Hariono adalah Aing!

Akhir musim Liga 1 2019, Hariono dipaksa meninggalkan Persib

Untuk setiap tekel dan daya jelajahnya yang luar biasa, Hariono adalah representasi dari apa yang ingin saya lihat dari seorang gelandang bertahan. Untuk Hariono, saya menepikan semua sisi idealis saya tentang sepak bola indah. Bagi saya, keindahan itu cukup Hariono.

Di buku "Ngadu Bako Transfer Pemain 2008-2017" yang ditulis rekan-rekan dari akun @stdsiliwangi, kamu akan menemukan omongan asyik dari seorang Hariono.

Hariono lahir dan besar di Sidoarjo, wajar jika kemudian Deltras menjadi klub tujuannya ketika meniti karier. Namun, semua tak semulus yang dibayangkan semua orang. Bagi Mas Har, sapaan akrabnya, awal kariernya begitu rumit dan terjal.

"Dulu saya dicap Pak Jaya (Hartono) sebagai pemain kampung, kasar dan tidak punya bakat. Waktu itu saya ditolak di Sidoarjo (Deltras) tapi akhirnya seiring waktu saya diterima di Deltras sebagai gelandang," ujar Hariono.

Hariono memang dikenal sebagai gelandang bertahan yang tanpa kompromi. Tekelnya keras, daya jelajahnya tinggi, dan ia sigap mengejar lawan ke sana kemari di setiap jengkal lapangan tengah. Ketika pada 2008 ia datang ke Bandung bersama dengan Jaya Hartono dan gerbong pemain Deltras lainnya, cerita romantis itu dimulai.

"Ini pemain yang mau saya kenalkan. Walau pemalu, tapi ia mainnya keras. Saya butuh Hariono untuk mengubah gaya main Persib yang terkenal stylish," ujar Jaya Hartono kala itu.

Di Pangeran Biru, Hariono pelan tapi pasti bertransformasi. Ia tetap Hariono dari Dusun Wilayut, yang bermain seperti anak kampung: keras dan kasar, tanpa kompromi, karena seperti itulah hidup orang kecil di desa.

Namun di Kota Kembang, bocah Wilayut itu menjelma jadi komandan lini tengah Pangeran Biru. Lini tengah Persib tak kehilangan kegarangannya kendati ditinggal oleh Suwita Pata. Ada Hariono di sana, si gondrong yang ditakuti lawan dan disegani kawan.

Dari gelandang bertahan tangguh yang tanpa kompromi, pelan-pelan, Hariono jadi gelandang elegan yang mampu nyaman memainkan bola di kakinya. Transformasi inilah yang jadi tulang punggung Persib meraih gelar juara Liga Indonesia pada 2014 lalu. Bukan satu-satunya faktor utama, tapi salah satu faktor penting bagaimana Persib begitu digdaya kala itu.

Lini tengah yang digawangi Hariono, Konate Makan, dan Firman Utina adalah komposisi terbaik di pusat permainan Maung Bandung. Firman jadi otak permainan di tengah, Konate memberikan agresivitas dan ketajaman menopang lini depan, sementara Hariono menyeimbangkan semuanya.

Ia masih ganas, tekelnya masih keras, tapi umpannya halus sekali. Ia tak lagi malu-malu berlama-lama dengan bola di kakinya. Hariono, 6 tahun setelah merapat di Kota Kembang, menjadi Hariono versi modern: lugas, tapi cerdas. Tenang dan tetap menakutkan bagi lawan.

Sayang, kebersamaan itu selesai sudah, pada Minggu, 22 Desember 2019. Robert Rene Alberts tampaknya tak menginginkan Mas Har ada di skuatnya musim depan. Saya tak tahu banyak apa yang terjadi, tapi saya meratapi ini. Sebuah kehilangan besar bagi Persib, karena mereka tak hanya kehilangan satu pemain, tapi juga kehilangan sang legenda. Kehilangan orang yang benar-benar dihormati di Bandung.

Ia orang asli Jawa Timur, yang melegenda di Jawa Barat. Ia menembus batas-batas etnografis dengan menjadi salah satu pemain kesayangan Bobotoh di tanah Sunda. Ingat baik-baik nama itu: Hariono. Karena suatu saat, ia akan kembali memakai nomor punggung 24, nomor yang disimpan Persib khusus untuk si gondrong jika ia nanti kembali untuk gantung sepatu bersama Maung Bandung.

Hatur nuhun, Mas Har. Jagoan aing!

Baca Juga: Jalani Laga Terakhir, Hariono Bantu Persib Hajar PSM dengan Telak!

Topik:

  • Isidorus Rio Turangga Budi Satria

Berita Terkini Lainnya