunakan produk bermerk. Di Indonesia sendiri musisi grunge seperti band Navicula juga identik dengan semangat perlawanan, Subkultur grunge menunjukan sisi kesadarn kritis dengan penolakanya terhadap kapitalisme, grunge menawarkan kebebasan baru dengan memberikan ruang bagi para penganutnya untuk memuntahkan idealisme, kemarahan, kekecewaan terhadap lingkungan, polilik, sosial, bahkan cinta kedalam sebuah hasil karya seni yang tidak hanya bisa dinilai dengan uang tetapi lebih dari itu.

Tidak hanya kebebasan, grunge juga menawarkan sebuah penolakan terhadap sebuah kemapanan yang mereka yakini akan menjebak mereka kedalam sebuah lautan komersilitas yang dilakukan oleh para kapitalis atau lebih dikenal dengan major label. Dengan demikian grunge juga mengembangkan gerakan sosial perlawanan terhadap kemapananan industri musik kapitalisme. Band-band grunge di Indonesia banyak berkembang di jalur indie, hal ini menunjukkan sikap perlawanan terhadap kapitalisme, dengan tidak mendistribusikan musik mereka melalui label major label. Dengan adanya dominasi kapitalisme industri musik tersebut, musik grunge juga tergolong sebagai musik yang termarginalkan dari industri kebudayaan di Indonesia. Tetapi perlawanan tersebut hanya perlawanan atas ketidaksepakatan dalam dominasi para mayor label atas alat produksi dan akhirnya musisi indie yang mewadahi dirinya sendiri sebagai niche label (label rekaman) hanya akan berusaha untuk mempertahankan eksistensinya bukan akumulasi kapitalnya.

Baca Juga: [OPINI] Agar Teman Tuli Juga Bisa Menikmati Film Indonesia

Ben Habel J.J.H. Sihombing Photo Writer Ben Habel J.J.H. Sihombing

Mahasiswa Administrasi Publik Universitas Brawijaya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Novaya

Berita Terkini Lainnya