[OPINI] Sampah dan Limbah: Ironi Kehidupan Masyarakat Urban

Perilaku Konsumtif Tinggi dan Abai Terhadap Lingkungan

Permasalahan mengenai sampah rasanya tidak dapat lepas dari kehidupan masyarakat urban atau perkotaan. Jumlah penduduk yang kian bertambah serta aktivitas masyarakat dan gaya hidupnya, identik dengan perilaku konsumtif tinggi. Hal ini menjadi faktor meningkatnya produksi sampah di daerah perkotaan. 

Kota besar seperti Jakarta, dan daerah penyangganya Tangerang dan Bekasi memiliki populasi yang cukup besar. Merupakan pusat segala aktivitas, mulai dari pemerintahan, ekonomi, hingga pendidikan. Membuat pertumbuhannya semakin cepat. Sebagai ruang dengan aktivitas 24 jam tiada henti kota tentu memiliki sisi gelap yang menjadi permasalahan serius. Sampah adalah salah satunya.

Pesatnya pertumbuhan di kota besar tidak hanya membawa kentungan, namun juga dampak terhadap meningkatnya biaya hidup, dan merosotnya kualitas lingkungan hidup. Sebut saja pencemaran udara akibat dari polusi kendaraan, timbunan sampah di tempat pembuangan akhir (TPA) yang melebihi kapasitas hingga pencemaran air akibat limbah industri dan rumah tangga.

Data dari Badan Pusat Statistik memperkirakan jumlah sampah yang dihasilkan pada tahun 2020 di 384 kota di Indonesia dapat mencapai 80.235,87 ton/hari. Jika sebagian besar penduduk Indonesia tinggal di perkotaan, maka bisa dipastikan penduduk kota menjadi penyumbang sampah terbesar. Jumlah sampah di atas pun diperkirakan hanya sebesar 4,2% yang diangkut ke TPA, sisanya kemungkinan besar akan dibakar, dibuang ke sungai dan bahkan tidak tertangani.

Mengerucut ke daerah urban, Jakarta sebagai salah satu kota besar menghasilkan sampah kurang lebih sekitar 1.000–7.000 Ton/hari. Sedangkan, daerah penyangganya seperti Bekasi menghasilkan 565.00 Ton/hari, dan Tangerang 928.07 Ton/hari. Hal ini membuat kapasitas TPA membludak. Sebagai gambaran TPST Bantargebang dengan lahan seluas 110 hektare saat ini kondisinya sudah melebihi kapasitas akibat menerima 5.000–7.000 ton sampah setiap harinya. Pada 22 Mei lalu, hal yang sama juga terjadi. Tembok TPA Cipeuncang sebagai satu-satunya TPA umum di Tangerang Selatan runtuh dan menumpahkan sekitar 100 ton sampah ke sungai Cisadane. Runtuhnya tembok TPA akibat dari kelebihan muatan dengan tumpukan sampah setinggi 16 meter. Padahal umur tembok ini belum mencapai satu tahun.

Fenomena membludaknya muatan sampah ini terjadi karena perilaku masyarakat yang hanya sekadar “buang-angkut”. Tanpa memilah kembali mana barang yang bisa dipakaI lagi, dan mana yang benar-benar tidak terpakai. Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, pernah melakukan riset yang menunjukkan bahwa sebagian besar sampah terdiri dari 60% organik, 20% anorganik, dan 20% residu. Melalui hasil riset tersebut dapat disimpulkan bahwa komposisi sampah yang dibuang ke TPA sebagian besar sebenarnya berpotensi untuk di daur ulang, maupun dijadikan kompos. Namun, realitanya persentase jenis sampah tertinggi yang dibuang TPA masih ditempati oleh sampah plastik. Fakta di atas menunjukkan bahwa permasalahan sampah bukan hanya pada penumpukkan namun juga dalam pengelolaan.

Pengelolaan sampah yang efisien masih menjadi tantangan besar bagi daerah urban seperti Jakarta, Bekasi, dan Tangerang. Masih banyak pemahaman masyarakat yang keliru. Meskipun di tengah kota urban, aktivitas seperti membakar sampah masih sering ditemui. Padahal membakar sampah dengan tidak memilahnya terlebih dahulu dapat menimbulkan polusi asap hitam yang dapat merusak atmosfer bumi dan dampaknya terhadap kesehatan akan lebih berbahaya dari asap rokok. Banyak juga dari masyarakat yang masih belum paham bagaimana memilah sampah organik dan non-organik. Kebiasaan membuang sampah di lahan seperti pinggiran sungai pun masih sering terjadi terutama masyarakat yang tinggal dekat dengan jalur sungai. Kurangnya edukasi di tengah masyarakat ini dapat menimbulkan akar bencana, tidak dipungkiri bencana banjir di kota besar mungkin tidak teratasi jika kebiasaan ini masih terus dilakukan.

Sisi gelap persoalan sampah dibalik kehidupan urban ini melahirkan inisiatif gerakan yang mengkampanyekan inovasi pengelolaan sampah. Lahirnya komunitas-komunitas penggerak lingkungan yang mewarnai corak kehidupan masyarakat urban. Lewat kegiatannya komunitas tersebut mencoba mendekati dan memberikan edukasi terkait pengelolaan sampah dan menyebarkan tren zero waste lifestyle kepada masyarakat. Toko-toko berbasis eco-friendly yang menjual produk ramah lingkungan serta bahan makanan organik rendah emisi di daerah urban pun mulai bermunculan.

Gerakan ini mendapatkan respon serta dukungan dari pemerintah. Keberadaan komunitas penggerak ini berhasil menyadarkan pemerintah agar lebih tegas mengelola lingkungan. Sebut saja peraturan kantong plastik berbayar yang mulai diterapkan di beberapa kota besar dengan menetapkan harga kantong plastik berbayar sebesar 2.500–5.000 rupiah. Kebijakan ini mendorong pusat perbelanjaan melakukan hal serupa dengan tidak menyediakan kantong plastik dan meminta konsumen membawa tas belanja sendiri. Tak ketinggalan gerai coffeeshop dan restoran turut mengusung konsep zero waste dalam pelayanannya. Penggunaan sedotan stainless/sedotan bambu sebagai pengganti plastik, menawarkan konsumen untuk membawa sendiri peralatan makan dan minum dengan memberikan potongan harga. Meski belum menyeluruh, gerakan ini memberikan secercah harapan dan patut direspon sebagai perubahan sesuatu yang baik.

Kehidupan masyarakat urban dan produksi sampah maupun limbah boleh saja menjadi pasangan yang tidak dapat dilepaskan. Namun, apa kita ingin terus berkawan dengan keadaan seperti ini?

Pada dasarnya dalam mengelola sampah tidak bisa hanya mengandalkan pemerintah semata. Harus ada upaya kolektif dari berbagai pihak. Mengurangi konsumsi sampah terutama sampah plastik, dan merubah pola konsumtif memang penting. Namun jika tidak di imbangi dengan kemauan sektor industri sebagai penghasil limbah terbesar melakukan perubahan untuk mengatasi kondisi ini. Maka krisis lingkungan di daerah urban akan tetap diam di tempat.

Baca Juga: [OPINI] Masihkah Perlu Menulis di Atas Kertas?

Fatika Rahmadhani Photo Writer Fatika Rahmadhani

Penulis dan Pengamat Sosial

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Novaya

Berita Terkini Lainnya