[OPINI] Carpe Diem, Dea!

Di balik layar film 'Balada Si Roy'

Gol A Gong, penulis novel Balada Si Roy, harus menunggu 32 tahun sehingga karyanya benar-benar diadaptasi ke layar lebar. Penantian ini tentu menjadi sejarah bagi dirinya dan pembaca Si Roy setelah beberapa kali kandas.

Tiga tahun lalu, tepatnya 11 Maret 2018, para pembaca Balada Si Roy berkumpul di Rumah Dunia untuk merayakan 30 Tahun Balada Si Roy. Pembaca versi lawas  hingga milenial dari berbagai daerah saling berbagi cerita tentang pengelaman hidup masing-masing yang dikaitkan dengan tokoh Roy. Mereka umumnya berbaju lengan panjang kotak-kotak, dipadukan dengan kaos oblong dan jeans belel. Ada juga yang menambahkan asesori lain seperti gelang, kalung dogtag, yang menjadi ciri khas Roy. Beberapa orang membanggakan zippo yang konon menjadi karakter penguat tokoh SI Roy.

Fajar Nugros (sutradara) dan Susanti Dewi (produser) berbaur dengan mereka dan memproklamirkan akan mengadaptasi novel ini ke dalam film layar lebar yang disambut antusias. Di dalam pernyataannya, baik sutradara maupun produser mengatakan bahwa mereka tidak akan buru-buru untuk mengeksekusinya; perlu kematangan dan treatment yang sungguh-sungguh. Mereka ingin mendapatkan orang baru supaya tidak ada asosiasi dengan karakter sebelumnya. “Karakter Roy unik dan spesial,” ucap Santi.

Belum juga film itu direalisasikan, di waktu yang sama, seorang lelaki muda datang memberikan portofolio kepada Susanti Dewi dan dia menyatakan siap untuk menjadi pemeran Roy. Dea Aditya namanya.  Ia jauh-jauh datang dari Lubuklinggau dan menyatakan diri untuk terlibat. Gol A Gong yang berbahagia melihat keberanian Dea langsung memberikan kalung dogtag miliknya. Fajar Nugros memberi pujian dengan mengutip Odes Karya Horace, “kesempatan harus direbut,” ucapnya. Seize The Day. Carpe Diem.

Dea dan penantian

[OPINI] Carpe Diem, Dea!instagram.com/golagong

 Di Lubuklinggau, Dea menyalurkan bakatnya dan bergabung di Benny Institut, sebuah komunitas kreatif yang didirikan oleh sastrawan muda produktif, Benny Arnas. Disitulah Dea mengasah bakatnya dengan mengikuti latihan teater dan pernah beberapa kali pentas. Sebagai seorang sastrawan, Benny memang getol memberikan referensi bacaan. Salah satu bacaan yang kemudian melekat dalam pikiran Dea adalah novel Balada Si Roy. Ia membacanya pada tahun 2017. Mendengar dari Benny bahwa novel ini akan diangkat ke layar lebar, Dea membulatkan tekadnya untuk bertandang ke Rumah Dunia.

Setahun setelah perjumpaan di Rumah Dunia, kesempatan itu benar-benar tiba. Dea dihubungi oleh Wicun, selaku casting director dan diminta untuk datang ke Jakarta mengikuti casting. Takbanyak pikir, Dea menyatakan kesediaannya dan langsung membeli tiket pesawat. Ia ingin mewujudkan mimpi-mimpinya. Namun ketika ia menjelaskan tentang hal tersebut, Mama Dea tidak langsung merestui. Dea adalah anak bungsu dari empat bersaudara. Dea sama sekali tidak punya pengalaman merantau. Mama Dea takut jika anaknya ke Jakarta, ia tidak bisa menjaga diri dan malah masuk ke pergaulan hitam yang sering diberitakan di televisi. Mama Dea takut membayangkan jika itu benar-benar terjadi.

“Terus bagaimana dengan kuliahmu, Dea?” Tanya sang Mama khawatir dengan masa depan anaknya. Waktu itu Dea tercatat sebagai mahasiswa Universitas Musi Rawas, semester empat, jurusan Akuntansi. Tekad Dea sudah bulat. Jakarta adalah kota impian yang harus ditaklukannya. Ia nyaman dengan dunia peran dan ia ingin mewujudkan mimpi-mimpinya. Ia berusaha menjelaskan baik-baik kepada mamanya dan memberikan kepastian bahwa ia bisa menjaga diri. Kendati berat hati, Mama Dea terpaksa merelakan kepergian sang anak. Deapun memakai kalung dogtag pemberian Gol A Gong dan meninggalkan Lubuklinggau untuk mengejar harapannya.   Seperti penggalan puisi Kahlil Gibran “Anakmu Bukanlah Milikmu” berikut ini.

Anak adalah kehidupan

Mereka sekadar lahir melaluimu tapi bukan berasal darimu

Walaupun bersamamu tetapi bukan milikmu

Curahkan kasih sayang tetapi bukan memaksakan pikiranmu

Karena mereka dikarunai pikirannya sendiri…

Menaklukkan Jakarta

[OPINI] Carpe Diem, Dea!instagram.com/filmbaladasiroy

Ada perasaan yang sesak ke ulu hati ketika meninggalkan Lubuklinggau. Bayangan Mama terus menggelayut di pikiran Dea, saudaranya, sahabatnya, kenangan. Dea berjanji, suatu saat akan kembali. Seperti kutipan Gol A Gong, “lelaki memang harus pergi, tetapi harus pulang. Karena ada yang dikasihi dan mengasihi.” Dea sudah mantap dengan segala keputusannya.

Tiba di Jakarta, Dea langsung mendatangi kantor Demi Istri Production (yang kemudian diakuisisi menjadi IDN Pictures) tempat yang diberitahu Wicun. Di sana ia langsung casting. Dea diminta untuk memerankan Roy pada scene kematian Joe. Waktu itu Dea sudah berusaha optimal tetapi sepertinya ia belum bisa memperlihatkan kualitas yang diharapkan. Dea dianggap gagal. Santi yang sempat ditemuinya di Rumah Dunia memberikan nasihat agar mengikuti sanggar teater sehingga seni perannya bisa lebih terasah.

Perasaan Dea kalut waktu itu. Cita-citanya terlibat dalam Film Balada Si Roy kandas. Tetapi ia berusaha untuk bangkit. Ia takmungkin kembali ke Lubuklinggau menjadi pecundang. Maka ia berusaha bergabung di Kelas Teater Bulungan. Dari situ ia memanfaatkan jaringan yang ada. Kebetulan di tempat itu banyak yang dijadikan sebagai talent. Selain itu, Dea juga bergabung di salah satu PH. Ia siap bekerja apa saja asal di dunia entertainment yang memang disukainya. Di sana ia pernah menjadi clapper, asisten, apa saja. Bahkan ia mulai dipakai di beberapa iklan. Ia sudah mulai bisa melupakan tujuan utama dia ke Jakarta sebagai pemain Film Balada Si Roy. Sampai suatu ketika, Wicun kembali menghubungi dan mengajak kembali untuk ikut casting. Padahal awalnya Dea berpikir bahwa film ini sudah diproduksi dan ia akan datang ke bioskop hanya sebagai penonton.

Maka pada kesempatan yang kedua ini, Dea takmau menyia-nyiakannya. Pengalaman setahun di Jakarta, dengan mengikuti latihan teater, bergabung dengan PH, rupanya memunculkan kepercayaan diri. Sehingga ketika diumumkan bahwa Dea terpilih sebagai salah satu tokoh di dalam film ini, ia betul-betul bersyukur. Dream come True! Carpe diem.

Baca Juga: [OPINI] Quantum Leap Film 'Balada Si Roy'

Firman Venayaksa Photo Writer Firman Venayaksa

Pengamat Youth Culture, dosen Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Banten.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Novaya

Berita Terkini Lainnya