Masturbasi: Aktivitas Seksual yang Perlu Diketahui Bukan "Dihindari"

Pernah masturbasi? Normal kok, asal tidak berlebihan!

Masturbasi, istilah itu tidak asing lagi dalam pembicaraan mengenai pendidikan seksual. Para remaja bahkan menganggap bahwa “masturbasi” bukanlah kosakata yang baru. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi V, masturbasi berarti proses memperoleh kepuasan seks tanpa berhubungan kelamin atau stimulasi organ seks oleh diri sendiri. Istilah masturbasi memiliki makna yang sama dengan onani. Hanya saja terdapat perbedaan subjek yang menjadi acuan, jika masturbasi adalah kegiatan memuaskan hasrat seksual diri sendiri yang dilakukan oleh perempuan, maka onani adalah kegiatan memuaskan hasrat seksual diri sendiri yang dilakukan oleh laki-laki. Sementara itu, dalam Islam, istilah masturbasi atau onani dikenal dengan sebuatan istimna’.

Hal yang tidak semua orang ketahui adalah bahwa proses masturbasi tidak hanya terjadi pada remaja atau orang dewasa saja, tetapi juga sangat mungkin terjadi pada anak usia 5 tahun ke bawah. Usia tersebut memang wajar bagi anak mengenal tubuh mereka sendiri dan mengetahui bagaimana mereka berkembang, termasuk mengenal area genitalnya. Oleh karena itu, masturbasi yang dilakukan anak bukan karena timbulnya hasrat seksual, tetapi semata-mata karena merasa “nyaman” dan “enak”. Perilaku tersebut pun normal terjadi sebagai bagian dari bentuk eksplorasi.

Tidak jarang bukan kita mendapati anak kecil yang menyentuh area genitalnya, atau bahkan sengaja menggesekkan sesuatu pada area tersebut. Tindakan seperti itu merupakan bentuk dari masturbasi. Sayangnya, topik terkait masturbasi masih menjadi hal yang hampir tidak pernah disinggung dalam keluarga. Sama seperti pembicaraan mengenai menstruasi yang cenderung dihindari. Hal tersebut kemudian membuat pemahaman kita terkait masturbasi sangat minim. Akibatnya, hal-hal buruk berpeluang terjadi saat seseorang beranjak remaja karena edukasi terkait seksualitas terbatas dan dibatasi.

Saat anak kedapatan menyentuh dan memainkan vagina atau penisnya, misalnya, sebagian dari orang tua dapat reflek memarahinya, mengatakan bahwa tidak boleh menyentuh vagina ataupun penis milik sendiri. Beberapa kasus bahkan ada yang sampai mengambil tindakan fisik untuk segera menghentikan aktivitas anak tersebut. Namun, larangan yang hanya “sebatas” larangan ini, tanpa dibarengi dengan penjelasan apa pun justru memungkinkan anak mewajarkan hal tersebut sampai usia remaja–ketika ia berada di masa pubertas, ketika ia sadar tidak sadar telah memahami apa itu hasrat seksual. Dan semakin serius tatkala pada masa remaja pun, ia masih belum mendapatkan informasi yang memadai terkait masturbasi. Pada akhirnya, seseorang bisa melakukan kegiatan tersebut secara terus menerus dan berkepanjangan tanpa mengetahui dampak buruknya, hukumnya, serta cara mengatasinya.

Siswanto A Wilopo selaku Deputi Bidang Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dalam seminar nasional tentang Kesehatan Reproduksi yang diadakan di Jakarta pada bulan April 2005 lalu menyampaikan bahwa ditemukan sebuah alat pembuka tutup botol dalam rahim seorang remaja putri kelas 2 SMA. Alat pembuka tutup botol tersebut digunakan oleh remaja putri itu ketika melakukan masturbasi. Paparnya, peristiwa tersebut terjadi karena kurangnya pengetahuan terkait seksualitas di kalangan remaja.

Sarwono (2006) menyebutkan bahwa perilaku masturbasi yang telah menjadi kebiasaan dapat berdampak buruk pada psikologis seseorang. Sebab perilaku tersebut akan mengakibatkan ketidakstabilan emosi yang bisa menghambat pada penyesuaian diri. Kemudian, dilansir alodokter.com, masturbasi memiliki efek samping seperti dapat menimbulkan iritasi pada alat kelamin, mengganggu kegiatan sehari-hari, dan memunculkan perasaan bersalah dari segi norma maupun agama.

Dalam Islam sendiri, hukum masturbasi (istimna’) adalah diperbolehkan dan diharamkan tergantung pada konteksnya. Istimna’ boleh dilakukan jika bersama dengan pasangan yang sah selama tidak ada perkara yang mencegah dari suami atau istri (seperti halnya haid atau ibadah haji). Namun, jika dilakukan sendiri, maka istimna’ dilarang sebagaimana pendapat ulama Maliki dan Syafi’i. Sebab, Islam telah mengatur umatnya agar dapat mengontrol hawa nafsu.

Menaruh atensi terhadap keterbukaan pendidikan seksual dalam keluarga memang perlu, termasuk tentang mengedukasi perilaku masturbasi yang wajar dialami orang. Jangan sampai, seseorang baru menyadari bahwa apa yang selama ini ia lakukan termasuk masturbasi, jangan sampai seseorang melakukan masturbasi tanpa tahu bagaimana cara mengendalikan ataupun mengatasinya.

Pada akhirnya, hasrat seksual memang normal dirasakan oleh setiap manusia sebagai makhluk biologis. Namun, perilaku masturbasi di luar hubungan pernikahan bisa seseorang hindari dengan meminimalisir mengonsumsi konten yang berkaitan dengan seksual dan mengisi kegiatan dengan hal-hal yang positif. Jika kita menyibukkan diri dengan kebaikan, maka kita akan dapat meninggalkan keburukan dan meninggalkan hal-hal yang mendatangkan kemudharatan.Teringat salah satu kutipan yang menyebutkan, “Ketika kita membiasakan diri dengan yang haram, hidup dengan yang haram, maka jangan heran, jika yang halal lagi thoyyib, terasa hambar untuk kita.” -FMM Studios.

Baca Juga: [OPINI] Masturbasi: Topik yang Perlu Diketahui, Bukan Dihindari

Riani Shr Photo Verified Writer Riani Shr

Menulis adalah salah satu upaya menyembuhkan yang ampuh.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Novaya

Berita Terkini Lainnya