Gara-gara Corona, Alami Gangguan Kecemasan

#SatuTahunPandemik adalah refleksi dari personel IDN Times s

Bali, IDN Times – Menjadi editor di  hyperlocal IDN Times di Bali jadi tantangan besar
buatku. Sebab ketika kantor menanyakan, "Apakah Irma bersedia ditempatkan di Bali?", aku langsung menjawab "Hmmm, ya boleh sih." Saat itu. Posisiku community editor, komunitas penulis IDN Times. Sebelumnya aku diajak ngobrol soal apa konten yang relevan untuk khalayak di Bali. Tanggal 1 Oktober 2018, aku resmi pindah tugas menjadi editor di Bali. Tempat yang tidak asing, karena sebelum bekerja di IDN Media aku pernah bekerja di Pulau Dewata.

Antara bahagia dan cemas pada waktu itu. Bahagianya karena aku pernah mengatakan
kepada kawan-kawan di Bali, bahwa suatu saat nanti aku akan "kemBALI" itu terwujud! Tetapi bedanya, aku jadi penanggung jawab di Bali. Itu yang bikin cemas. Belum ada bayangan sama sekali program yang akan aku kerjakan nanti.

Berbekal niat dan nekat, aku meyakini bisa membangun IDN Times di Bali. Saat awal hanya ada satu reporter. Sekitar bulan November 2018, jelang peluncuran resmi situs kami di Bali, aku merasa diremehkan dan dianggap sebagai media abal-abal (mungkin ya) yang meminta sumbangan uang dari Pemerintah Provinsi Bali.

Aku menganggap bagian hubungan masyarakat (humas) Pemprov menilai kami seperti itu
ketika mengirimkan undangan soft launching IDN Times Bali. Dia tiba-tiba menceritakan
bagaimana media datang ke kantornya dan ujug-ujug meminta ADV (Advetorial). "Saya
tidak tanya Pak," demikian aku membatin saat itu. Kepala Humas tidak beranjak sama sekali dari kursinya ketika aku meminta foto penyerahan surat undangan. Aku berdiri, sedangkan Kepala Humas duduk. Dalam hati aku berkata, "Hei, kami tidak mengemis!" Aku agak sakit hati. Dari situ aku merasa terpacu, "Oke! Lihat saja apa yang akan aku lakukan di Bali!"

Satu keberuntungan menurutku, adalah kantor kami berada di coworking Colony Creative
Hub (KemBali) Kota Denpasar, yang aktif mengadakan kegiatan. Sehingga untuk pertama
kalinya aku langsung mengadakan workshop bersama mereka. Aku dikontak banyak orang setelah itu untuk mengadakan workshop offline, jadi pembicara, dan banyak kerja sama. Bisa dibilang, hampir setiap bulan ada kegiatan. Sendirian! Benar-benar sendiri! Tuhan YME memberikan kesempatan untuk berbagi ilmu.

Hingga memasuki Februari 2020, akhirnya Bali dapat tambahan editor, Ni Ketut Sudiani.
Aku dan Sudiani sempat berkantor di Plaza Renon hanya dua bulan (Februari-Maret 2020). Menyusun strategi dan program baru. Eh, gak tahunya ada COVID-19! Kami panik berjamaah. Gara-gara pasien COVID-19 ke-25 meninggalnya di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah Denpasar. Belum lagi satu WNA pria yang meninggal di atas sepeda motor (positif COVID-19), dan reporter Ayu Afria berjarak satu meter dari jenazahnya. Ayu sempat ada gejala. Kami takut dan cemas. Kami juga tidak lagi berkantor di Plaza Renon sejak Maret 2020 karena ada kebijakan bekerja dari rumah (work from home).

Aku yang terbiasa kerja secara offline, mendadak online. Aku tidak terbiasa. Sukanya
bertemu orang secara langsung. Dalam waktu bersamaan, yaitu Maret 2020, pemilik kos
meminta seluruh penghuninya supaya pindah karena mau dijual. Itu dua minggu sebelum
Nyepi. Bayangkan: Ada COVID-19 dan mau Nyepi, aku harus mencari kosan baru. Akhirnya
ketemu kosan yang baru. Mahal per bulannya! Rp1,35 juta per bulan! Untungnya aku bisa
sekamar berdua bersama kawan. Kosan baru memiliki lima kamar yang berisi keluarga dan pasangan. Awalnya nyaman dan tenang.

Tim Bali koordinasi via online dan sesekali bertemu secara tatap muka di kafe yang sepi. Ayu lantas terkena musibah. Handphone pribadi dan fasilitas kantor dicuri orang. Aku juga terganggu oleh tetangga di tempat kos yang baru. Banyak pertengkaran dan KDRT. Aku yang punya naluri keprofesian jurnalistik tidak bisa tinggal diam. Pikirku, kalau diam saja ketika ada KDRT di dekatku, aku bisa dipenjara! Aku bantu istri korban KDRT tersebut karena memiliki dua anak yang masih kecil. Maunya bantu dia untuk berkonsultasi dengan Lembaga Bantuan Hukum (LBH), namun urung setelah ibunya tidak bersedia. Ya sudahlah. Ditambah, aku tidak bisa pulang kampung pada Hari Raya Idul Fitri. Aku hanya bisa video call bersama keluarga di rumah. Sedih.

Aku cari kesibukan untuk mengalihkan itu. Lalu pinjam gitar milik Ayu, berharap dapat menyalurkan hobi. Nyatanya tidak berhasil. Aku kemudian beralih belajar Adobe Premiere secara otodidak untuk bikin kanal YouTube (Hap Nyam Nyam) resep makanan dan
minuman ala kos-kosan serta khas Bali. Wah, berhasil nih. Aku menyukai hal baru ini. Aku
yang ambil video dan editing, sedangkan kawan yang memasak. Views-nya lumayan
di YouTube.

Bulan demi bulan berganti, tetangga kosan baru semakin tidak kenal waktu. Sedikit-sedikit
bertengkar dini hari-siang-malam, sedikit-sedikit tertawa, sampai pasang musik kencang pada pukul 03.00 Wita. Waduh, aku tidak bisa begini. Tidur jadi tidak teratur. Aku memutuskan pindah kos lagi untuk terakhir kalinya (berharap demikian).

Dari situ aku merasa sedang tidak "baik-baik saja." Aku mulai curiga tim Bali pun tidak sedang "baik-baik saja" meskipun mereka bilang "Aman", "Tidak apa-apa", "Sehat", dan lainnya. Di satu sisi, aku pernah satu kali jalan-jalan untuk melihat kondisi Pantai Kuta yang super duper sepi. Mati. Kebijakan pemerintah yang trial and error terus membuat kami pusing. Tidak ada perubahan. Kebijakan satu pintu sejak awal pandemik, masih diberlakukan sampai sekarang. Kami menghubungi pakarnya. Komunikasi, sosial, epidemiologi. Banyak. Pemikirannya sama: kebijakan satu pintu tidak efektif!

Kebijakan yang diterapkan pemerintah tidak membawa dampak apa-apa apabila jika tidak
segera 3T (testing, tracing, treatment)! Semakin hari, masyarakat selalu salah. Pakar ekonomi dari Universitas Udayana (Unud) dan Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia
(PHRI) Badung membuat pernyataan yang hampir serupa: Kondisi Bali yang bergantung
besar kepada pendapatan pariwisata, sekarang lebih terpuruk daripada tragedi Bom Bali dan bencana Gunung Agung. Sebab saat itu perekonomian masih berjalan dan orang orang tetap bisa keluar rumah!

Ada satu hal yang menurut penilaianku, pemerintah lupa, bahwa "Pemerintah kehilangan kepercayaan dari masyarakatnya." Masyarakat sudah lelah dan semakin kelaparan. Manusia yang kelaparan tidak akan bisa berpikir  meskipun dicekokin oleh masukan-masukan, apalagi dikasih banyak kebijakan. Itu fakta-fakta itu aku temukan di medsos Facebook lokal Bali. Banyak yang mengeluh, curhat, dan berusaha memotivasi dirinya sendiri.

Uang pemerintah terlanjur dihambur-hamburkan untuk program yang tidak adakejelasan
juntrungannya. "We Love Bali", misalnya. Ribuan masyarakat, influencer, dan tokoh-tokoh
publik mendapat fasilitas gratis ke Bali untuk mempromosikan Cleanliness (Kebersihan), Health (Kesehatan), Safety (Keamanan), dan Environment Sustainability (Kelestarian Lingkungan) alias CHSE. Tetapi apa hasilnya? Penerbangan dibatasi lagi karena ada peningkatan kasus COVID-19!

Aku jadi terlalu jauh memikirkan pemerintah yang tidak dapat melindungi masyarakatnya
sendiri, semenjak anggota keluargaku ada yang kena COVID-19. Pokoknya aku terlalu
banyak mikir yang macam-macam. Sekali lagi, aku cari hobi baru dan berhasil menemukannya. Yaitu lempar pisau (Lempis). Aku sampai ikut mendirikan komunitas lempis pertama di Bali bersama kawan-kawan baru. Wow! Aku main senjata tajam dan melempar- lemparkannya ke target sasaran. Lumayan menguras energi dan pikiran bisa tidur nyenyak. Fisik sehat, tetapi emosionalnya tidak.

Sulit buatku untuk mengontrol emosi, sampai mengalami gangguan kecemasan yang
berlebihan. Informasi ini aku dapatkan setelah konsultasi ke psikiater di Kota Denpasar.
Aku dibantu oleh Sudiani untuk bertemu psikiater tersebut. Dokternya sering menangani
masyarakat, seniman, budayawan, hingga jurnalis. Cocok sudah! Akhirnya, aku mengonsumsi obat-obatan dari dokter psikiater. Katanya untuk menstabilkan serotonin. Obat itu katanya bikin tidur nyenyak. Memang sih. Aku tidur lelap tanpa mimpi. Tiba-tiba sudah bangun pagi.

Aku berusaha tidak menyalahkan siapa-siapa atas kondisi yang aku alami, termasuk diri
sendiri (dan jangan mengira aku tidak pernah bersyukur). Psikis mulai agak stabil. Aku
sudah bisa ikhlas dan mencoba menerimanya. Sekarang aku berusaha meyakinkan diri, "Jika jiwa atau batinmu tenang, maka kamu baru bisa mendukung tim lainnya. Kamu harus sehat secara fisik dan psikis."

Aku sempat merasa bersalah kepada tim Bali dan perusahaan tentunya. Karena aku terlalu egois berkutat dengan diri sendiri...

Itulah yang membuat aku terpacu untuk terus melakukan perbaikan diri, dan mengeyahkan pikiran-pikiran yang tidak perlu. Mencoba untuk menyederhanakan mindset dan strategi, sampai sekarang. Aku beruntung memiliki tim Bali: satu reporter tetap, satu editor, tiga kontributor. Kami saling mendukung. Aku bangga sama mereka dan tidak akan
mengecewakan mereka lagi.

#SatuTahunPandemik adalah refleksi dari personel IDN Times soal satu tahun virus corona menghantam kehidupan di Indonesia. Baca semua opini mereka di sini.

Baca Juga: Meliput Corona Sejak Hari Pertama... Akhirnya Positif Juga

Topik:

  • Ernia Karina

Berita Terkini Lainnya