Bilang ke Dilan: yang Berat Bukan Rindu, Tapi Biaya Pendidikan Kuliah

Dari zaman Dilan hingga saat ini, pendidikan masih tidak bisa diakses oleh semua kalangan

Tentu sebagian besar dari kamu sudah tidak asing bahkan telah sangat terinternalisasi dengan sepenggal kutipan percakapan antara Dilan dengan Milea di atas. Bagi kamu yang mungkin tidak terpapar euphoria ini, tapi sepertinya tidak mungkin sama sekali tidak tahu.

Dilan 1990 sendiri merupakan film asal Indonesia yang diangkat dari novel best-seller berjudul sama. Sebagai film adaptasi, tentu ekspektasi masyarakat terhadap hasilnya bisa jadi sangat tinggi, seperti Harry Potter.

Apalagi alur cerita yang dibangun pada latar waktu tahun 1990an, serta karakter tokoh yang kuat dan terbilang nyeleneh, akan membuat para pembaca setia yang bertransisi menjadi penonton dengan gelora membuncah sekaligus harap-harap cemas.

Sejak penayangan resminya di tanggal 25 Januari kemarin, telah tercatat lebih dari empat juta orang menonton film ini di berbagai bioskop yang ada di tanah air. Sebuah surat kabar bahkan mewartakan, demam Dilan melanda tidak hanya negeri ini. Melainkan pula tiga negara di luar Indonesia.

Kalau memang keriaan ini hasil dari prilaku kolektif, tentu pihak marketing dari film tersebut patut bersyukur karena pekerjaannya telah disokong oleh masyarakat secara cuma-cuma.

Ketika menulis novel Dilan 1990, Pidi Baiq tidak menyangka sekali bahwa karyanya akan melaju dari tinta ke layar. Ketika permintaan untuk mengangkat novelnya ke layar lebar datang, ia tidak serta-merta memberi sinyal positif apalagi mengiyakan. Karena tujuannya yang belum sampai ke sana.

Ia kala lalu mengatakan, jikalau novelnya diangkat ke layar lebar. Karena tidak ingin mengecewakan, maka ia harus menyiapkan waktu khusus untuk menggarapnya. Untuk itu tidak heran bila penulisan skenario dalam film Dilan 1990 juga didominasi dan ditata lewat kerja-kerja Pidi Baiq juga.

Terbukti dari dialog-dialog yang dihadirkan, ia tahu betul mana saja yang menjadi signature dari tiap-tiap karakternya. Contohnya saja soal ekspresi kerinduan Dilan yang diungkapkannya, memang tidak dengan kata-kata biasa seperti yang telah dikutip di atas. Apa jadinya jika itu tidak diperlihatkan atau ditiadakan di layar?

Mungkin akan lahir pasukan patah hati tingkat nasional yang akan mengintimidasi pihak produksi film, atau bahkan akan ada ‘pemogokan’ nonton bioskop. Bukan tidak mungkin, mengingat di zaman sekarang, lazim-tak lazim sepertinya bukan lagi kategori yang relevan menerjemahkan keadaan zaman.

 

yang Berat Itu Bukan Rindu

Ada lebih dari 20 penggal percakapan antara tokoh utama dalam film Dilan 1990 yakni Dilan dan Milea yang berhasil membuat dag-dig-dug, mesem-mesem sendiri, hingga intensi untuk walk-out dari bioskop saking tak sanggup lagi membendung segala rasa yang sulit diterjemahkan ketika dan pasca menonton film tersebut.

Presiden RI, Jokowi dikabarkan ikut menonton hingga baper sendiri. Banyak orang yang kemudian mengaplikasikan dialog-dialog dalam film tersebut di kehidupan sebagai bahan lucu-lucuan, konten sosial media hingga bumbu-bumbu untuk menambah cita-rasa romansa.

Jokowi yang kala itu menonton tanpa didampingi istrinya misalnya, mengungkapkan pada wartawan bahwa ia setuju pada Dilan kalau rindu itu berat; kala itu Iriana Jokowi sedang berada di Solo untuk beberapa hari ke depan.

Ada pula kelompok masyarakat yang tidak setuju atas persepsi Dilan soal beratnya rindu, dengan berbagai alasan. Lucu sekaligus takjub melihat bagaimana film dapat mempolarisasi masyarakat sedemikian rupa menyerupai efek kontestasi politik.

Jika boleh sedikit bersotoy ria seperti kegemaran sejumlah netizen budiman, percakapan yang disampaikan Dilan kepada Milea, tentu tidak terlepas dari kondisi sosial dan ekonomi yang melatari mereka. Rangga dalam film Ada Apa Dengan Cinta misalnya.

Di awal kedekatannya dengan Cinta; meski telah tumbuh benih-benih perasaan yang tidak biasa, namun tidak bisa secara lantang mengungkapkan perasaannya seluwes Dilan. Hal ini diketahui karena Rangga tidak berada dalam kondisi sosial dan ekonomi yang sebaik Dilan.

Ayahnya merupakan bekas tahanan politik era 1998, yang kemudian membuat kondisi sosialnya tidak pernah benar-benar stabil. Kondisi sosial ini pula yang membuat keluarganya tidak pernah benar-benar bisa berkegiatan ekonomi secara stabil, dan kemudian melahirkan kondisi ekonomi yang tidak pernah benar-benar stabil pula.

Untuk itu mungkin bagi Rangga, yang berat itu bukan rindu, tapi menstabilkan kembali kondisi sosial dan ekonomi keluarganya. Untuk itu, seperti yang digambarkan pada film, ia dan keluarganya terpaksa harus meninggalkan Indonesia untuk sementara dan menepikan rindu-rindu yang ia alami untuk Cinta.

Bagaimana dengan Dilan? Ia dengan latar waktu 1990an digambarkan sebagai anak seorang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Seperti yang kita ketahui, TNI di masa itu menempati posisi strategis dengan kondisi sosial dan ekonomi yang bahkan dijamin kestabilannya oleh negara.

Mungkin hal ini yang kemudian melatari Dilan untuk lebih ‘berani’ mengekspresikan perasaannya ketimbang Rangga. Ia tidak pernah diperlihatkan telat membayar SPP, atau mengutangi gorengan ibu kantin, apalagi tidak masuk sekolah berhari-hari karena tidak punya ongkos.

Dilan dan Milea telah selesai dengan persoalan subsistensinya. Sehingga rindu seolah jadi momok. Dengan kondisi sosial dan ekonomi yang terbilang baik-baik saja bagi keduanya, sepertinya melanjutkan pendidikan seharusnya jadi mudah bagi mereka.

Apalagi anak 1990-an diketahui mulai memikirkan urgensi pendidikan tinggi serta perguruan tinggi mana yang kemudian menjadi favorit. Dalam cerita Dilan dan Milea ini, sepertinya mereka terlampau living the moment hingga jarang membicarakan tentang masa depan.

 

Begini Dik Dilan, Dik Milea dan Adik-adik di Luar Sana...

Sejumlah orang sepakat bahwa pendidikan akan membawa masyarakat untuk bisa hidup lebih baik. Namun dari zaman Dilan hingga saat ini, pendidikan tidak benar-benar terlihat sebagai sesuatu yang dapat diakses oleh semua kalangan.

Perdebatan mengenai apakah pendidikan merupakan hak atau keistimewaan yang masih sering kita dengar hingga saat ini, menunjukkan kecondongannya pada kemungkinan terakhir. Riset World Economic Forum (WEF) tentang biaya kuliah di sejumlah negara menunjukkan bahwa untuk mengakses pendidikan, dibebankan ongkos yang tidak murah.

Untuk itu hanya mereka yang memiliki uang banyak atau keistimewaan tertentulah yang kemudian bisa mengaksesnya, salah duanya mungkin, ya Dilan dan Milea itu. Dengan kondisi ekonomi yang mendukung, sayang sekali bila masa depan mereka sebatas ingin hidup berdua selamanya.

Atau menarik mengetahui di antara keduanya ada yang kemudian mengalami kejatuhan, sehingga harus bangkit dan menemukan solusi yang paling memungkinkan baginya.

Tiap tahunnya, peminat perguruan tinggi semakin bertambah. Terdapat hampir 800 ribu orang yang hendak masuk perguruan tinggi di tahun 2017 lalu, meningkat sekitar 200 ribuan orang dari tahun sebelumnya. Data ini baru dari perguruan tinggi negeri.

Sementara kita tahu ada ribuan perguruan tinggi swasta dengan peminatnya masing-masing. Dari ratusan ribu orang tersebut, kita tidak pernah benar-benar tahu berapa dari mereka yang memang kondisi sosial dan ekonominya mendukung rencana pendidikannya tersebut. Mengingat bantuan pemerintah untuk pendidikan juga terbatas.

Rata-rata biaya pendidikan yang telah menyentuh lima juta rupiah per semesternya, mengharuskan mereka yang berminat untuk kuliah menyelaraskan lumbung finansialnya dengan konsumsinya. Miris kiranya mengetahui mereka yang memiliki tingkat intelektualitas tinggi dan hendak mengaktualisasi dirinya di bangku kuliah, harus memupuskan kehendaknya tersebut karena biaya.

Mencermati kondisi ini, DANAdidik hadir sebagai solusi. Menyikapi persoalan biaya pendidikan yang masih menjadi tantangan di Indonesia, DANAdidik memungkinkan pemuda-pemudi harapan bangsa mengenyam pendidikan hingga ke perguruan tinggi, dengan memberikan pinjaman pendanaan yang manusiawi dan tidak ‘membunuh’ di kemudian hari.

Dari kerja-kerja ini, DANAdidik berharap dapat menjadi penyokong lahirnya generasi bangsa yang mandiri dan berdaya saing tinggi dari dan bagi Indonesia.

Dara Nanda Vitera Photo Writer Dara Nanda Vitera

Member IDN Times Community ini masih malu-malu menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Irma Yudistirani

Berita Terkini Lainnya