Menjadi Manusia yang Utuh Saat Dikepung Corona

#SatuTahunPandemik COVID-19

Surabaya, IDN Times - Seorang pendiri startup,usaha rintisan yang bergerak di bidang fesyen pernah bercerita kepadaku pada Maret 2020, ia kehilangan CTO (chief technology officer), yang bertanggung jawab atas produk di perusahaan rintisan layanan jahit miliknya. Dari sekian narasumber yang pernah kuwawancarai, perempuan lulusan studi Ekonomi Pembangunan itu adalah yang paling berkesan sampai saat ini.

Dokter belum mengkonfirmasi penyebab kematian rekan satu timnya karena testing kala itu tak sebanyak sekarang. Namun ia berujar gejala yang ditimbulkan mengarah pada COVID-19. Kepala eksekutif atau CEO berusia 20-an itu mengatakan kepergian temannya telah mengubah bagaimana ia melihat pandemik virus corona secara menyeluruh. Tak berselang lama setelah itu, melalui gerakan “Saya Ambil Peran”, ia dan tim telah menyediakan ribuan masker kain dan APD (Alat Pelindung Diri) yang telah disalurkan selama tahun 2020.

Melihat komitmennya, tak berlebihan jika aku menganggap ia mampu mengubah trauma kehilangan menjadi energi untuk membawa perubahan, baik untuk dirinya, perusahaan rintisannya, dan orang-orang yang mengalami kesulitan di tengah pandemik global ini.

Sejak 2 Maret 2020, saat kasus COVID-19 pertama resmi diumumkan di Indonesia, aku jadi terbiasa mendengar kabar duka melalui data yang diperbarui setiap harinya oleh Satuan Tugas Penanganan COVID-19. Tak jarang, satu di antara nyawa manusia yang diperlihatkan melalui angka itu, merupakan kerabat bahkan orang-orang terdekat. Bagiku, tahun 2020 juga menyisakan memori kehilangan salah satu om dari pihak ayah. 

Teori Five Stages of Grief oleh Kubler Ross, yang tahapannya berupa penyangkalan, emosi
marah, tawar-menawar dengan kehilangan, depresi sampai penerimaan, menjadi lazim orang alami di hampir satu tahun terakhir. Namun pada praktiknya, aku menyadari model yang pernah aku jadikan ide tugas akhir semasa perkuliahan ini tak mutlak dan berlaku bagi setiap orang. 

Ada mereka yang memiliki proses penerimaan berbeda terhadap kehilangan. Sebut saja
pendiri perusahaan rintisan fesyen yang aku ceritakan di awal, kehilangan rekannya justru
menjadi pemicu untuk menginisiasi produksi masker dan APD. Barangkali, secara hitungan kasar, ribuan masker itu telah membantu pencegahan penyebaran virus dan menyelamatkan ribuan nyawa manusia.

Jika ditanya apa yang berbeda dari kehidupan normal sebelum dan setelah pandemik, aku
ingin mengatakan bahwa perbedaan yang paling kentara adalah tentang jarak sosial dan jarak fisik. Menurutku, keterhubungan dengan manusia lain adalah satu garis dasar yang
menjadikan aku menjadi manusia utuh. Tanpa keterhubungan, manusia hanya seonggok
daging yang berkulit tanpa memiliki ruh.

Meski beberapa hal serba terbatas selama pandemik, pun penuh ketidakpastiannya, aku
belajar banyak. Baik itu tentang bagaimana mengasah keahlian menyesuaikan diri maupun memanfaatkan peluang yang ada di depan mata. 

“Being mature is an adventure, if there is limitation on your journey, it would be lighting you immediately”.

Aku percaya adanya pandemik merupakan kesempatan membentuk pribadi dewasa yang
lebih terhubung kepada diri. Bekerja di dunia kreatif di masa pandemik juga membuat aku
paham, istilah kreativitas datang dari keterbatasan memang ada benarnya. 

Menurutku, ini bukan hanya perkara apa-apa yang terbatas, melainkan juga pola pikir dan
perspektif setiap individu dalam menghadapi wabah. Layaknya narasumber-narasumber yang pernah aku wawancara, dengan segala cerita inspiratifnya, setiap orang punya peran masing- masing dalam mengupayakan perubahan alih-alih meratapi kenyataan atau cita-cita yang harus tertunda.

H.B Jassin pernah mengatakan, “Dan semuanya ada waktunya. Dan bagi manusia yang
pandai mempergunakan waktunya, setiap saat waktunya itu dipergunakannya sebagai
kemungkinannya”. Aku beruntung masih memiliki waktu dan tahu bagaimana mencari celah di tengah keterbatasan dengan membuat keterhubungan melalui tulisan.

#SatuTahunPandemik adalah refleksi dari personel IDN Times soal satu tahun virus corona menghantam kehidupan di Indonesia. Baca semua opini mereka di sini.

Baca Juga: Tahun 2020 Itu Berat, tapi Harus Dilewati

Topik:

  • Ernia Karina

Berita Terkini Lainnya