[OPINI] Lingkungan Menjadi Toxic, Perlunya Menghargai dan Memahami

Berhentilah menjadi toxic untuk orang lain tanpa kita sadari

Ada kala lingkungan sosial menjadi toxic yang besar untuk seseorang, terlebih mereka yang tengah mengalami problematika dalam hidupnya. Sayangnya, sikap menghargai dan berkarakter dalam berucap masih menjadi persoalan bagi kita. Karena faktanya, kita hanya berucap sesuai dengan apa yang kita lihat tanpa mau memahami sepenuhnya apa yang sebenarnya terjadi.

“Bagaimana aku bisa terlihat tetap tegar?” seseorang bertanya kepada saya dengan hati muram kala itu.

Memiliki masalah tentu manusiawi, tetapi sebagai manusia juga, kita harus mampu terlihat baik-baik saja di depan banyak orang dengan menyembunyikan masalah atau hanya menampakkannya kepada orang-orang tertentu. Meski rasanya itu sangat sulit, dan kenyataannya orang-orang justru semakin memperumit perasaan kita.

Hidup tak pernah luput dari komentar dan penghakiman orang-orang, atau bahkan penghakiman diri sendiri. Kehidupan selalu berputar dan akan selalu mendapatkan gilirannya untuk sedih atau bahagia. Maka dari itu, ada masa ketika saya pernah merasa menjadi seseorang yang tak berharga, sangat payah, dan lebih buruk dari manusia paling buruk sekali pun.

Pribadi saya yang introvert seakan menjadi tekanan ketika saya harus menghadapi lingkungan sosial, tak lain semua itu karena stigma umum masyarakat yang masih keliru tentang kepribadian introvert.  Mereka seakan menegaskan bahwa introvert tak lebih hanya sekadar orang-orang statis yang menyedihkan. Hal itulah yang membuat saya sering kali merasa berada di titik paling rendah.

Saya pernah merasa bahwa semua hal yang buruk ada dalam diri saya, sering kali saya juga diharuskan untuk melakukan hal yang tak mampu saya lakukan, lantas keadaan menghakimi saya dengan kata-kata dan tatapan yang membuat saya justru kehilangan semangat untuk tetap hidup.

Sepintas, saya membenci dunia ini. Belum lagi perkembangan zaman yang seolah menuntut saya melakukan sesuatu hal yang lebih dan lebih, membuat saya muak dan semakin tak berharga, hal ini biasanya terjadi ketika lingkungan sosial membandingkan pencapaian saya dengan pencapaian orang lain di luar sana yang telah sukses dan berhasil menurut konvensi mereka.

Ah, bukankah rasanya lebih baik saya tak dilahirkan saja? Pernah saya berbisik seperti itu.

Kemudian, saya juga pernah mengalami hal lain yang membuat saya tertekan. Ketika saya tengah mengalami masalah dalam hidup, dan permasalahan tersebut telah saya alami enam bulan lamanya, tetapi orang-orang justru memandang saya dengan kacamata yang menurut mereka benar, lantas kata-kata itu keluar begitu saja seolah tak peduli dengan apa yang saya alami saat ini. Padahal, bukankah dalam berkata-kata, kita juga memiliki etikanya?

Kita tak mungkin berbicara mengenai “ijazah kuliah” kepada orang yang tak bisa kuliah, kita tak mungkin berbicara mengenai “betapa bahagianya kita diterima di universitas atau instansi terbaik” kepada orang yang telah berjuang mati-matian untuk lolos tetapi gagal, kita tak mungkin berbicara mengenai “betapa harmonisnya keluarga kita” kepada orang yang merupakan korban dari broken home, atau kita juga tak mungkin berbicara mengenai “merek sepatu yang bagus dan fashionable untuk dipakai” kepada orang yang tak punya kaki. Seharusnya itu tak mungkin, tetapi lingkungan sosial justru masih memberikan toxic dengan melakukan hal tersebut. Dan saya termasuk salah satu korban darinya.

Ketahuilah bahwa “saya” dalam cerita di atas bukan saya yang berarti bermakna denotasi, tetapi “saya” dalam cerita di atas adalah kita atau mereka yang pernah merasakannya, kita atau mereka yang berada dalam kondisi yang sama tetapi memilih untuk tetap diam dan pura-pura tak peduli. Padahal, saya merasakan betapa sulitnya kita atau mereka untuk menyembunyikan lukanya pada dunia, terlebih jika tidak ada satu orang pun yang mengerti atau mau mengerti.

Melalui tulisan ini, saya hanya berpesan untuk lebih menghargai orang lain. Kita harus mampu belajar dan memahami perasaan manusia, terlebih orang-orang terdekat kita, dengan tidak menyudutkan mereka, beretika ketika berucap, dan mau belajar memahami apa yang mereka rasakan, serta tidak meremehkan kondisi mental atau pun problematika yang sedang mereka hadapi.

Berhentilah menjadi toxic untuk orang lain tanpa kita sadari, karena hal tersebut mungkin saja mampu membunuh jiwa dan semangat mereka. Sebab, setiap manusia pastilah memiliki kekurangan dan kelebihannya masing-masing yang tak pantas untuk kita hakimi.

Baca Juga: [OPINI] Krisis Eksistensial: Kita ‘Hidup’ Atau Sekadar ‘Ada’?

Riani Shr Photo Verified Writer Riani Shr

Menulis adalah salah satu upaya menyembuhkan yang ampuh.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Merry Wulan

Berita Terkini Lainnya