Mimpi Buruk Tak Kunjung Usai Itu Bernama Corona

#SatuTahunPandemik COVID-19

Surabaya, IDN Times - Mataku terbelalak, dipaksa terbuka saat tengah beristirahat. Dahiku mengernyit. Kutempelkan punggung tangan ke dahi. "Masih dingin," batinku. Kuambil segelas air putih untuk menenangkan degup jantung. Helaan napas panjang lagi-lagi kuhembuskan. Sudah kesekian kalinya aku terbangun akibat mimpi buruk, mimpi tentang virus corona.

Malam-malam menegangkan penuh dengan mimpi buruk terus menghantui sepanjang bulan Maret hingga Juni. Tidur tak tenang, makan tak nyaman. Rasa khawatir tak menentu terus menggelayuti benakku. Gila, bisa-bisanya hidupku sangat terganggu akibat benda yang tak kasat mata itu.

Bulan-bulan pertama masa pandemik COVID-19, aku ditugasi untuk menulis perkembangan kasus setiap harinya. Berapa orang terpapar? Berapa orang meninggal? Berapa orang sembuh? Makin hari, bukannya makin membaik. Angka ini malah terus naik. Perlahan-lahan, kasus-kasus COVID-19 terasa merangkak semakin mencekik. Tiap malam.

Jelang malam menjadi momen tak menyenangkan untukku. Memantau angka-angka kasus corona bisa mengganggu tidurku. Berbagai macam cerita dari para korban yang tiap hari kutulis menjadi dongeng pengantar tidur. Tak heran, tubuhku makin kurus digerus
kekhawatiran tak menentu.

Tak hanya masalah tidur. Makan pun kulakukan hanya agar aku tidak sakit perut. Padahal, tiap mengunyah makanan pikiranku akan melayang, membayangkan kasus-kasus yang sudah dan akan kutulis. Makanan di dalam lambung seperti menolak untuk dicerna. Aduh, menulis ini sudah membuatku mual.

Menulis memang bukan perkara mudah. Tuntutan kualitas dan kuantitas masih harus
dipenuhi meski dalam kondisi serba terbatas. Rasa bersalah akibat tulisan tak maksimal juga semakin memperburuk kondisi hari-hariku sepanjang tahun 2020.

Aku sempat mengikuti tes assessment trauma sebagai seorang jurnalis di tengah pandemik COVID-19. Hasilnya, traumaku cukup tinggi. Apalagi untuk trauma sekunder yang sebenarnya kudapatkan dari paparan-paparan informasi. Sebenarnya, memang sudah waktunya aku mendapatkan pertolongan psikologis saat ini.

Tapi aku masih berusaha bertahan. Mengumpulkan sisa-sisa kewarasan. Kembali bersosialisasi bersama teman-teman menjadi salah satu jalan. Meski tetap saja, stres, gejala depresi, kecemasan, burn out, dan kawan-kawannya tak dapat terhindarkan.

Hari-hari kelam itu sebenarnya belum usai. Hanya sedikit pudar. Sesekali, mimpi buruk tentang pandemik masih mampir ke tidurku. Entah sampai kapan harus begini. Aku ingin tidurku nyenyak kembali. Aku ingin batinku tenang kembali. Aku ingin, seperti dulu lagi.

#SatuTahunPandemik adalah refleksi dari personel IDN Times soal satu tahun virus corona menghantam kehidupan di Indonesia. Baca semua opini mereka di sini.

Baca Juga: Semuanya Berubah Sampai Ibuku Terpapar Corona

Topik:

  • Ernia Karina

Berita Terkini Lainnya