Kabar Duka hingga Debat Hoaks di Keluarga

#SatuTahunPandemik COVID-19

Surabaya, IDN Times - Tak pernah saya bayangkan akhirnya harus bekerja dengan cara
seperti ini. Pandemik mengubah segalanya. Dengan segala keterbatasan, kami harus tetap bekerjasama, bekerja bersama, tapi dari ruang yang berbeda. Tak ada interaksi dan tatap muka, semua dilakukan secara terpisah. Bahkan, tertawa pun secara virtual.

Selain cara koordinasi yang agak berubah, pandemik menurutku juga sebuah momen yang
penuh perjuangan bagi para jurnalis. Mereka yang liputan di lapangan harus menyabung
nyawa. Belum lagi pandemik membawa banyak hal yang benar-benar baru. Jurnalis, lewat
tulisannya musti menjelaskan kepada para pembaca. Dan itu tidak mudah, banyak teori baru yang masih diperdebatkan. Sekalinya salah, habislah.

Tak sekadar membuat kemudian menyebarkan berita, kami juga harus berhadapan dengan gempuran disinformasi dan misinformasi. Banyak berita salah, baik yang sengaja ataupun tidak sengaja, disebar.

Tanggung jawab edukasi saat pandemik tak selesai pada para pembaca. Di rumah, aku dan tentu saja banyak jurnalis lian pun harus menjadi pemutus rantai berita bohong soal COVID-19. Aku bahkan kerap beradu debat tentang beberapa disinformasi yang menyebar di keluarga. 

Percayalah, berdebat melawan generasi X dengan tetap menjaga unggah-ungguh itu rumit. Lebih susah daripada meyakinkan pembaca manapun. Belum lagi kalau sudah pakai pendekatan agama. Biasanya kalau sudah di titik itu, aku cuma manggut-manggut, daripada malah rame. 

Aku pikir fenomena seperti ini adalah PR besar yang harus diselesaikan oleh pemerintah. Ini bisa jadi bukti kalau sosialisasi tentang COVID-19 masih gagal. Padahal, sejumlah pihak sudah mahal-mahal bayar influencer.

Ketimbang bayar selebgram dengan harga puluhan juta, pemerintah di level mana pun seharusnya lebih sering ngajak ngopi para pemuka agama. Pemerintah seharusnya sudah
mafhum kalau pitutur dari kiai dan tokoh adat akan lebih didengar masyarakat. Toh saat kampanye, yang mereka gandeng juga tokoh agama. Dengan cara itu terbukti lebih mudah
menarik massa. Lha apa susahnya sekarang tinggal menduplikasi sistem kampanye?

Duka selama pandemik tak sekadar soal banyaknya berita bohong. Kabar kematian tenaga kesehatan juga hampir saban bulan kami terima, kemudian kabarkan. Tiap kali mengedit berita kematian tenaga kesehatan, aku selalu bengong dulu. Membayangkan keluarga yang ditinggalkan. Kesedihan mereka rasanya sia-sia saat masih banyak orang bahkan tak percaya corona. Itulah kenapa sebelum memungkasi editan berita duka, aku selalu berdoa, Tuhan, semoga ini yang terakhir. 

Pandemik juga menimbulkan konsekuensi sosial lain. Terlalu lama di rumah membuat
tetangga mulai berisik. Mereka yang tak menerima konsep menghasilkan uang dari rumah
selain ngepet itu bisa, mulai kerap bertanya. Pertanyaan-pertanyaan macam "Kerjanya apa, kok di rumah terus?" atau "Jam segini kok masih ngemong anak, memang kerja mulai jam berapa?" kian sering bermunculan. 

Kalau dari tongkrongan orangnya terlihat masih bisa diajak ngomong, biasanya aku akan
menjelaskannya, rinci. Sebaliknya, kalau dasarnya cuma penasaran, biasanya kubalas pakai senyum, atau bahkan ku jawab, "Kulo selebgram."

#SatuTahunPandemik adalah refleksi dari personel IDN Times soal satu tahun virus corona menghantam kehidupan di Indonesia. Baca semua opini mereka di sini.

Baca Juga: Menikah di Tengah COVID-19, Getir dan Bahagianya Patut Disyukuri

Topik:

  • Ernia Karina

Berita Terkini Lainnya