15 Tahun Tsunami Aceh dan Memori di Piala Tiger 2004

Bagi saya pribadi, 2004 adalah tahun yang sedih sekali

2004 adalah tahun yang benar-benar menyedihkan bagi saya dan ketika dewasa saya tahu kemudian, itu juga tahun yang rumit dan pelik sekali bagi bangsa ini.

Gempa dengan skala 9,3 Richter menggoyang dan meluluhlantakkan Aceh, sementara setengah jam kemudian, gelombang tsunami yang diklaim setinggi 30 meter menyapu Meulaboh, Banda Aceh, dan seluruh wilayah di pesisir barat Serambi Mekkah.

Hanya dalam sehari, 26 Desember 2004, Aceh berduka, Indonesia membisu dalam haru.

Saya masih berusia 12 tahun kala itu. Dua hari sebelum bencana mengerikan itu, "bencana" yang lain saya alami di depan televisi. Indonesia bertemu Malaysia di semifinal leg pertama Piala Tiger 2004, tepat tanggal 24 Desember 2004.

Bermain di Gelora Bung Karno, Jakarta, gol tunggal Kurniawan Dwi Yulianto dibalas dua gol beruntun dari Liew Kit Kong. Pedih sekali kekalahan itu. Tidak hanya kalah di fase yang krusial, tapi kita kalah di kandang sendiri di hadapan rival bebuyutan kita sendiri. Itu salah satu sebab kenapa setiap Indonesia bertanding melawan Malaysia di cabor apa pun, itu selalu personal bagi saya.

Lalu dua hari pasca-kekalahan pelik itu, tsunami dan gempa menyapa saudara-saudara kita di Aceh. Nusantara tenggelam dalam nestapa. Tak ada lagi antusiasme akan Piala Tiger. Saya ingat hampir seluruh koran yang saya baca di pengujung Desember hingga berminggu-minggu setelahnya, menampilkan potret-potret dan kisah-kisah pilu di Aceh.

Saya belum mampu mengakomodir rasa sedih itu sebagai seorang siswa sekolah menengah pertama. Bagi saya, itu hanya duka yang lewat dalam sekilas saja. Namun saya ingat jelas, kami tak lagi antusias menyaksikan Piala Tiger.

Ipan, teman kecil saya di Madiun, yang kebetulan mempunyai hobi bermain sepak bola sama seperti saya, bahkan tak berminat lagi menyaksikan semifinal leg kedua yang dihelat di Malaysia.

Ajaib, memang, karena kala itu kita secara luar biasa mampu menang 1-4 di Bukit Jalil, Kuala Lumpur. Empat gol Merah-Putih diborong Kurniawan, Charis Yulianto, Ilham Jayakesuma, dan si anak ajaib, Boaz Solossa. Dan nama terakhir itulah yang mengembalikan senyum saya.

Saya tahu Boaz pemain istimewa, salah satu yang menginspirasi saya melatih kekuatan kaki kiri saya saat bermain bola dan tak pernah berhasil hingga detik ini. Di Piala Tiger 2004, ia mentas dari tim PON Papua, sebagai bocah berusia 18 tahun, dan ia menghentak Asia Tenggara.

Saya ingat kakek selalu menyebut Boaz akan lebih hebat dari almarhum Ribut Waidi atau bahkan Widodo Cahyono Putro. Dan ia memang istimewa. Piala Tiger adalah panggung megah pertama Boaz dan ia tak mengecewakan. Sayang, euforia di kandang Malaysia dan pesona Boaz tak pernah berujung pada gelar juara.

Di Januari 2005, usai dua kali bertanding di laga final melawan Singapura dan pasukan naturalisasi-nya di bawah asuhan Radojcko "Raddy" Avramovic, Boaz dan kolega harus kalah dengan agregat 5-2.

Pengujung 2004 tak pernah benar-benar manis, tapi saya mengingat setiap detailnya lekat-lekat. Salah satu titik awal kala itu bahwa suatu saat nanti saya ingin menjadi wartawan sepak bola dan menyaksikan Timnas Indonesia jadi juara dengan mata kepala saya sendiri.

Sampai detik ini, Indonesia belum lagi juara dan saya kembali harus menyaksikan beberapa tsunami datang menghantam Indonesia, termasuk Tsunami Banten, di mana untuk kali pertama di hidup, saya turun langsung ke lapangan untuk meliputnya.

Baca Juga: 10 Potret Terkini Kota Banda Aceh, Pernah Luluh Lantak Disapu Tsunami

Topik:

  • Isidorus Rio Turangga Budi Satria

Berita Terkini Lainnya