Tentang Perubahan Iklim, Perubahan Sikap Manusia Terhadap Alam

Sikapmu hari ini menentukan iklim masa depan! 

Alam menjadi penopang kehidupan manusia. Tidak dapat terhitung maanfat yang diberikan alam dalam keberlangsungan kehidupan manusia. Selain menjadi relasi sesama manusia, kita pun harus menjaga relasi dengan alam.

Di masa lalu relasi manusia dan alam sebatas untuk memenuhi kebutuhan primer semata. Baik untuk mendapatkan bahan makanan sehari-hari, membuka lahan untuk tempat tinggal, hingga membangun sebuah hunian. Manusia memandang alam layaknya sebuah hal yang amat sakral, sikap menghargai terhadap keberadaan alam ini pun tumbuh dan diwariskan.

Seiring dengan semakin kompleksnya kehidupan manuisa, demi menunjang keberlangsungan hidup yang lebih mudah, berbagai macam penemuan pun ditemukan. Siapa sangka penemuan-penemuan terdahulu dapat menyumbang bagaimana keadaan iklim hari ini.

Paling fenomenal ialah penemuan mesin uap oleh Thomas Newcomen pada tahun 1712 menjadi awal meluasnya penggunaan batu bara dalam skala industri hingga munculnya sebuah Revolusi Industri yang menandai pembukaan lahan industri besar-besaran baik di wilayah Eropa maupun dunia.

Istilah rumah kaca pun muncul seabad kemudian yang dicetuskan oleh fisikawan Joseph Fourier pada 1824, seperti yang dirujuk dari BBC. Ia menggambarkan yang disebutnya sebagai efek rumah kaca: "Suhu (bumi) bisa meningkat oleh interposisi atmosfer karena panas dari cahaya menghadapi hambatan lebih sedikit waktu memasuki udara dibanding saat memasuki udara ketika berubah menjadi panas cahaya.” Akhirnya fenomena perubahan iklim pun gencar dibicarakan kala kita telah menerima dampaknya.

Alih-alih Merusak, Bagaimana Jika Berteman dengan Alam?

Peradaban paling awal di dunia berada di sekitar sungai seperti peradaban Mesir dan Mesopotamia. Selain menawarkan tanah yang subur, sungai menjadi sumber air yang tidak ada habisnya, menjadi jantung dari penggerak kehidupan manusia. Bahkan warisan ini pun masih terlihat dari kawasan perkotaan di berbagai dunia yang cukup padat tidak dapat dipisahkan dari keberadaan sungai.

Mentalitas kolektif ini berabad-abad lamanya diturunkan dari generasi ke generasi dan menciptakan kebudayaan masyarakat bersangkutan tulis AB Lapian dalam buku Sungai sebagai Pusat Peradaban.

Sayangnya, pewarisan beberapa teknologi peradaban ini tidak dibarengi dengan nilai-nilai pentingnya menjaga relasi manusia dan lingkungan. Hilangnya nilai ini berdampak pada kehidupannya di masa kini. Berbanding terbalik, beberapa sungai menjadi tempat sampah besar yang tidak mencerminkan sebuah peradaban.  

Bahkan menurut penelitian National Geographic Indonesia yang bekerja sama dengan Waste4Change menyebutkan Sungai Ciliwung yang membelah Jakarta termasuk dalam daftar sungai terkotor di dunia pada tahun 2018.

Sampel yang diambil dari sungai Ciliwung tercemar lebih parah ketimbang dari setidaknya 20 sungai di Eropa dan Asia Tenggara yang juga menjadi subyek penelitian tersebut. Seandainya alam bisa bicara pasti kita tidak luput dengan umpatannya, “Capek banget sama manusia.”

Perubahan sikap dan pandangan manusia soal alam didasari banyak hal. Salah satunya ialah munculnya ketakutan terhadap alam. Sama halnya dengan relas antar manusia, apabila kita berbuat tidak baik akan muncul risiko ia akan berbuat jahat pada kita.

Pun dengan alam, apabila kita tidak memperlakukan alam dengan baik, di kemudian hari ia akan marah, maka muncullah bencana alam. Di masa lalu upaya manusia untuk menjaga alam dipengaruhi oleh kedatangan bencana besar di kemudian hari.

Alam mempunyai hukumnya sendiri, hal ini pun terjadi pada pembukaan lahan di hutan. Kini alam hanya dijadikan objek untuk dikeruk oleh manusia. Eksploitasi habis-habisan hutan untuk mengeruk keuntungan akan berdampak pada ketidakseimbangan alam. Ini sudah mulai terlihat dengan berbagai bencana yang menimpa masyarakat.

Bahkan ketimpangan pun muncul bahwa masyarakat yang paling rentan terdampak berasal dari kelas bawah. Sudah saatnya 1000 Aspirasi Indonesia Muda bersuara soal gentingnya dampak perubahan iklim ini.

Baik pada alam, baik untuk keberlangsungan kehidupan di masa depan

Pewarisan nilai-nilai mencintai alam yang terputus memang tidak dirasakan secara langsung. Kesadaran pentingnya berteman dengan alam memang bukan menjadi prioritas bagi beberapa kelompok. Namun, ini menjadi penting ketika upaya memanfaatkan alam tidak dibarengi dengan merawat dan menumbuhkan kembali. Sebab satu kelompok yang merusak alam akan menyebarkan dampak keberlanjutan bagi kelompok lain bukan hanya kelompoknya saja.

Pandangan ini dapat digali dan ditumbuhkan bersama dalam moment KTT G20 yang bertempat di Bali, Indonesia. Sebagai tuan rumah, Indonesia mempunyai peran penting untuk menentukan agenda priorotas dalam pembangunan. Membangun manusia yang mencintai alam ibarat mempunyai investasi jangka panjang.

Presidensi G20 Indonesia yang bertema Recover Together, Recover Stronger memiliki peran strategis dalam menyerukan permasalahn lingkungan yang berdmapak pada perubahan iklim secara global. Bersama-sama kita pulih dan menjadi lebih kuat untuk menciptakan lingkungan yang layak setiap kelompok. Tanpa ada perubahan sikap terhadap alam, mungkin kita akan terombang-ambing dalam kehancuran di masa depan.

Baca Juga: Tips Menjaga Kelestarian Tanah, Jaga Lingkungan Mulai dari Kesadaran

Dina Stevany Photo Verified Writer Dina Stevany

Member IDN Times Community ini masih malu-malu menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Ananda Zaura

Berita Terkini Lainnya