[OPINI] Seni Peran(g) Film 'Balada Si Roy'

Di balik layar film 'Balada Si Roy'

Battlefield bagi seorang sutradara ada di lokasi syuting. Seperti sebuah pertempuran, ia adalah jenderal strategi dan taktik yang harus memastikan semua konsep dapat berjalan. Ia adalah pengendali cepat lambatnya sebuah pekerjaan. Sutradara menjadi konseptor, konduktor sekaligus ekeskutor dan untuk melakukan semua hal itu, seorang Jenderal harus bisa tegas di lapangan dan mengantisipasi kejadian-kejadian yang tidak diharapkan. Lengah saja sedikit, maka personil-personil bisa bubar di tengah jalan.

Tentu tidak salah dengan pemikiran umum bahwa film adalah pekerjaan kolektif yang melibatkan banyak unsur dan jenis seni. Itu jelas takbisa dinafikkan. Selain sutradara, film tidak akan berjalan tanpa keterlibatan produser dan penulis skenario. Sistem segitiga ini saling meneguhkan satu sama lain. Ketika satu elemen pincang, maka bisa berbahaya untuk kelancaran proses film. Belum lagi dengan segala turunan personil lainnya yang sangat terstruktur dan berjenjang. Namun ketika semua konsep sudah kokoh, maka peran sutradaralah yang paling bertanggungjawab untuk meramunya.

Seni Peran(g)

[OPINI] Seni Peran(g) Film 'Balada Si Roy'instagram.com/fajarnugrs

Sun Tzu, penulis The Art of War mengingatkan bahwa jika anda mengenal musuh dan mengenal diri anda sendiri, anda tidak perlu takut akan hasil dari ratusan pertempuran. “Musuh” yang dimaksud di dalam film tentu bukan sosok tapi sifat; keraguan, ketakutan, rasa malas, tidak percaya diri, tidak bisa bekerja dalam tim. Sementara, “mengenal diri” adalah memahami maksud dari film ini dan mengoptimalkan segala potensi.

Fajar Nugros yang menjadi sutradara Film Balada Si Roy, sejak hari pertama berusaha untuk memastikan bahwa ia tidak salah memilih kru film. Ia menaruh kepercayaan sebesar mungkin kepada setiap divisi, kepada setiap personil. Di sisi lain, sepertinya ia juga memahami bahwa di awal-awal syuting akan terjadi distorsi dalam beberapa hal. Memang semua personil sedang beradaptasi, tetapi ia takmau berlama-lama. Jika adaptasi tidak bisa dilakukan dengan cepat, maka akan begitu banyak kerugian yang dihadapi. Selain itu, ia juga harus mempertimbangkan fenomena takterduga seperti cuaca, belum lagi urusan pandemi Covid-19 yang bisa menyergap siapa saja.

Di hari ke-2 (11-1-2021), walau takterlalu lama, hujan disertai angin kencang kembali mengguyur lokasi syuting. Beberapa kali pengambilan gambar terpaksa dihentikan. Di waktu seperti itu, Fajar Nugros berusaha untuk berkomunikasi dengan tim inti. Tim lain berusaha untuk memperbaiki seting lokasi akibat percikan hujan. Ketika reda, syuting jalan lagi. Fajar Nugros berusaha meningkatkan eskalasi. Energi cukup terkuras di hari ini. Beberapa miskomunikasi terjadi dan berulang.

Suara instruksi Fajar mulai meninggi kepada kru, hingga sekitar pukul 17.00 suasana pecah. Emosi sutradara tiba-tiba meledak. Ia keluar dari ruang monitor dan memanggil divisi yang bertanggung jawab dengan suara yang cukup keras. Selain Fajar, suasana hening dan sedikit mencekam.

Persoalannya sederhana, walaupun dapat menjadi serius dalam perspektif estetika dan sebab-akibat penceritaan. Sutradara membutuhkan sebuah buku Tahun 1984 karya George Orwell. Windu Arifin yang bertanggung jawab terhadap buku itu sebetulnya sudah menyediakan dengan desain cover yang nyaris sama, berwarna merah dengan dua gedung yang bersebelahan. Tetapi yang dibutuhkan sutradara adalah insert konten teks. Sementara Windu berasumsi bahwa pengambilan gambar hanya sampul bukunya saja.

Tentu perdebatan menjadi tidak penting ketika “peperangan” sedang berlangsung dan Windu sadar posisi dan berusaha memperbaiki kekurangannya. Dari sini, terlihat sekali bagai mana sebuah kedewasaan dituntut dan perasaan dilipat sedemikian rupa. Memang perlu waktu bagi orang-orang yang hanya mengandalkan perasaan dan lupa dengan kompetensi.

Fajar kembali ke ruang monitor, lalu mendatangi lokasi kelas yang memang masih menyisakan lagi satu scene. Beberapa talent dan kru terlihat kikuk ketika sutradara datang. Fajar malah senyum-senyum seakan kejadian tadi tidak pernah terjadi. Di tempat lain, Windu dan tim berusaha memutar otak untuk memastikan bahwa halaman demi halaman novel Tahun 1984 terisi, termasuk halaman mana yang harus di-insert ke dalam kamera.

Ketegangan itu hanya berlangsung sebentar. Fajar berusaha mencairkan suasana dengan menyapa dan memberi instruksi. Sepertinya ia berusaha memakai shock therapy agar setiap kru bisa bekerja sama dan fokus pada setiap tugasnya. Ia betul-betul mengharapkan agar beattlefiled dimenangkan dengan mengadaptasi Art of War Sun Tzu. Pada hari ke-2 ini sutradara memaksa semua kru untuk mengetahui siapa musuh dan siapa diri sehingga seperti lanjutan pesan Sun Tzu, ketika sudah memahami musuh dan diri, maka kita tidak perlu takut akan hasil dari ratusan pertempuran.

Efek shock therapy di hari ke-2 itu rupanya terlihat dan berdampak pada hari berikutnya. Tidak ada leha-leha. Semua berjalan sesuai dengan koridor dan tugasnya masing-masing. Setiap kru yang bekerja lebih cekatan dan percaya diri. Sebagian bahkan berlari kecil ketika scene demi scene terlampau untuk menuju scene lainnya.

Baca Juga: [OPINI] Citraan Maskulinitas 'Balada Si Roy'

Kompetensi Abad ke-21

[OPINI] Seni Peran(g) Film 'Balada Si Roy'instagram.com/fajarnugrs

Jika Paulo Coelho, seorang novelis Brazil yang terkenal pada abad ini mengingatkan bahwa The Winner Stands Alone di dalam novelnya;  kompetensi di abad ke-21 bukan lagi menitikberatkan pada persaingan dan penaklukan untuk meraih kemenangan tetapi critical thinking and problem solving (berpikir kritis dan menyelesaikan masalah), creativity (kreativitas), communication skills (kemampuan berkomunikasi) dan ability to work collaboratively (kemampuan untuk bekerja sama). Empat kompetensi itu sepertinya yang berusaha dikembangkan oleh Fajar Nugros dan semua kru sehingga kemenangan menjadi milik bersama.

Setiap ada problematika, Fajar berusaha untuk mengajak semua elemen berpikir kritis dan berusaha memecahkan persoalan. Ia tak bisa menerima hal-hal yang terlampau irasional. Setiap kejadian selalu ada stimulus-respons. Fajar juga menuntut kreativitas yang tinggi sehingga semua kru dilecut untuk menemukan performa terbaiknya. Ada lebih dari dua ratus orang yang terlibat di dalam film ini, berarti ada dua ratus orang-orang kreatif di berbagai bidang. Jika teroptimalisasi, maka film ini akan menemukan kualitas terbaiknya.

Kunci lain yang takbisa dinafikkan adalah kemampuan komunikasi. Film dipahami sebagai alat komunikasi massa. Maka untuk mencapai hal tersebut, kemampuan komunikasi harus diperankan terlebih dahulu oleh setiap kru yang terlibat. Setiap kru memang diberikan alat komunikasi. Dari situlah mereka bisa dengan cepat berinteraksi satu sama lain. Namun alat hanya media dan tidak akan pernah bisa berhasil jika tidak dipahami antara pengirim dan penerima pesan.

Ujung dari kompetensi abad ke-21 itu pada akhirnya adalah kemampuan untuk bekerja sama. Sebagai sebuah kerja kolektif, maka proses pembuatan film dapat menjadi cermin bagaimana semua orang saling bahu membahu untuk berkolaborasi dengan proporsi masing-masing. Bekerja dalam sebuah tim besar seperti ini dituntut untuk saling memahami dan bekerja secara profesional.

Baca Juga: [OPINI] Action, Roy!

Firman Venayaksa Photo Writer Firman Venayaksa

Pengamat Youth Culture, dosen Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Banten.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Novaya

Berita Terkini Lainnya