[OPINI] Tentang Pemotongan Nisan Salib di Yogyakarta

Wujud intoleransi atau demokrasi?

Beberapa hari yang lalu, peristiwa pemotongan nisan salib di Yogyakarta, menjadi viral di berbagai media sosial. Hal tersebut, kurang lebih dikarenakan salah satunya adalah maraknya pemberitaan terhadap peristiwa tersebut. Beberapa media menyebut peristiwa tersebut sebagai wujud intoleransi. Walaupun demikian, ada juga beberapa media yang mencoba mengulas duduk perkara sebenarnya dari peristiwa pemotongan nisan salib tersebut.

Salah satunya adalah sebuah artikel yang ditulis oleh Dipna Videlia Putsanra, di tirto.id, yang berjudul "Duduk Perkara Pemotongan Nisan Salib di Makam Purbayan Yogyakarta”. Dalam artikel tersebut dijelaskan, berdasarkan hasil wawancara penulis artikel dengan seorang tokoh masyarakat setempat, Bejo Mulyono, yaitu bahwa pemotongan nisan salib tersebut adalah hasil musyawarah antar warga setempat, dengan keluarga mendiang Albertus Slamet Sugihardi. Kesepakatan tersebut juga telah dituangkan dalam selembar surat, yang ditandatangani bersama oleh perwakilan warga setempat dan keluarga mendiang (https://tirto.id/, akses 19/12/2018).

Hal senada juga ditulis dalam sebuah reportase yang ditulis oleh Yogie Fadila dan diterbitkan dalam laman situs idntimes.com, tanggal 19 Desember 2018. Reportase yang berjudul “Kasus Pemotongan Salib Makam: Apa yang Sebenarnya Terjadi?”, tersebut menjelaskan bahwa sudah terjadi kesepakatan antara warga setempat dan keluarga mendiang. Yaitu bahwa mendiang Sugihardi boleh dimakamkan di Makam Jambon, dengan persyaratan meniadakan ritual keagamaan di makam dan setelah prosesi pemakaman. Selain itu, disepakati pula untuk meniadakan simbol-simbol berupa salib. Ketika peristiwa tersebut menjadi viral, maka dituangkanlah kesepakatan yang awalnya hanya dalam bentuk lisan tersebut, ke dalam dokumen tertulis berupa surat (https://www.idntimes.com/, akses 19/12/2018).

Hal yang menjadi pertanyaan kemudian, apakah tindakan pemotongan nisan salib tersebut merupakan wujud dari intoleransi atau demokrasi khas Indonesia yang berbasiskan musyawarah dan kearifan lokal? Sebagaimana yang diketahui, beberapa media memberitakan peristiwa ini sebagai wujud intoleransi. Akan tetapi, ada juga, pemberitaan yang cukup berimbang, seperti artikel dan reportase, dari dua media online yang dikutip dalam paragraf-paragraf sebelumnya, yang menyelidiki lebih terang bagaimana duduk perkara peristiwa pemotongan nisan salib tersebut.

Secara esensial, demokrasi Indonesia sejatinya bukanlah seperti demokrasi barat yang liberal, yang lebih mengedepankan perdebatan bersitegang urat leher, dibanding mencari solusi bersama secara musyawarah. Sebagaimana dikatakan oleh Bung Karno, dalam buku "Pancasila Sebagai Dasar Negara", yaitu bahwa demokrasi dalam masyarakat Indonesia, bukanlah sekedar alat untuk mencapai tujuan, melainkan adalah sebuah kepercayaan (geloof). Dasar dari demokrasi Indonesia adalah musyawarah, yang menjadi syarat utama dari kesempurnaan hidup bersama, yang dimaknai sebagai hidup bebrayan, atau hidup berumah tangga/berkeluarga (Lihat buku "Pancasila Sebagai Dasar Negara", terbitan Inti Idayu Press, tahun 1986, halaman 90). 

Dalam demokrasi liberal, biasanya perbedaan pendapat, akan diselesaikan dengan debat yang bersifat saling menjatuhkan. Bahkan terkadang diakhiri dengan voting, untuk menentukan secara kuantitas, besaran suara terbanyak. Sedangkan, dalam demokrasi Indonesia, yang proses pengambilan keputusannya dilakukan melalui metode musyawarah untuk mufakat, perbedaan pendapat tidak berujung menjadi perdebatan yang saling mengalahkan. Sebisa mungkin, kompromi diambil untuk merumuskan sebuah konsensus yaitu mufakat, yang kemudian ditaati oleh semua orang yang terlibat dalam musyawarah.

Karena itulah, warga yang mayoritas muslim di Purbayan, Kotagede, Yogyakarta memperbolehkan mendiang Sugihardi, untuk dimakamkan di areal pemakaman warga setempat, tetapi dengan syarat simbol-simbol agama ditiadakan. Itulah wujud dari kompromi sebagai salah satu contoh kearifan lokal masyarakat Yogyakarta, atau Kotagede khususnya. Kompromi tersebut pada dasarnya adalah hasil musyawarah, yang juga merupakan cerminan dari demokrasi khas Indonesia. Karena itulah, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (D.IY), Sri Sultan Hamengkubuwono X, yang cukup paham bagaimana budaya dan kearifan lokal masyarakat Yogyakarta, menegaskan bahwa peristiwa pemotongan nisan salib tersebut, bukan merupakan wujud intoleransi (https://www.republika.co.id/, akses 20/12/2018).

Walaupun pemotongan nisan salib tersebut adalah hasil musyawarah, bukan berarti hal tersebut terlepas dari kekurangan. Walau bagaimana pun, salib itu adalah simbol keagamaan, agama Kristen, baik itu Kristen Protestan maupun Kristen Katolik. Oleh karena itulah, salib sebagai simbol agama, haruslah dihargai dan tidak dirusak sama sekali. Seharusnya memang sebelum prosesi pemakaman, sudah dibuat kesepakatan supaya simbol agama seperti salib tersebut tidak dipasang di makam. Sehingga tindakan pemotongan nisan, tidak terjadi. Akan tetapi, mungkin, dikarenakan kondisi darurat, yaitu peristiwa wafatnya mendiang Sugihardi yang tiba-tiba, hingga warga sekitar dan pihak keluarga, belum bisa merumuskan sebuah kesepakatan yang benar-benar sempurna.

Akhir kata, peristiwa pemotongan nisan salib di Yogyakarta, pada dasarnya adalah bukan wujud dari intoleransi, melainkan adalah sebuah praktek nyata dari demokrasi khas Indonesia, yang mengedepankan musyawarah untuk mufakat. Hal yang mungkin terkesan janggal jika dilihat dari kacamata barat, akan tetapi, bagi orang yang sudah paham budaya musyawarah dalam masyarakat Indonesia, hal ini bukanlah hal yang asing. Seruan untuk seluruh bangsa Indonesia, agar tetap menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi dan perdamaian, untuk menjaga supaya peristiwa ini, tidak dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab, yang memperoleh keuntungan dari konflik dan perpecahan bangsa Indonesia.

Baca Juga: [OPINI] Tuti, Agni dan Eksploitasi Manusia Sesama Manusia

Harsa Permata Photo Writer Harsa Permata

Harsa Permata lahir di Aceh Selatan, pada tanggal 30 Januari 1979. Alumni Filsafat Universitas Gadjah Mada. Sempat menjadi pengajar di Sekolah Dasar dan Menengah internasional di Jakarta, pada tahun 2005-2011, salah satunya adalah Sekolah Jubilee, Jakarta. Pada tahun 2016, menjadi dosen tetap di Universitas Universal, Batam, Kepulauan Riau. Ia juga mengajar sebagai dosen tidak tetap di berbagai perguruan tinggi seperti Universitas Sanata Dharma dan Universitas Islam Indonesia di Yogyakarta.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Novaya

Berita Terkini Lainnya