[OPINI] Mengapa Seseorang Bisa Membenci Keluarganya?

Terdapat alasan yang melatarbelakanginya

Tidak semua orang bisa merasakan hubungan yang begitu dekat dan hangat bersama keluarga mereka. Dalam beberapa kasus pun seseorang bahkan bisa mengembangkan perasaan benci pada keluarga mereka sendiri. Persoalan ini mungkin terdengar ekstrem dan memang, tidak sepantasnya individu dalam suatu keluarga memiliki perasaan demikian.

Namun, ada kalanya seseorang memiliki alasan yang menjadikannya pemantik kebencian itu muncul pada orang-orang yang mendapat label sebagai keluarga. Tentu saja alasan itu melibatkan sesuatu yang besar dan terjadi secara intens dalam waktu yang cukup lama. 

Sekarang mari kita coba menelaah terkait faktor yang dapat menyebabkan seseorang membenci keluarga mereka. Menurut survei yang bertajuk Hidden Voices: Family Estrangement In Adulthood tahun 2015, orang-orang dewasa di Inggris yang tinggal jauh dari orang tuanya mengungkapkan beberapa penyebab paling umum perpecahan dalam keluarga. Penyebab paling umum tersebut di antaranya adalah:

  • Pelecehan emosional.
  • Penelantaran
  • Nilai atau kepribadian yang bertentangan antara anak dan orang tua.
  • Harapan yang berbeda tentang peran keluarga.
  • Peristiwa traumatis dalam keluarga.
  • Masalah yang berkaitan dengan kesehatan mental.

Sementara itu, kemarahan (yang berisiko menjadi kebencian) juga bisa terjadi karena kurangnya batasan yang tepat dalam hubungan berkeluarga. Kita ambil beberapa contoh batasan yang buruk dalam keluarga, misalnya, tidak menghormati privasi, menggunakan taktik manipulasi untuk mengendalikan perilaku, atau mengabaikan perasaan dan emosi anggota keluarga lain. Meskipun secara tidak langsung konteks contoh di atas mengarah pada anak sebagai objek korban, tapi bukan tidak mungkin orang tua pun bisa mengalaminya.

Batasan masing-masing individu tidak membuat mereka menjadi asing dalam suatu keluarga. Justru, ini sangat penting untuk membantu menjaga kesehatan mental tetap seimbang. Ketika "batasan" itu dihargai oleh orang lain, individu yang bersangkutan akan merasa lebih nyaman dalam menjalankan hubungan berkeluarga. Mereka merasa dianggap dan diakui sebagai manusia yang berdikari. Intinya di sini adalah bahwa setiap orang berhak atas batasannya masing-masing.

Seseorang juga dapat mengembangkan perasaan marah yang kemudian merambat dalam unsur kebencian, ketika mereka memiliki pandangan yang sangat berbeda dari anggota keluarganya. Ketidaksepakatan ini mungkin berkaitan dengan isu politik atau agama. Tidak hanya itu, keputusan seperti memilih pasangan hidup misalnya, sering kali menjadi pemicu konflik antara anak dan orang tuanya. Dengan kata lain, kebencian pada keluarga itu dapat hadir ketika seseorang tidak mendapatkan dukungan dan penerimaan atas keputusan yang menurutnya "baik" untuk dilakukan. 

Kurang afdol rasanya apabila kita tidak menelisik mengenai tanda-tanda hubungan keluarga yang toxic. Karena sudah menjadi rahasia umum, apabila keluarga toxic justru hanya akan menjadi ancaman baik dari segi fisik, emosional, atau psikologis. Dengan demikian, penting untuk mengenali tanda-tanda hubungan toxic, seperti:

  • Tidak saling menghormati: seseorang mungkin merasa bahwa anggota keluarganya tidak menghargai kebutuhan pribadinya.
  • Dieksploitasi: anggota keluarga yang toxic sering kali memiliki harapan yang tinggi namun tidak membalas budi.
  • Tidak mendapatkan dukungan secara penuh: persoalan ini membuat seseorang merasa seperti tidak mengenal anggota keluarganya secara utuh. Selain itu, orang-orang yang dianggap paling dekat seolah tidak bersedia memberi dukungan secara penuh baik dari segi moril maupun materil.
  • Memberi pengaruh negatif: orang-orang ini sering menjadi pengaruh buruk terhadap persepsi secara umum. Tidak jarang sering memunculkan kualitas terburuk anggota keluarga lainnya.
  • Sering menyalahkan: ketika suatu rencana dalam keluarga tidak berjalan sesuai ekspektasi, anggota keluarga yang toxic akan menyalahkan orang lain. Bahkan tidak segan untuk menolak tanggung jawab atas tindakan mereka sendiri.

Strategi seperti menjauhkan diri dari situasi yang kacau, menetapkan batasan, atau berusaha memperbaiki hubungan yang tidak sehat dalam keluarga mungkin bermanfaat bagi kesehatan mental. Namun, jika suatu hubungan lebih banyak mendatangkan kerugian, tidak ada salahnya menetapkan jarak dengan orang tersebut. Ketika tekanan secara emosional kian melanda akibat hubungan keluarga yang toxic, disarankan untuk berkonsultasi pada ahli kesehatan mental. Ini akan membantu seseorang mengelola gejala masalah kesehatan mental dengan mendapatkan perawatan yang tepat dari ahlinya.

Perasaan benci pada keluarga memang mengandung konteks yang negatif. Tidak ada juga yang mengharapkan situasi rumit seperti ini terjadi. Namun, karena masing-masing manusia memiliki karakteristik tersendiri, ada kalanya konflik datang dan pergi silih berganti. Apapun masalahnya, setiap manusia berhak merasa nyaman dan bahagia dalam menjalani kehidupan.

Baca Juga: [OPINI] Stereotip dan Domestikasi Perempuan dalam Sinetron Televisi

Indriyani Photo Verified Writer Indriyani

Full-time learner, part-time writer and reader. (Insta @ani412_)

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Novaya

Berita Terkini Lainnya