[OPINI] Catcalling: Mengapa Perempuan Harus Menghindar Padahal Korban?

Ketegasan untuk menciptakan kesejahteraan itu perlu

Istilah catcalling tentu tidak asing lagi di telinga kita. Catcalling merupakan tindakan orang (individu ataupun kelompok) yang membuat siulan, sapaan, ataupun komentar yang sifatnya menggoda. Secara tidak langsung, siulan, sapaan, ataupun komentar tersebut juga menurunkan nilai diri seseorang. Oleh karena itu, catcalling dikategorikan sebagai salah satu jenis pelecehan seksual secara verbal.

Umumnya catcalling dapat terjadi bukan hanya pada perempuan saja, tetapi juga laki-laki. Namun, kasus catcalling yang terjadi didominasi oleh kaum perempuan sebagai sasaran. Pernyataan ini didukung oleh hasil Survei Pelecehan Seksual di Ruang Publik yang menyebutkan bahwa sebanyak 64 persen dari 38.766 perempuan mengalami pelecehan di ruang publik. Sementara untuk laki-laki memiliki persentase sebanyak 11 persen dari 23.403 laki-laki. Mayoritas dari korban mengaku bahwa mereka pernah mengalami pelecehan secara verbal, seperti menerima komentar atas tubuh dan main mata.

Tindakan catcalling tidak mengenal waktu dan tempat. Bahkan di lingkungan pendidikan sekali pun, catcalling yang dialami oleh perempuan sangat mungkin dilakukan oleh laki-laki asing.

Catcalling memang terdengar sederhana dan bentuk kecil dari berbagai macam jenis pelecehan seksual yang ada, tetapi tindakan tersebut dapat memunculkan perasaan risih dan tidak nyaman bagi perempuan yang mengalaminya. Sebagian perempuan yang pernah mengalami catcalling menjadi ragu untuk mendatangi tempat-tempat tertentu sendirian, atau bahkan memilih untuk melewati jalan lain agar dapat menghindari peristiwa yang tidak diinginkan tersebut. Fenomena seperti itu kemudian membuat kita menyoal, mengapa perempuan yang harus menghindar padahal ia sendiri yang menjadi korban?

Sayangnya, di beberapa kasus, tindakan menegur pelaku dan melaporkan kepada pihak berwenang tidak mendapatkan respons sesuai yang diharapkan. Karena kenyataannya, perilaku catcalling dianggap sepele oleh beberapa pihak yang berkepentingan. Kalaupun laporan tersebut diterima untuk kemudian ditindaklanjuti, birokrasinya terkesan lamban dan tidak tegas. Pada akhirnya, catcalling yang merupakan suatu masalah dirasa menjadi bukan masalah dan dinormalisasikan. Dan hal itu semakin serius tatkala terjadi di lingkungan pendidikan.

Mengatasi catcalling bukan sekadar menjaga nilai diri seseorang dan menghentikan dampak negatif yang dialami korban maupun penyintas. Lebih dari itu, mengatasi catcalling juga berarti menanamkan konsep etika dalam ruang publik; bagaimana seharusnya manusia bersikap dan berperilaku di tempat umum. Upaya mengatasi masalah yang terjadi di tengah-tengah masyarakat tentunya akan dapat meningkatkan lingkungan yang aman bagi manusia itu sendiri.

Pertanyaan ‘mengapa perempuan yang harus menghindar padahal ia sendiri yang menjadi korban?’ sungguh miris jika diungkapkan. Sosok korban yang seharusnya mendapatkan keamanan justru semakin dirugikan karena rasa trauma, takut, dan malu yang dimilikinya di samping pelaku catcalling yang tidak mendapatkan sanksi tegas. Jika hal ini terus dibiarkan, maka catcalling pun akan terus dinormalisasikan.

Kita sama-sama memiliki andil dalam mengatasi pelecehan seksual, termasuk catcalling. Edukasi akan tindakan catcalling yang dapat berdampak negatif pada psikologis korban menjadi suatu hal yang perlu dilakukan di tengah-tengah masyarakat untuk meningkatkan kesadaran bersama.

Ketegasan untuk menciptakan kesejahteraan itu perlu. Ingat bahwa setiap manusia itu bernilai, tak terkecuali perempuan.

Baca Juga: [OPINI] Mengapa Sebagian Orang Memandang Sinis Persalinan Caesar?

Riani Shr Photo Verified Writer Riani Shr

Menulis adalah salah satu upaya menyembuhkan yang ampuh.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Merry Wulan

Berita Terkini Lainnya