[Opini] Ospek: Ajang Pelatihan Mental atau Unjuk Senioritas Belaka?

Mau dibilang penting tapi kok~

Semua pasti tidak asing dengan kata ospek, entah kamu mahasiswa angkatan baru atau atau barangkali sudah lulus puluhan tahun yang lalu. Rasanya ospek memang sudah menjadi rangkaian wajib dalam susunan acara penyambutan mahasiswa baru. Buat kamu yang sering mendengar kata ospek namun belum mengetahui artinya, Ospek sendiri merupakan akronim dari Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus. Secara garis besar, ospek diadakan untuk membuat para mahasiswa baru semakin mengenal kampus yang akan menjadi “rumah” mereka dalam beberapa tahun ke depan.

Namun dari tahun ke tahun, pelaksanaan ospek selalu menuai pro dan kontra di mata masyarakat. Banyak yang beranggapan bahwa ospek sangat penting untuk dilakukan sebagai salah satu proses agar para mahasiswa baru tidak kaget dengan suasana perkuliahan yang berbeda dengan saat sekolah dulu. Tidak sedikit pula yang menilai jika sebaiknya ospek di universitas dihapuskan dan diganti dengan acara yang lebih bermanfaat dan dapat menunjang aktivitas maba di kemudian hari.

Sebenarnya kegiatan ospek sendiri dangat beragam, bahkan di setiap kampus juga memiliki peraturan dan pelaksanaan yang berbeda pula. Ospek juga cukup memiliki banyak jenis dari ospek universitas, fakultas, hingga jurusan yang biasanya memakan waktu berbulan-bulan. Para maba diharuskan untuk berangkat lebih pagi dengan atribut-atribut ospek yang terkadang cenderung menyulitkan. Ditambah dengan tugas-tugas yang harus dikumpulkan keesokan harinya. Tidak jarang jika pada akhirnya beberapa mahasiswa collapse dan jatuh sakit saat ospek berlangsung.

Saya sadar betul bahwa tugas yang diberikan panitia adalah sebagai pelatihan bagaimana kita nantinya menghadapi dosen yang terlalu rajin memberikan tugas dengan deadline yang terlalu cepat. Namun apakah perlu disertai dengan hukuman jika mereka –para maba- tidak dapat menyelesaikan tugasnya tepat waktu? Hukuman yang saya maksud di sini juga cukup beragam, tetapi yang paling membekas adalah dipermalukan di depan umum. Mereka yang tidak dapat menjalankan tugasnya dengan baik akan ditanyai de depan peserta lalu di-skakmat dengan argumen “Teman-teman kamu saja bisa mengumpulkan tugas tepat waktu, kenapa kamu nggak?” Padahal setiap mahasiswa memiliki kesibukan masing-masing apalagi namanya masih masa awal-awal perkuliahan.

Walaupun di tengah pandemik COVID-19 seperti sekarang, ospek masih saja diadakan dengan cara daring. Saya sudah berharap banyak terhadap ospek daring ini. Saya berharap ospek daring dapat terbebas dari kegiatan-kegiatan perpeloncoan yang sering terjadi saat ospek offline. Sayangnya harapan saya pupus sudah ketika melihat banyaknya berita viral mengenai ospek online di salah satu universitas, ketika panitia membentak mahasiswa baru yang dinilai tidak mematuhi tata tertib yang berlaku.

Saya sendiri tidak mengetahui apa esensi dari kegiatan bentak-membentak yang biasanya dilakukan oleh komisi disiplin. Apakah tidak ada cara lain untuk mendisiplinkan mahasiswa? Separah apa kesalahan mereka sehingga mereka berhak untuk dibentak dan dipermalukan di depan umum? Ya, saya sekali lagu membahas hal ini. Perlu saya garis bawahi, sudah cukup banyak korban ospek yang awalnya mereka dimarahi sampai menangis dan pada minggu selanjutnya mereka memutuskan untuk mengundurkan diri dari Universitas karena tidak kuat dengan ospek yang dijalaninya.

Ketika mulai dikritik tentang kegiatan ospek mereka yang cukup memberatkan, beberapa berdalih hal ini bertujuan untuk menguatkan mental mahasiswa baru agar mereka dapat kuat menjalani perkuliahan. Sayangnya tanpa harus dilatih, pada akhirnya mahasiswa dapat sadar dengan dirinya bahwa perkuliahan memang tidak seindah dengan apa yang mereka bayangkan. Sehingga saya rasa tanpa mengikuti ospek pun mental mereka akan terlatih dengan sendirinya ketika sudah berhadapan dengan dosen.

Mungkin akan ada banyak yang menyangkal namun percaya atau tidak, sebagian besar ospek lebih condong sebagai ajang senioritas daripada yang digembor-gemborkan selama ini. Pelatihan mental hanya menjadi kedok saja untuk menutupi keboborokan kegiatan ospek yang memang sudah salah dari awal. Secara tidak langsung ospek menjurus sebagai unjuk kekuasan, para senior yang berkuasa sedangkan maba hanya bisa menuruti semua perintah kakak tingkatnya, tanpa terkecuali. Toh, biasanya mereka yang berani speak up akan menjadi bulan-bulanan dengan dalih “tidak sopan” terhadap senior.

Saya jadi ragu apakah sebenarnya ospek itu mengajarkan kita untuk berlaku sewenang-wenang terhadap junior. Atau barangkali budaya ABS (Asal Bapak Senang) itu muncul karena saat ospek para maba akan melakukan apa pun yang diperintahkan seniornya agar mereka dapat bebas dari hukuman. Pada akhirnya kegiatan ospek hanya sebagai formalitas belaka yang kurang menghasilkan esensi mengingat bagaimana ospek hanya melahirkan gap antara maba dengan senior.

Saya juga bertanya apakah sudah ada bukti konkret bahwa mahasiswa baru yang mengikuti kegiatan ospek cenderung lebih mudah menjalani perkuliahan mereka dibandingkan mereka yang berani skip ospek karena merasa kegiatan tersebut tidak penting? Selama ini saya hanya melihat bukti formalitas yakni sebuah sertifikat kelulusan ospek yang “katanya” berguna untuk kelulusan. Namun, secara mental apakah mereka benar dilatih atau semua ini hanya ajang unjuk senioritas belaka?

Baca Juga: Ospek Online Jadi Perbincangan, Kemendikbud: Jalankan Sesuai Panduan

Emma Kaes Photo Verified Writer Emma Kaes

Welcome to my alter ego

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Agustin Fatimah

Berita Terkini Lainnya