Male Gaze: Cambuk Kekerasan Seksual Saat Semua Mulai Berani Speak Up

Dengarlah suaraku. Suaranya. Suara perempuan
“ … Ingat! Suaraku merambat-rambat. Sekalipun kapakmu mencoba memangkas. Ia akan terus tumbuh. Meski dihimpit diinjak sekalipun. Suaraku akan terus bertahan lama. Melampaui ajalku sendiri. Dengarlah suaraku. Suaranya. Suara perempuan.”

Sekarang ini banyak perempuan yang berani bersuara membela dirinya atas dasar pelecehan seksual maupun KDRT. Hal ini berbeda dibanding beberapa tahun lalu ketika banyak korban kekerasan seksual memilih untuk bungkam. Meskipun demikian, eskalasi ini nyatanya tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap tingkat kekerasan seksual di Indonesia, karena kasus tersebut masih banyak terjadi setiap tahun. CATAHU 2021: Catatan Tahunan Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2020 Komnas Perempuan menyatakan bahwa kasus kekerasan seksual dalam ranah personal/privat secara konstan masih menjadi terbanyak kedua yang diadukan setelah kasus kekerasan fisik, yakni sebanyak 1.938 kasus.

Adapun jenis kekerasan seksual yang berada di peringkat atas ialah pencabulan yakni sebanyak 412 kasus, disusul oleh KBGS (Kekerasan Berbasis Gender Siber) sebanyak 329 kasus. Kemudian, kasus lain seperti pemerkosaan di luar perkawinan berada di peringkat empat yakni sebanyak 309 kasus. Data tersebut membuat kita menyadari bahwa di samping keberanian para penyintas untuk speak up, faktanya perempuan masih rawan menjadi korban kekerasan, dan masih minim mendapatkan perlindungan di dunia maya.

Sementara itu, kasus kekerasan seksual yang tidak tercatat disebabkan oleh berbagai macam hal, seperti karena jumlah ketersediaan lembaga pelayanan di suatu daerah, maupun karena korban merasa malu untuk bercerita. Belum lagi, banyak dari masyarakat justru menyalahkan perempuan korban kekerasan seksual karena menggunakan pakaian yang dapat mengundang hasrat laki-laki, atau menyalahkan mereka karena ketidakpandaiannya dalam hal bela diri. Anggapan tersebut tanpa frontal tentu mengenyampingkan korban kekerasan seksual yang dialami oleh penyandang intellectual disability dengan keistimewaan cara berpikir dan berperilaku mereka.

Bisakah kita juga menyalahkan seorang berkebutuhan khusus yang menjadi korban kekerasan seksual karena mereka tidak menggunakan pakaian “layak”? Tentunya, hal tersebut menjadi sangat elusif.

Tidak hanya penghakiman dari masyarakat, respons dari penegak hukum maupun lembaga pelayanan yang kurang sesuai dengan harapan korban juga membuat mereka sungkan untuk melanjutkan proses laporan. Di beberapa kasus, terkadang kita melihat penyintas mengalami berbagai macam problematika selama menjalani proses hukum atas pelecehan seksual yang dialaminya, salah satunya respons pihak berwenang yang justru malah membentuk perasaan “malu” si korban, dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan sensitif misalnya. Kenyataan inilah yang membuat korban kekerasan seksual akhirnya memilih untuk bungkam, atau menyerah lebih dulu sebelum kasus ditangani secara ekstensif.

Padahal, korban kekerasan seksual rentan mengalami PTSD (post-traumatic stress disorder). Illenis dan Handadari (2011) dalam artikel yang ditulis oleh Khusnul Fadillah (2018) menyebutkan bahwa proses pemulihan korban kekerasan seksual melewati beberapa tahapan, di antaranya fase denial, anger, bargaining, depression, dan acceptance. Proses tersebut umumnya digunakan sebagai teori pemulihan diri, meskipun para korban tidak selalu melalui semua tahapan. Dari proses tersebut, kita mengetahui betapa sulitnya penyintas menyembuhkan diri mereka sampai berhasil pada tahap penerimaan (self-acceptance). Perjuangan tersebut semakin intens saat mereka akhirnya berani untuk bersuara.

Namun, bagaimana jadinya jika respons yang didapat justru di luar keinginan? Dalam problematika seperti ini, bersikap empati terhadap penyintas memang menjadi suatu hal yang vital dilakukan oleh lingkungan sekitar korban, baik keluarga, masyarakat, maupun lembaga pelayanan. Sikap empati memberikan kekuatan tersendiri bagi para penyintas, membuat mereka menyadari bahwa korban kekerasan seksual secara independen berhak membela HAM miliknya dan mendapatkan perlindungan hukum.

Lantas, mengapa kasus kekerasan seksual terhadap perempuan masih banyak terjadi meskipun para korban mulai berani untuk bersuara?

Tanpa kita sadari, media sendiri kerap kali mengilustrasikan berita mengenai kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dengan gambar yang secara tidak langsung memvalidasi korban. Ilustrasi yang ditampilkan kerap mengobjektifikasi penyintas–hanya merepresentasikan korban yang biasanya duduk menekuk lutut tanpa menampilkan secara menyeluruh pelaku kejahatan. Hal tersebut dapat memberikan penafsiran kepada pembaca bahwa perempuan korban kekerasan seksual tak bisa melawan, cenderung pasif, dan menerima segala bentuk stigma negatif yang melayang dari berbagai macam pihak.

Tak hanya itu, ilustrasi juga kerap menggambarkan adegan seksual pada saat kejadian secara implisit, gambar tersebut tentunya dapat memikat pembaca laki-laki atas dasar perasaan seksual dan emosional. Sebagaimana dikutip dari salah satu video Remotivi dengan judul “Gimana Media Ngegambarin Kekerasan Seksual?” (2020) yang mengatakan bahwa “Sadar gak sadar, media kerap memandang penyintas hanya sebagai komoditas dalam dagangan informasi, bukan manusia utuh”.

Berdasarkan penjabaran di atas, kita lantas mengetahui bahwa kenyataannya media sebagai alat kontrol sosial seringkali memuat bentuk male gaze, bahkan dalam berita mengenai kekerasan seksual sekalipun. Fenomena ini kemudian dapat membentuk sikap apatis masyarakat akan kekerasan seksual terhadap perempuan, karena mereka beranggapan bahwa perkara seperti itu bukanlah suatu hal yang krusial. Pada akhirnya, dukungan terhadap perempuan berjalan konstan. Laki-laki pelaku kejahatan pun merasa wajar jika melakukan pelecehan maupun pemerkosaan, sebab media menyajikan bentuk male gaze yang tak lain untuk dikonsumsi mereka.

Rivi Handayani (2017) dalam artikelnya menyebutkan bahwa male gaze berasal dari dua teori, yakni teori psikoanalisis dan feminis (Baran dan Dabis, 2012). Ketika seorang laki-laki tengah memandang perempuan, ia kerap kali tidak sadar mengenai apa yang sedang ia lakukan. Perasaan seksual dan emosionalnya mendahului ketika menatap perempuan. Kemudian, teori feminis dalam male gaze bertujuan untuk memahami sifat dasar ketidakadilan gender (Brabeck dan Brown, 1997). Perwujudan male gaze dalam berita kekerasan seksual terhadap perempuan inilah yang menjadi salah satu alasan mengapa kasus tersebut masih banyak terjadi di Indonesia setiap tahun meskipun para korban semakin banyak yang memberanikan diri untuk speak up, dan hal ini seakan telah menjadi semacam sistem yang terus berjalan.

Baca Juga: Korban Kekerasan Seksual Dapat Perlindungan Saat Melapor

Riani Shr Photo Verified Writer Riani Shr

Menulis adalah salah satu upaya menyembuhkan yang ampuh.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Novaya

Berita Terkini Lainnya