Menemukan “Rumah” Sejati di Era Corona 

#SatuTahunPandemik COVID-19

Surabaya, IDN Times - Berat bagi semua orang, tetapi tahun 2020 tetap mengajarkan hal-hal baik lainnya. Banyak hikmah yang bisa kita ambil dari pandemik, khususnya pada 2020. Tak terkecuali bagi aku pribadi.

Syukur, Alhamdulillah, aku tidak terdampak buruk dalam hal pekerjaan. Hal-hal lainnya pun tak begitu bermasalah. Hanya saja, pada awal-awal Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Surabaya, sekitar April 2020, aku merasa depresi. Pada awal-awal PSBB dan bekerja dari rumah (work from home) atau WFH, aku berkukuh baik-baik saja. "Ah sudah biasa kalau WFH, mah. I'm fine."

Kenyataannya, tubuhku merespons beda. Aku jadi sering nangis sendiri tanpa sebab, maag kambuh, hingga tak nafsu makan. Puncaknya pada bulan puasa 2020 aku kesulitan untuk tidur di malam hari. Hampir sebulan penuh aku tidak bisa tidur malam, seakan ada bayangan mimpi buruk yang menghantui. Aku baru bisa tidur dan merasa aman jika sudah azan subuh atau pukul 06.00 pagi.

Namun, itu pun tak bisa tidur lama atau nyenyak. Sebab, aku merasa berkewajiban bangun pada pukul 08.00 WIB untuk mengurus tim dan tugas lainnya. Kadang, aku mencuri waktu tidur pada siang hari selama dua jam. Seringkali juga tak bisa.

Banyak tip yang aku dapatkan, seperti membuat jadwal biologis yang lebih tertib, berjemur pada siang hari, menggambar, hingga menambah durasi olahraga supaya badan terasa capek dan mudah lelap pada malam hari. Semuanya sudah aku lakukan, dan tetap tak berhasil. Secapek apa pun badan, aku tetap gak bisa tidur pada malam hari.

Aku mengidentifikasi gejala depresi ini salah satunya karena WFH dan tak bertemu dengan orang lain sama sekali. WFH membuat energiku yang biasanya aktif beraktivitas di luar jadi tersimpan. Misalnya tak harus mandi pagi-pagi sekali, tak harus pulang-pergi ke kantor menembus macet Surabaya timur ke barat dan sebaliknya, nge-gym yang biasanya dua jam, serta berbagai rutinitas lain yang menguras energi.

WFH kali ini berbeda dengan yang alami sebelumnya. Dua tahun sebelumnya, aku WFH hampir sebulan karena operasi tumor dan recovery. Bedanya, saya masih bisa bertemu orang, bisa sambil jalan-jalan ke kafe atau mall dekat rumah, atau kegiatan seru lainnya.

Nah, WFH kali ini bersifat "paksaan" karena situasi yang buruk. Apalagi tak bisa bertemu dengan siapa pun. Ditambah dengan pikiran-pikiran cemas dan negatif lainnya karena pandemik.

Di tengah berbagai macam perasaan yang aku alami pada waktu itu, aku akhirnya menemukan satu hal yang selama ini mungkin terabaikan. Aku menemukan rumah yang sesungguhnya. Dulu, aku memiliki tiga "rumah." Rumah secara harfiah milik orangtua, ibu ku sebagai rumah untuk selalu kembali, dan sosok spesial yang juga saya anggap sebagai rumah.

Namun, ketiganya hilang secara bertahap. Ibu tutup usia pada April 2017, aku tak lagi tinggal di rumah orangtua pada September 2019, dan sosok spesial yang aku anggap rumah pun akhirnya menikah dengan orang lain pada 2020.

Ketika pandemik dan mengharuskan berdiam diri di tempat tinggal masing-masing, aku seakan tak punya "rumah" lagi untuk aku kunjungi ataupun kembali. Aku tak ingin pulang ke rumah orangtua, aku tak punya seseorang spesial untuk bertukar cerita setiap harinya, atau siapa pun yang bisa disebut rumah lainnya. Dari situlah aku sadar bahwa sebenar-benarnya rumah adalah diriku sendiri. Kepada diriku lah aku kembali. Tak ada yang bisa menerima kita seburuk dan sebaik apa pun kecuali diri kita sendiri. Dari sini pula, aku kembali belajar untuk berdamai dengan diri sendiri, apa pun situasi dan kondisi yang sedang dihadapi.

Hingga akhirnya, kantor memutuskan untuk work from office (WFO) kembali. Meski tak genap dua bulan WFO, aku merasa me-reset segalanya. Seakan me-recharge energi kembali. Ketika akhirnya kantor memberlakukan WFH lagi, psikis dan fisik ku tak lagi berontak. Justru merasa lebih nyaman dan produktif di tengah situasi sekarang.

Terima kasih 2020 dengan segala baik buruknya, semoga situasi segera membaik dan kita bisa berpelukan lagi dengan nyaman.

#SatuTahunPandemik adalah refleksi dari personel IDN Times soal satu tahun virus corona menghantam kehidupan di Indonesia. Baca semua opini mereka di sini.

Baca Juga: Pandemik COVID-19 dan Gaya Liputan Baruku

Topik:

  • Yogie Fadila

Berita Terkini Lainnya