[OPINI] Bagaimana Seharusnya Hubungan Seniman dan Politik?

Sebuah refleksi terhadap relasi antara seniman dan politik

Sebenarnya, kalau mau melihat dari awal Republik Indonesia berdiri, bahkan sebelum proses pendiriannya, para seniman dan aktivis politik, sudah bahu-membahu berjuang untuk kepentingan mayoritas rakyat. Kita lihat saja para seniman, seperti sastrawan Chairil Anwar, yang bahkan menuliskan nama para aktivis politik, yang kemudian menjadi pemimpin Indonesia, dalam puisinya yang berjudul “Krawang – Bekasi”. “Menjaga Bung Karno, Menjaga Bung Hatta, Menjaga Bung Sjahrir”, itulah kutipan tiga baris puisi tersebut. (Tiga baris puisi tersebut dikutip dari artikel yang ditulis Serafica Gischa, “Makna Puisi Karawang – Bekasi, karya Chairil Anwar, dalam situs https://www.kompas.com/, diakses 25 Juli 2022).

Dari tiga baris puisi tersebut terlihat jelas bahwa terdapat suatu ikatan yang bersifat kolaboratif antara para aktivis politik pejuang kemerdekaan Republik Indonesia, dengan seniman. Begitu juga lukisan karya Affandi yang berjudul “Boeng Ajo Boeng”, yang kalua dilihat dari latar belakang pembuatannya adalah atas arahan Bung Karno kepada salah seorang legenda Lukis Indonesia, Sudjojono, supaya membuat gambar-gambar yang menumbuhkan semangat juang rakyat. Ia emudian menyampaikan arahan itu kepada Affandi (Dikutip dari tulisan Dicky Hanafi, dalam volkpop.co, “Kisah di Balik Poster Propaganda 'Boeng, Ajo Boeng' Garapan Seniman Perjuangan Indonesia”, diakses 25 Juli 2022).

Pada era Demokrasi Terpimpin, para seniman yang tergabung dalam Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), juga bahu-membahu dengan para aktivis politik dan pemerintah pada masa itu, untuk melawan kolonialisme, imperialisme, dan kapitalisme. Informasi tentang hal ini, bisa dilihat dalam artikel karya Verelladevanka Adryamarthanino, yang berjudul, “lekra: Latar Belakang, Tokoh, dan Perkembangannya”. Referensi utama dari artikel itu adalah buku karangan sastrawan kenamaan Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, yang berjudul “Realisme – Sosialis dan Sastra Indonesia”. Pramoedya juga merupakan salah seorang anggota Lekra, yang sempat menjalani hukuman eksil ke Pulau Buru, karena dianggap terlibat G30s/1965, yang memberikan hukuman buang/eksil adalah Rezim Orde Baru, yang dipimpin oleh Soeharto.

Seniman yang anti pemerintah pada masa Demokrasi Terpimpin, biasanya tergabung dalam Gerakan Manifes Kebudayaan (Manikebu), yang mengusung humanism universal, dengan jargon “Seni untuk Seni”, sementara Lekra mengusung realisme sosialis, dengan slogan “Seni untuk Rakyat”. Pasca G30S/1965, kelompok Manikebu inilah yang bergandengan tangan dengan Rezim Orde Baru, untuk menghajar para seniman kerakyatan pro-Soekarno, yang cukup dominan di era Demokrasi Terpimpin, pimpinan Bung Karno (Soekarno). Buku karangan Wijaya Herlambang, “Kekerasan Budaya Pasca 1965”, memperlihatkan secara gamblang bagaimana kekerasan budaya yang dilakukan oleh para seniman kelompok Manikebu ini terhadap seniman-seniman Lekra dan karya-karya mereka (Dikutip dari tulisan Irfan Teguh, “Satyagraha Hoerip Mengganyang Lekra lewat Sastra Manikebu”, dalam https://tirto.id/, diakses 25 Juli 2022).

Karya-karya para seniman Manikebu inilah yang mendominasi alam pikiran masyarakat Indonesia di bawah Rezim Orde Baru. Puisi-puisi karya Taufik Ismail, yang juga merupakan salah seorang sastrawan kelompok Manikebu, menghiasi buku-buku pelajaran sekolah pada masa itu. Hal yang berkebalikan dengan karya-karya para seniman Lekra, yang dilarang dan dimusnahkan oleh pemerintah Orde Baru (Oscar Ferri, “Sastra di Masa Paling Kelam Sejarah Indonesia”, dalam liputan6.com, diakses 25 Juli 2022).

Uniknya, pada masa Orde Baru, salah seorang seniman Manikebu, yaitu WS Rendra merupakan seniman yang cukup kritis terhadap berbagai kebijakan Rezim Orde Baru. Ia Bersama seniman-seniman lain, seperti Iwan Fals, sering berkolaborasi menyuarakan kritik terhadap Rezim Orde Baru (terkait bukti bahwa Rendra tergabung dalam kelompok Manikebu, bisa dilihat dalam situs berikut, https://radiobuku.com/2009/08/ws-rendra-manikebuist-djokjakarta/. Selain itu, seniman yang anti Orde Baru, juga menjamur, salah satunya yang cukup terkenal, adalah sastrawan Wiji Thukul, yang sampai sekarang masih hilang.

Pada era Reformasi, penguasa dan aktivis politik juga menggandeng para seniman dalam kampanye politik mereka, hal ini terlihat jelas pada kampanye Pak Joko Widodo, yang saat itu sedang mencalonkan diri sebagai Presiden Republik Indonesia, untuk kontestasi Pemilihan Presiden 2014. Pada saat itu, salah seorang personil grup musik Slank, yaitu Abdee Negara, menjadi motor penggerak keterlibatan para musisi, dalam kampanye pencapresan Joko Widodo (Jokowi). Terlepas di kemudian hari, yang bersangkutan diangkat jadi komisaris salah satu BUMN, keberpihakan politik Abdee Negara, yang berupa dukungan terhadap salah satu calon presiden, pada dasarnya adalah sah-sah saja. Bahkan patut diapresiasi, karena berani secara terang-terangan memberikan dukungan politik.

Kalau dibandingkan dengan kemunafikan para seniman Manikebuis, yang bicara humanisme universal, dan seni untuk seni, sementara, di sekeliling mereka terjadi pembantaian massal terrhadap jutaan kader dan simpatisan PKI (Partai Komunis Indonesia), beserta kaum nasionalis pendukung Bung Karno, oleh kaki tangan penguasa yang mereka dukung, maka bagi saya sikap Abdee dan para musisi pendukung Jokowi lainnya, jauh lebih terhormat. Walaupun mungkin, esensi seni, yang kalua kata Albert Camus, adalah pemberontakan, belumlah dihayati dan dijalankan oleh para seniman pendukung Jokowi tersebut. Atau mungkin, bagi mereka, mendukung Jokowi, adalah salah satu bentuk pemberontakan juga? Entahlah.

Fenomena terkini, adalah aksi Erick Tohir, salah seorang Menteri di kabinet pemerintahan yang sekarang ini (Pemerintahan Jokowi periode kedua), yang mendekati para seniman selebritis, yang memiliki pengikut yang besar. Video reels maupun video tiktokan Erick Tohir dan para seniman selebritis tersebut, bersliweran di berbagai media sosial.

Tak sedikit juga yang gerah, beberapa politisi, bahkan terlihat mengkritisi aksi Erick Tohir, yang terkesan mengeksploitasi popularitas para seniman selebritis tersebut, untuk mendongkrak popularitas dirinya, supaya bisa ikut bersaing, dalam kontestasi Pemilu 2024. Sekali lagi, hal ini pada dasarnya, adalah sah-sah saja, persoalannya kemudian adalah ketika berbicara tentang moral atau etika politik, yaitu apakah secara moral, hal yang dilakukan oleh Erick Tohir mendekati para seniman selebritis itu adalah etis atau tidak? Apakah tugas beliau sebagai salah seorang pejabat publik sudah berjalan dengan baik? Apakah departemen yang dipimpinnya, sudah bisa membantu mewujudkan kesejahteraan rakyat Indonesia secara keseluruhan? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang seharusnya bisa menjadi tolok ukur, untuk menjawab pertanyaan, apakah sikap dan langkah para politisi dan penguasa mendekati para seniman masih bisa diterima atau tidak?

Di sisi lain, seniman memang tidak boleh teralienasi dari politik, karena pada dasarnya segala sendi kehidupan berkaitan dengan politik, baik itu berupa kebijakan politik pemerintah, maupun aksi-aksi politik rakyat secara umum. Salah seorang penyair berkebangsaan Jerman, Bertolt Brecht pernah mengatakan, bahwa buta yang paling buruk adalah buta politik, karena dengan buta politik, maka seseorang tidak akan paham bahwa semua hal yang berkaitan dengan hidupnya dan masyarakat secara umum, pada dasarnya tergantung pada keputusan politik (Andre Vincent Wenas, “Bertolt Brecht: Buta Terburuk Adalah Buta Politik”, dalam https://redaksiindonesia.com/, diakses 25 Juli 2022). Artinya, seorang seniman, yang melek politik dan memiliki keberpihakan politik, pada dasarnya adalah jauh lebih baik, daripada para seniman yang buta politik, atau yang pura-pura buta politik, akan tetapi diam-diam mendukung suatu kekuatan politik tertentu, yang proimperialis yang menyengsarakan mayoritas rakyat.

Mungkin salah satu musisi yang cukup melek politik, adalah Ahmad Dhani, pimpinan grup music Dewa 19, walaupun terkesan sok tahu, dan sombong, tapi dia secara politik paham, tokoh atau kelompok politik mana yang seharusnya dia dukung, yang sekiranya sesuai dengan interes politik yang dia miliki. Walaupun memang kegandrungannya akan simbol-simbol Partai Nazi, yang dalam sejarahnya telah membantai jutaan manusia, tetap tidak bisa ditolerir. Akan tetapi, ia paham bahwa hidup seniman sebagai bagian dari masyarakat, juga tergantung pada keputusan politik. Karena itulah, di berbagai video, baik itu berupa podcast ataupun acara lainnya, ia selalu menyuarakan bahwa seniman adalah kaum yang cukup sulit hidupnya, khususnya di masa pandemi corona. Selain itu, seniman juga tidak bisa mengajukan pinjaman atau hutang ke bank, karena tidak punya penghasilan tetap, selayaknya pekerja kantoran. Terakhir, belum lama ini, pemerintahan yang sekarang ini, mengeluarkan Peraturan Pemerintah, Nomor 24 Tahun 2022, yang salah satu poinnya adalah bahwa kekayaan intelektual seperti lagu dan film, bisa dijadikan sebagai jaminan hutang (Dikutip dari rbg.id, “Kekayaan Intelektual Bisa Jadi Jaminan Hutang”).

Kembali lagi ke konteks awal, yaitu terkait pertanyaan, sejauh mana Langkah penguasa, politisi, maupun aktivis politik, bisa diterima ketika mendekati para seniman? Bagi saya, sejauh kepentingan politik yang diusung penguasa, para politisi, dan aktivis politik itu bertujuan untuk menyejahterakan dan menyelamatkan rakyat, maka pendekatan mereka terhadap para seniman, masih bisa ditolerir. Akan tetapi, jika mereka hanya melakukan pendekatan guna kepentingan pribadi mereka, baik itu untuk memperkaya diri lewat kekuasaan, maupun hal lainnya, maka langkap penguasa, politisi, dan aktivis politik tersebut, sudah tidak bisa ditolerir. Untuk itu, para seniman harus melek politik, mau belajar politik, karena popularitas mereka pada dasarnya adalah hal yang cukup penting dalam setiap kontestasi politik, walaupun memang bukan hal yang paling penting. Karena Salvador Allende dalam sejarahnya bisa memenangkan kontestasi pemilu di Chile, karena turun langsung ke rakyat, mendatangi tiap-tiap rumah rakyat, mendengarkan keluh kesah rakyat secara tulus, dukungan penyair Pablo Neruda ke beliau memang cukup membantu, akan tetapi bukanlah hal yang paling utama untuk menentukan kemenangan Salvador Allende.

Akhir kata, hubungan kolaboratif antara penguasa, politisi, aktivis politik, dan seniman harus senantiasa dijaga, dengan syarat kolaborasi tersebut memang sebenar-benar bertujuan untuk kemaslahatan rakyat banyak, dan bukan untuk kepentingan pribadi si politisi belaka. Para aktivis politik sejati, secara esensial adalah penyambung lidah rakyat, sementara seniman adalah pihak yang memberikan unsur keindahan/estetis pada perjuangan politik untuk rakyat.

Baca Juga: [OPINI] Media Sosial Membuatku Semakin Kesepian

Harsa Permata Photo Writer Harsa Permata

Harsa Permata lahir di Aceh Selatan, pada tanggal 30 Januari 1979. Alumni Filsafat Universitas Gadjah Mada. Sempat menjadi pengajar di Sekolah Dasar dan Menengah internasional di Jakarta, pada tahun 2005-2011, salah satunya adalah Sekolah Jubilee, Jakarta. Pada tahun 2016, menjadi dosen tetap di Universitas Universal, Batam, Kepulauan Riau. Ia juga mengajar sebagai dosen tidak tetap di berbagai perguruan tinggi seperti Universitas Sanata Dharma dan Universitas Islam Indonesia di Yogyakarta.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Novaya

Berita Terkini Lainnya