[OPINI] Buruh, 'Robot Bernyawa' dalam Lagu Iwan Fals

Robot bernyawa terus bekerja, mulut dikunci tak boleh bicara

Pernah dengar lagu lawas berjudul “Robot Bernyawa”? Lagu tentang orang tak berdaya yang mempertanyakan haknya. Lagu bagi mereka yang dituduh pengacau kerja dan pahlawan kesiangan. Lagu untuk mereka yang berdiri di depan pabrik minta keadilan. Lagu milik mereka yang disebut buruh.

Di depan pabrik minta keadilan

Hanyalah janji membumbung tinggi

Tuntutan mereka membentur baja

Terus bekerja atau di-PHK

Memang betul kata Iwan Fals, tuntutan mereka membentur baja. Tuntutan tinggal tuntutan, tindak lanjut tak pernah jadi kenyataan. Padahal, para buruh menuntut apa yang selayaknya diterima: hak pekerja, jaminan keselamatan, upah, dan hak-hak lain yang tak sampai pada mereka. Dengan demikian, bukankah aspirasi memang harus dilantangkan? Kebebasan menyuarakan aspirasi bahkan mendapat perlindungan hukum, tetapi yang berkuasa tetaplah penguasa. Ia yang tentukan apakah pekerja terus bekerja atau di-PHK.

Jangan bertanya, jangan bertingkah

Robot bernyawa teruslah bekerja

Sapi perahan di zaman modern

Mulut dikunci tak boleh bicara

Memilukan hati, bukan? Bagaimana bisa, manusia diumpamakan robot bernyawa yang selalu patuh apa kata tuannya. Manusia disandingkan sapi perah yang tak berdaya diambil sari tubuhnya. Manusia tak terdengar suaranya dan tak boleh bicara. Sungguh pilu menyaksikan zaman modern yang konon zaman pencerahan, tetapi justru menyilaukan bagi kaum yang marjinal.

Apakah hukum alam memang selalu begitu? Yang kuat menang atas yang lemah. Yang digdaya menyingkirkan yang tak berdaya. Tak bisakah kondisi dikoreksi? Yang kuat melindungi yang lemah, yang digdaya merangkul yang tak berdaya. Ah, barangkali cuma angan-angan saja. Tapi tak bolehkah sekadar berangan-angan? Setidaknya angan-angan mampu menjadi pelipur ketika dada sesak melihat kenyataan yang entah kapan manisnya.

Para buruh menuntut keadilan. Apa sebetulnya hakikat keadilan? Mengapa begitu indah bila diucapkan cendikiawan dan penegak hukum. Namun, selalu pilu bila dipertanyakan oleh mereka yang hidupnya tak menentu. Keadilan selalu dirumuskan dalam undang-undang dan hukum konstutusi, ditulis dalam novel-novel hingga puisi, juga digemborkan dalam ceramah sampai khotbah. Seakan keadilan adalah sesuatu yang didamba oleh setiap manusia di muka bumi. Kalau memang didamba oleh semua orang, mengapa masih banyak orang menuntut keadilan? Apa saat ini keadilan cuma jadi cita-cita? Atau jangan-jangan orang telah keliru menafsirkan keadilan. Manusia hanya berteriak minta keadilan ketika dalam penindasan, kemudian melupa ketika di puncak kesenangan. 

Dewi keadilan barangkali tengah menangis. Menangisi mereka yang suaranya telah padam. Menangisi kemanusiaan yang berbentur kepentingan. Menangisi keadilan yang entah kapan jadi kenyataan. 1 Mei 2022, semoga yang bernyawa tak jadi robot, semoga yang bicara didengar suaranya.

Baca Juga: [OPINI] Perlunya Digitalisasi Sistem Pertanahan di Indonesia

Himatul Aliyah Photo Verified Writer Himatul Aliyah

Anak mbarep yang lahir otodidak

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Indiana Malia

Berita Terkini Lainnya