[OPINI] Tuti, Agni dan Eksploitasi Manusia Sesama Manusia

Sebuah protes terhadap apa yang sedang jadi polemik

Exploitation de l'homme par l'homme atau eksploitasi manusia atas manusia lainnya, adalah sebaris frase yang sering disampaikan Bung Karno, presiden pertama dan salah seorang proklamator kemerdekaan Indonesia. Beliau adalah salah satu orang yang paling bersemangat mengkampanyekan penghapusan atas sistem penindasan manusia atas manusia, yang sejalan dengan garis politiknya, yaitu anti imperialisme, anti kolonialisme, dan anti kapitalisme. Persoalannya adalah, pasca beliau tiada, sistem tersebut masih ada di Indonesia dan di berbagai belahan dunia lainnya. Bahkan partai yang mengaku sebagai pelanjut ideologi Marhaenisme Bung Karno pun, masih mempertahankan keberadaan dari sistem tersebut.

Apa buktinya? Kebijakan upah murah, melalui Peraturan Pemerintah (PP) 78 tahun 2015, yang melihat bahwa kenaikan gaji/upah hanya ditentukan oleh laju inflasi, tanpa memperhitungkan komponen kebutuhan hidup layak. Hal yang juga merupakan salah satu bentuk perampasan secara legal atas nilai lebih (surplus value) yang dihasilkan oleh kaum buruh.

Bukti berikutnya, adalah kebijakan impor pangan yang masih dilanggengkan, hal yang membuat hasil kerja kaum tani, dihargai dengan sangat murah. Selain itu, penggusuran terhadap pemukiman dan lahan kerja kaum miskin kota, juga menjadi kebijakan yang tetap dilanjutkan oleh pemerintahan sekarang ini.

Sistem penindasan manusia atas manusia inilah yang juga mengakibatkan eksekusi mati terhadap Tuti Tursilawati, seorang tenaga kerja Indonesia di Arab Saudi, yang melawan ketika majikannya memperkosanya, hal yang mengakibatkan majikannya kehilangan nyawa. Akhir-akhir ini, bahkan salah seorang mahasiswi bernama Agni, dari universitas yang salah seorang alumninya sekarang menjadi Presiden Republik Indonesia pun tak luput dari tindakan perkosaan oleh temannya yang juga sesama mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM). Perkosaan tersebut terjadi saat keduanya sedang berada di lokasi KKN (Kuliah Kerja Nyata) di Maluku.

UGM pun terkesan gagap dalam memberikan sanksi terhadap pelaku pemerkosaan tersebut. Terakhir UGM hanya menahan kelulusan dari yang bersangkutan, tanpa memberhentikannya sebagai mahasiswa. Sejujurnya tindakan pemerkosaan yang dilakukan oleh salah seorang mahasiswa Fakultas Teknik UGM tersebut, pantas untuk diberi sanksi pemecatan sebagai mahasiswa UGM. Hal yang membuat miris lagi adalah si korban perkosaan, yaitu Agni, sempat mendapat nilai C untuk KKN-nya, karena dianggap ikut berkontribusi dalam kasus perkosaan yang menimpa dirinya (Citra Maudy, www.balairungpress.com, akses 8 November 2018).

Semua hal yang sudah dipaparkan tadi, secara keseluruhan adalah bukti bahwa selama penindasan manusia atas manusia masih ada, maka selama itulah upah buruh murah, impor pangan, perkosaan, rasisme (diskriminasi terhadap ras, etnis dan kondisi fisik), penggusuran, persekusi terhadap kaum minoritas, dan lain-lain, akan tetap terjadi.

Bahkan negara yang dianggap paling demokratis sekalipun, seperti Amerika Serikat, seorang patriarkhal seperti Donald Trump bisa jadi presiden. Kasus skandal seksnya dengan bintang-bintang panas, serta sikapnya yang tidak menghormati istrinya, adalah cerminan budaya yang dimiliki oleh masyarakat patriarki, yang menurut Cambridge Dictionary adalah "a society in which the oldest male is the leader of the family, or a society controlled by men in which they use their power to their ownadvantage" (https://dictionary.cambridge.org, akses 8 November 2018).

Budaya patriarki ini pada dasarnya adalah cerminan dari sistem ekonomi dan politik yang mengambil keuntungan dari penindasan manusia atas manusia. Saat ini, pada era modern, sistem ekonomi politik yang dominan adalah kapitalisme. Walaupun telah bermetamorfosa menjadi neoliberalisme, secara esensi masih tetap sama, yaitu yang punya kapital atau pemilik modal alias kapitalis borjuis adalah pihak yang merampas nilai lebih kaum buruh yang bekerja padanya.

Secara sederhana, nilai lebih adalah selisih dari nilai produk yang dihasilkan oleh kaum buruh dengan gaji/upah yang diterimanya. Contohnya, jika seorang buruh pabrik roti menghasilkan 100 potong roti perhari, yang harga satuannya adalah Rp. 5000, maka total nilai produk yang dihasilkan olehnya perhari adalah Rp. 500.000. Jika buruh tersebut bekerja 22 hari setiap bulannya, maka nilai produk yang dihasilkannya dalam sebulan adalah Rp. 500.000 dikali 22 hari, yaitu Rp. 11.000.000. Realitasnya di Indonesia, upah minimum buruh tertinggi, di Provinsi Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, hanya sebesar Rp. 3.900.000. Di daerah-daerah seperti Provinsi Jawa Tengah, upah minimum untuk buruh bahkan tidak sampai setengahnya upah minimum DKI Jakarta tersebut.

Dalam kenyataan, memang tidak mungkin untuk menghapuskan sistem penindasan manusia atas manusia ini dalam satu malam. Akan tetapi, dalam sejarah, bangsa Indonesia terbukti mampu melepaskan diri dari jeratan kolonialisme dan imperialisme, pada saat memproklamirkan kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia, tanggal 17 Agustus 1945. 

Kalimat pembuka dalam teks pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu "Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan" (https://www.putra-putri-indonesia.com, akses 8 November 2018), adalah salah satu bentuk manifesto penolakan terhadap penindasan manusia atas manusia.

Saat ini ada beberapa hal minimal yang bisa dilakukan oleh pemerintah Republik Indonesia sekarang untuk menghapuskan penindasan manusia atas manusia. Pertama, terkait eksekusi mati terhadap Tenaga Kerja Indonesia, Tuti Tursilawati, adalah menuntut permintaan maaf secara terbuka dari pemerintahan Arab Saudi dan pemberian santunan oleh Pemerintah Arab Saudi terhadap keluarga Tuti Tursilawati. Kedua, untuk kasus perkosaan yang dialami Agni, mahasiswa Fisipol UGM, Presiden Jokowi selaku pemimpin negara Republik Indonesia dan alumni UGM harus bersikap tegas pada UGM yang tidak berani memberi sanksi keras pada pelaku pemerkosaan.

Untuk hal-hal maksimal, seperti penghapusan kebijakan upah murah, yaitu PP 78 tahun 2015, liberalisasi impor pangan, penggusuran, rasisme, dan lain-lain. Pemerintah Jokowi harus mau merangkul seluruh rakyat untuk bergerak secara bersama-sama menjalankan amanat pembukaan UUD 1945, yaitu penghapusan segala bentuk penindasan manusia atas manusia di atas dunia.

Baca Juga: [OPINI] Jurang Sosial Media dalam Konten Politik di Indonesia

Harsa Permata Photo Writer Harsa Permata

Harsa Permata lahir di Aceh Selatan, pada tanggal 30 Januari 1979. Alumni Filsafat Universitas Gadjah Mada. Sempat menjadi pengajar di Sekolah Dasar dan Menengah internasional di Jakarta, pada tahun 2005-2011, salah satunya adalah Sekolah Jubilee, Jakarta. Pada tahun 2016, menjadi dosen tetap di Universitas Universal, Batam, Kepulauan Riau. Ia juga mengajar sebagai dosen tidak tetap di berbagai perguruan tinggi seperti Universitas Sanata Dharma dan Universitas Islam Indonesia di Yogyakarta.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Novaya

Berita Terkini Lainnya