Catatan Moral: Perlunya Seimbangkan Kognitif dan Afektif Pelajar

Ingatlah bahwa nilai afektif jauh lebih penting

Berbagai problematika bangsa Indonesia terus bermunculan berkenaan dengan krisis moral. Segala problematika yang setiap hari diberitakan di media massa atau pun surat kabar seakan berakar dari krisis moral atau karakter. Kita seringkali melihat tayangan tentang penyalahgunaan berita hoax, tawuran antar pelajar, pembunuhan, sampai kriminalitas yang seolah telah menjadi implementasi dari proses pembelajaran generasi muda saat ini.

Problematika yang terjadi di bangsa ini salah satunya ialah karena minimnya karakter pimpinan yang dapat dijadikan teladan, maraknya kiris kejujuran, serta kurangnya filter terhadap penayangan acara maupun iklan di media televisi. Belum lagi, arus globalisasi yang berkembang pesat di zaman modern seperti saat ini memiliki peluang besar terhadap masuknya budaya asing tanpa terawasi hingga menggerogoti kearifan lokal pribumi.

Melihat pada tantangan serta ancaman tersebut, hal yang sekiranya harus diperhatikan oleh semua pihak adalah mencari solusi atas segala permasalahan yang terjadi, serta mengimplementasikan aturan-aturan bijak yang telah ditetapkan pemerintah. Semua akar dari problematika ini dapat diatasi oleh lingkungan sekitar, baik keluarga maupun instansi pendidikan, bagaimana seharusnya lingkungan-lingkungan tersebut dapat menanamkan moralitas yang baik untuk menumbukan kepribadian nasionalis serta karakter yang kuat terhadap anak-anak bangsa maupun para generasi muda.

Dalam hal ini, dunia pendidikan tak lepas menjadi sorotan masyarakat untuk mengatasi krisis moral sebagai sebab dari segala problematika yang terjadi. Hal inilah yang pada akhirnya mendorong pemerintah mengembangkan kurikulum pendidikan dengan kebijakan baru. Hadirnya kurikulum 2013 seakan menjadi harapan besar masyarakat dalam pengendalian tingkah laku maupun karakter generasi muda, sehingga hal tersebut dapat meminimalisir kasus-kasus yang terjadi pada remaja seperti tawuran antar pelajar, pelecehan seksual, ataupun pembunuhan.

Kurikulum 2013 merupakan sebuah siasat pembelajaran yang memfokuskan pada aspek afektif (perubahan tingkah laku yang progresif) terhadap peserta didik, sehingga diharapkan peserta didik mampu menyeimbangkan antara sikap, pengetahuan, serta keterampilan melalui pembelajaran yang holistik dan menyenangkan. Berdasarkan pada hal tersebut, komponen instansi pendidikan terlebih tenaga pendidik memiliki tugas serta kewajiban yang berat untuk dapat mencapai tujuan pendidikan. Tugas serta kewajiban yang berat inilah yang menjadi fokus perhatian pendidik guna mencapai target goals secara efektif dan relevan.

Sayangnya, instansi pendidikan belum memahami sepenuhnya bagaimana para pendidik mampu menerapkan fokus perhatian dalam kurikulum yang berlaku sekarang. Mayoritas pendidik lebih memfokuskan mengenai nilai kognitif yang dicapai oleh peserta didik daripada nilai afektif yang justru lebih berperan penting dalam kehidupan. Instansi pendidikan kurang memfokuskan mengenai pembahasan konflik moralitas maupun karakter yang seharusnya diajarkan kepada peserta didik melalui dosen ataupun guru. Guru ataupun dosen yang kurang kompeten terhadap hal seperti ini mungkin saja hanya sebatas menjalankan kewajibannya untuk meluluskan siswa ataupun mahasiswa tanpa memedulikan karakter mereka sebagai pelajar dan agent of changes.

Melalui cerita dosen di sebuah perguruan tinggi, pernah terjadi kasus mengenai seorang mahasiswa yang berbohong kepada orang tuanya, sebut saja nama mahasiswa itu adalah Fulani. Dosen pembimbing yang kurang kompeten terhadap tugasnya, membuat Fulani memilih menunda tugas akhirnya menyusun skripsi. Namun, melihat kondisi dirinya yang seharusnya sudah diwisuda beberapa bulan ke depan, membuat Fulani tak tega mengabarkan kedua orang tuanya kalau dirinya tidak bisa mengikuti wisuda tahun ini dikarenakan skripsi yang belum kelar. Akhirnya, Fulani memutuskan untuk berbohong kepada kedua orangtuanya dengan mengatakan bahwa bulan November mendatang dia akan wisuda. Maka, tanpa merasa curiga terhadap kebohongan anaknya, kedua orang tua Fulani lantas datang ke acara wisuda Fulani. Fulani terpaksa membuat surat pernyataan kelulusan sendiri, meminjam baju wisuda dan toga milik temannya yang sudah diwisuda, serta membuat surat undangan sendiri kepada orangtuanya.

Mengetahui cerita tersebut, bagaimana perasaan orang tua Fulani yang ternyata hanya mendatangi wisuda pura-pura anaknya?

Mengabaikan aspek afektif dengan memerhatikan aspek kognitif memang terlihat hal yang wajar. Namun, tanpa kita sadari dari hal kecil seperti itulah problematika remaja seperti saat ini terus bermunculan, tanpa kita sadari hal itu pula yang membuat generasi muda berani membunuh karakternya, berani berbohong, dan berani melakukan apa pun untuk mencapai tujuan yang diinginkan dengan cara tidak benar. Hal-hal seperti inilah yang seharusnya menjadi pekerjaan rumah kita terlebih instansi pendidikan dalam mencetak generasi muda yang berkarakter, bermoral, mandiri, serta jujur sesuai dengan tujuan pendidikan yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang. Karena kepribadian seseorang terbentuk dari lingkungannya, baik lingkungan keluarga, masyarakat, maupun pendidikan.

Nilai kognitif memang penting, tetapi nilai afektif tak jauh lebih penting.

Baca Juga: [OPINI] Konsep Pendidikan Ki Hajar Dewantara yang Semakin Terlupakan

Riani Shr Photo Verified Writer Riani Shr

Menulis adalah salah satu upaya menyembuhkan yang ampuh.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Novaya

Berita Terkini Lainnya