Pesan Ibu Pertiwi untuk Anak-anak Bangsa Indonesia

“Anak-anakku memanggilku dengan banyak nama, tapi aku punya satu nama yang paling sering mereka panggil: Ibu Pertiwi.”

Seorang wanita jompo sekali waktu pernah mendatangiku. Ia datang dengan langkah payah lalu duduk dihadapanku. Kala tangannya melipat di atas meja kayu yang memisahkan kami, tubuhnya bergetar hebat. Pun demikian, terselip di wajahnya yang tak lagi muda, senyumnya tetap merekah indah. 

Ada sesuatu dibalik mata birunya yang menyiratkan cerita-cerita tentang masa lalunya: cantik, menawan, anggun. Ia adalah seseorang yang pernah digilai semua orang; pria dan wanita, orangtua dan anak-anak. Dan mungkin pesona itu masih ada di sana, di balik lipatan-lipatan kulit yang tak lagi lentur.

Sebab jika tidak demikian, tidak mungkin aku sekarang berada disini bersamanya, membawa secarik kertas berikut pena dan membalas senyumnya dengan khidmat namun tetap tak bisa menandingi keikhlasannya. Wanita ini punya sesuatu yang membuatnya selalu dicintai setiap orang.

Pesan Ibu Pertiwi untuk Anak-anak Bangsa IndonesiaSumber Gambar: pixabay.com

Dan seperti orang-orang yang seakan telah hidup selamanya, wanita itu diharapkan kebijaksanaannya. Kebijaksanaan merupakan sesuatu yang mahal harganya, sebab hanya mampu dibeli oleh usia dan pengalaman.

Wanita yang duduk dihadapanku, masih mempertahankan senyumnya, nampaknya penuh oleh kebijaksanaan. Siapapun bisa mengetahui itu, bahkan dalam lirikkan pertama. Aku hendak mengemis kebijaksaannya dan itu sepertinya bukan sesuatu yang memberatkannya.

Lalu ia melepas senyum dan mulai menumpahkan kebijaksanaannya kepadaku dengan suara-suara yang menjalarkan kehangatan dan kenyamanan. Kebijaksanaan itu dimulai dengan kisah hidupnya. Ia bercerita kalau ia telah melahirkan banyak anak, bahkan hingga kini.

Aku tak ingin menyela ceritanya, meski rasanya apa yang dikatakan wanita itu terdengar tidak masuk akal. Maksudku, dengan penampilan yang demikian, perempuan itu seharusnya sudah tidak punya daya untuk mengandung. Tapi, toh, aku membiarkan wanita itu melanjutkan ceritanya.

Wanita itu mengungkapkan bahwa ia mampu melahirkan banyak anak sekali waktu. Ketika aku tanya berapa, ia tertawa dan menjawabnya dengan kata-kata ‘jauh lebih dari angka-angka yang mampu kubayangkan’. Ia kemudian berkata kalau ia punya satu kebiasaan setiap kali hendak melahirkan. Dalam setiap kehamilannya, ia selalu memanjatkan doa kepada Tuhan. Doa itu dialamatkan bersama harapan-harapannya sebanyak lima butir.

Pesan Ibu Pertiwi untuk Anak-anak Bangsa IndonesiaSumber Gambar: pixabay.com

Kemudian, dari mata sebening pasir kuarsa, wanita itu meneteskan bulir tangis pertamanya. Ia berkata kalau ia sedikit sedih kala melihat anak yang terakhir dilahirkannya tumbuh dewasa. Ia sedih, namun tidak kecewa. Anak-anaknya itu menurunkan sifat-sifat yang selalu ditakutinya menghinggap disetiap keturunannya.

Mereka keras kepala, licik, dan egois. Mereka tak segan menyikut saudara mereka sendiri hanya untuk kepentingan pribadi. Sering mereka terlibat konflik hebat tentang siapa yang paling benar dan siapa yang paling salah, lalu menjatuhkan antar saudara. Mereka sibuk dalam perihal mengejar keuntungan hingga lupa bahwa mereka dilahirkan bersama doa damai yang diterbangkan kepada Tuhan.

Aku bertanya padanya, jika ia akan melahirkan anak lagi, apa harapan yang akan menjadi doanya kelak. Ia membalasnya dengan jawaban yang sama, bahwa ia tetap mendoakan lima butir harapannya itu dan tak ingin menggantinya barang sedikit. Lalu, aku tanya apa lima butir harapan yang disematkan pada anak yang akan dilahirkannya itu.

Pesan Ibu Pertiwi untuk Anak-anak Bangsa Indonesiapixoto.com

Aku harap mereka hidup dalam keyakinan bahwa Tuhan itu esa, senantiasa berlaku mulia juga beradab, senantiasa menjunjung tinggi persatuan dalam kedamaian diantara mereka, dan senantiasa memperlakukan segala sesuatunya adil dan seadil-adilnya”.

Aku berhenti mencatat dan bertanya lagi padanya apakah masih ada harapan lain. Ia menjawab dengan senyumnya yang semula, menandakan bahwa sesungguhnya jika setiap anak yang dilahirkannya sesuai dengan doa itu, maka semua yang dimintanya terasa cukup. Maka demikian, aku berhenti mencatat. Aku mengangguk dan menjadikan doanya itu lima butir kalimat.

Kemudian aku tertegun. Aku lupa menanyakan namanya.

"Maaf jika kurang sopan, tapi siapakah gerangan nama Anda, Bu?”

 “Anak-anakku memanggilku dengan banyak nama, tapi aku punya satu nama yang paling sering mereka panggil.”

“Apa?”

“Ibu Pertiwi.”

 

Topik:

Berita Terkini Lainnya