[OPINI] Hierarki Perempuan dalam Prostitusi: Kentalnya Patriarki

Kenapa hanya perempuan yang terlibat dalam definisi PSK?

Di zaman modernisasi seperti sekarang ini, khususnya di abad ke-21, masih banyak terjadi praktik prostitusi di beberapa daerah di Indonesia. Hal tersebut bahkan bukan hanya terjadi pada kalangan masyarakat biasa, tetapi juga bisa terjadi pada kalangan masyarakat atas sekali pun orang-orang yang banyak dikenal publik.

Pada umumnya, prostitusi bisa terjadi oleh siapa saja baik laki-laki maupun perempuan. Namun, yang menjadi permasalahan dan sorotan dalam masyarakat adalah prostitusi yang terjadi pada kaum perempuan. Hal itu lantas membuat kita berpikir bahwa prostitusi yang terjadi di kalangan perempuan mendominasi dunia ini jika dibanding laki-laki. Hal itu juga kemudian membuat kita menyimpulkan bahwa seorang laki-laki bisa dengan mudahnya “menikmati” perempuan atas dasar kekuasaan dan harta. Jika melihat dari sudut pandang perempuan, maka kita bisa katakan bahwa perempuan cenderung mengalah, tertindas, ataupun menuruti keinginan laki-laki untuk memenuhi hawa nafsunya.

Penjabaran di atas tidak jauh karena budaya patriarki yang mengutamakan kedudukan laki-laki di atas perempuan. Stigma yang berkembang dalam masyarakat juga memperkuat anggapan bahwa prostitusi yang terjadi di kalangan perempuan lebih banyak daripada yang terjadi di kalangan laki-laki. Sehingga, prostitusi yang terjadi di kalangan perempuanlah yang menjadi sorotan serta perdebatan selama ini. Kaum perempuan seakan tak luput menjadi objek dan tudingan sumber permasalahan dalam upaya mengurangi praktik prostitusi di Indonesia. Hal itu pada akhirnya membuat masyarakat berpendapat bahwa perempuanlah yang menjadi objek seks menurut definisi sosial mereka.

Prostitusi sebenarnya telah terjadi sejak dulu, hal ini terbukti dengan melihat pada analisis yang dilakukan oleh Mohammad Farid (seorang aktivis hak anak) pada tahun 1998 lalu. Tahun 1998 diperkirakan terdapat 40.000-70.000 orang yang dilacurkan, atau 30 persen dari jumlah PSK yang berada di Indonesia, dan semua itu adalah perempuan. Mayoritas dari mereka terpaksa melakukan hal tersebut karena tuntunan kebutuhan ekonomi keluarga yang sedang berkurang sementara biaya hidup semakin mahal. Maka, mereka pun memilih jalan pintas untuk “menukar” tubuhnya dengan rupiah.

Di Indonesia sendiri, pelacur yang bekerja dalam prostitusi disebut sebagai Pekerja Seks Komersial (PSK), dan mendapat pandangan buruk dari masyarakat. PSK identik dengan perempuan, sehingga masyarakat menilai bahwa PSK merupakan perempuan yang tidak bermoral karena melakukan pekerjaan yang bertolak belakang dengan nilai-nilai kesusilaan yang berlaku dan berkembang dalam masyarakat. Karena pandangan inilah para pelacur atau pekerja seks mendapat stigma sebagai ‘perempuan’ yang buruk dan tidak bermartabat. Lantas, kenapa definisi tersebut hanya terjadi pada perempuan saja?

Kenyataannya, meskipun zaman terus berkembang dan modern seperti sekarang, dan meskipun pergerakan feminisme telah terjadi sejak dulu, begitu pula dengan gerakan dalam menghilangkan diskriminasi gender, tetap saja perempuan masih menjadi objek sasaran kaum laki-laki serta tudingan sumber permasalahan dalam upaya mengurangi praktik prostitusi, karena masih kentalnya budaya patriarki. Hal itu kemudian menjadikan perempuan pekerja seks mendapatkan stigma yang buruk di kalangan masyarakat, tak peduli mau semulia apa pun alasannya. 

Penjabaran tersebut membuat kita sadar bahwa perkembangan zaman tak selalu mengubah definisi sosial yang terjadi di dalam masyarakat untuk kedudukan perempuan di dunia ini. Fenomena seperti ini membuat kita juga mengetahui bahwa kasus perempuan masih menjadi problematika khusus di negara Indonesia, bahkan ketika dunia telah memasuki abad ke-21. Mulai dari kekerasan yang dialami oleh perempuan dalam kehidupan berumah tangga, sampai perdagangan perempuan atau eksploitasi seksual.

Pada akhirnya, perempuan membutuhkan kehadiran pemerintah, di samping perempuan juga harus menyadari atas haknya untuk mendapatkan kesetaraan, keadilan, rasa aman, rasa dilindungi, dan kesejahteraan sosial. Hal tersebut dapat diwujudkan ketika masyarakat telah menyadari dan memahami sepenuhnya mengenai HAM, dan pemerintah telah sepenuhnya menegakkan perlindungan HAM terhadap warga negaranya.

Baca Juga: [OPINI] Salahkan Jika Saya Wanita Islam yang Tidak Mau Dipoligami?

Riani Shr Photo Verified Writer Riani Shr

Menulis adalah salah satu upaya menyembuhkan yang ampuh.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Novaya

Berita Terkini Lainnya