[OPINI] 'Toxic Positivity' Sebagai Racun Penderita Depresi 

Berhentilah memotivasi, tetapi berusahalah empati

Ada satu kasus bunuh diri setiap 40 detik”, begitulah yang dinyatakan oleh Shekhar Saxena, selaku Direktur Departemen Kesehatan Mental WHO. Bukan tanpa alasan mengapa WHO mengatakan hal demikian, terlebih afirmasi tersebut dilontarkan oleh seorang profesor sekaligus psikiater berdasarkan pengamatannya terhadap kasus bunuh diri yang memang banyak sekali terjadi setiap tahun. Hingga saat ini, kasus bunuh diri pun masih menjadi persoalan besar di berbagai negara seperti halnya Indonesia.

Berdasarkan data yang diambil dari WHO, Indonesia berada di peringkat 159 dengan angka 3,7 dalam tingkat kasus bunuh diri di dunia. Sementara negara dengan tingkat bunuh diri paling tinggi di dunia adalah Guyana dengan angka 30,2.

Disusul oleh Lesotho di peringkat kedua dengan angka 28,9. Kemudian Rusia mematik peringkat ketiga tingkat bunuh diri di dunia dengan angka 25,5. Dari hasil penelitian tersebut, didapat simpulan bahwa kasus bunuh diri memang menjadi persoalan yang kapital di negara mana pun dan kapan pun.

Menurut ilmu psikologi, salah satu pemicu kasus bunuh diri adalah depresi. Namun, seseorang tidak bisa dikatakan depresi hanya karena melihat gejalanya saja. Permasalahan ini didukung oleh afirmasi dari Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders-V (DSM-V) yang menyatakan diagnosis depresi hanya dapat diberikan melalui pemeriksaan oleh profesional, seperti halnya psikolog atau pun psikiater.

Pandangan yang seharusnya dihilangkan dalam perspektif masyarakat luas adalah anggapan bahwa commit suicide atau pilihan untuk bunuh diri terjadi karena seseorang tersebut kurang iman atau kurangnya didikan dari keluarga.

Di tengah ramainya persoalan bunuh diri dan ucapan duka, ada saja orang yang mengatakan perkara tersebut terjadi karena tingkat spiritual seseorang yang rendah.

Problematika seperti itu tentu sangat bertolak belakang dengan pernyataan Benny Prawira Siauw, selaku Pendiri dan Ketua Koordinator Komunitas Into The Light yang mengatakan “Tahap terakhir ketika orang melakukan bunuh diri adalah lunturnya segala ideologi termasuk di dalamnya pikiran rasional maupun spiritual seseorang.”

Beralaskan pernyataan Benny tersebut, maka dapat dikatakan bahwa seseorang yang memiliki intensi untuk melakukan tindakan bunuh diri tidak akan mampu berpikir dengan baik. Jadi, sesuatu yang tidak sepenuhnya dibutuhkan oleh seorang penderita depresi ketika orang terdekatnya memberikan dukungan berupa nasihat ataupun motivasi (toxic positivity) untuk mencegah terjadinya perkara tersebut. Karena dengan memberikan toxic positivity, bisa saja penderita depresi justru merasa lebih buruk.

Seseorang yang tengah mengalami krisis jiwa (depresi) memang sangat membutuhkan orang terdekatnya untuk dapat mencegahnya melakukan tindakan bunuh diri ataupun self-harm. Namun, yang perlu ditekankan dan menjadi fokus perhatian di sini adalah bukan toxic positivity yang dibutuhkan oleh penderita depresi, melainkan sikap empati.

Sikap empati merupakan sikap yang lebih efektif dilakukan sebagai upaya untuk menghibur seseorang yang tengah mengalami down atau krisis jiwa dalam hidupnya dibanding toxic positivity. Karena menurut ahli psikologi dorongan “be positive” justru dapat berdampak negatif sebab tidak semua orang membutuhkan kata-kata semangat ketika orang tersebut bercerita mengenai perasaan negatif atau pengalaman buruknya. Perkara seperti ini juga berlaku bagi penderita depresi yang tengah mengalami krisis jiwa.

Toxic positivity bisa menjadi racun bagi penderita depresi yang memiliki intensi untuk melakukan tindakan bunuh diri. Ahli psikologi mengatakan bahwa setiap emosi itu memiliki pesan, baik itu perasaan marah, sedih, bahagia, jijik, ataupun takut. Jika pesan dalam emosi tersebut dipendam atau disangkal agar terus terlihat positif atau bahagia di hadapan orang-orang, maka emosi negatiflah yang justru semakin menumpuk

Kemudian hal tersebut dapat memicu keadaan psikis yang semakin parah, menimbulkan psikosomatis misalnya. Penderita depresi yang mengalaminya, bisa jadi semakin kuat intensinya untuk melakukan tindakan bunuh diri. Maka menjadi problematika yang sangat rumit ketika niat baik seseorang tidak bisa mengantarkan kepada kebaikan, tetapi kepada hal sebaliknya yang justru tidak diharapkan.

Toxic positivity memiliki kecenderungan yang berakibat buruk kepada sebagian orang karena bersifat meracuni diri sendiri. Meski kata-kata yang terlontarkan mengandung unsur positif dan bersifat menyemangati, tetapi penderita depresi justru merasa tertekan dan menyalahkan dirinya sendiri karena tidak sesuai dengan ekspektasi yang bersumber dari masyarakat.

Pada akhirnya, yang diperlukan penderita depresi adalah sikap empati dari seseorang untuk menjadikan perasaannya lebih baik atau sebagai upaya pencegahan tindakan bunuh diri. Kalimat “Aku pikir kamu pasti merasa berat saat ini, ya. Tapi kita pernah melewatinya, dan kita akan melewatinya lagi” tentu lebih baik daripada kalimat “Alah, kamu baru gitu aja. Aku bahkan udah pernah ngalamin hal yang lebih buruk”.

Melihat hal demikian, masyarakat harus lebih sensitif merespons emosi dan sikap penderita depresi. Oleh karena itu, orang-orang terdekat penderita depresi memiliki peran yang penting untuk mengubah intensi penderita agar tidak melakukan tindakan bunuh diri, sehingga bangsa Indonesia dapat meminimalkan maraknya kasus bunuh diri setiap tahun, terlebih yang terjadi pada remaja.

"Sebab generasi muda adalah generasi yang paling progresif, di samping memiliki resistensi untuk mengubah kehidupan bangsa dan negaranya, bukan malah mengakhiri hidup".

Baca Juga: 5 Kalimat tentang Toxic Positivity yang Harus Dihindari

Riani Shr Photo Verified Writer Riani Shr

Menulis adalah salah satu upaya menyembuhkan yang ampuh.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya