[OPINI] Filosofi Mudik: Hidup Hanya Sementara di Dunia

Ayo mudik!

Mudik menjadi tradisi bagi sebagian besar masyarakat Indonesia yang sangat dinanti-nantikan. Banyak romantisme kampung halaman yang ingin diulang oleh para perantau. Mulai dari hanya berkumpul bersama, mengunjungi sanak saudara, makan ketupat, hingga melepas rindu dengan teman lawas.

Istilah ‘mudik’ sendiri merupakan bentuk kata kerja dari kata ‘udik’ yang artinya desa. Namun, oleh banyak masyarakat jawa, kata ‘mudik’ juga diidentikkan dengan singkatan dari kata ‘mulih dilik’ yang memiliki makna pulang sebentar. Jadi, secara umum, mudik diartikan sebagai kegiatan sejenak kembali ke kampung halaman saat musim lebaran.

Konon, tradisi mudik sendiri sebenarnya sudah ada sejak jaman kerajaan Majapahit. Saat itu, orang-orang pulang ke kampung halamannya untuk membersihkan makam para leluhurnya setelah ditinggal lama di perantauan. Sambil membersihkan makam leluhur, mereka biasanya berdoa agar diberikan keselamatan dunia akhirat, Jadi, zaman dahulu, istilah ‘mudik’ sama sekali tidak berkaitan langsung dengan perayaan Lebaran.

Seiring dengan berjalannya waktu, istilah ‘mudik lebaran’ mulai berkembang dan menjadi tradisi banyak masyarakat hingga sekarang. Seperti yang terjadi saat ini, mudik dimaknai sebagai kembalinya orang perantau dari tempatnya bekerja dan mencari nafkah. 

Selain itu, mudik memiliki filosofi yang tak kalah penting dari maknanya. Mudik, memberikan pelajaran hidup bahwa kita sebenarnya hanya tinggal sementara di dunia, dan pasti akan kembali ke dunia fana, yaitu akhirat. Mudik mengajarkan kita menyadari dari mana kita berasal dan akan ke mana kita kembali. Jadi, mudik secara tidak langsung bisa mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.  

 

Iip Afifullah Photo Verified Writer Iip Afifullah

Someone

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Faiz Nashrillah

Berita Terkini Lainnya