2020 dan Roller Coaster yang Tak Berujung

Memang tahun yang kejam, tapi kita tumbuh di dalamnya

"The blue question mark that still exists, would it be anxiety or depression, I still don't know. Hoping that I don't get eaten away, I will find the exit," - Blue and Grey, BTS.

Entah karena iseng atau terlalu melankolis, di awal tahun, pikiranku selalu flash back dan scanning semua yang terjadi di tahun sebelumnya. Dari 1 Januari sampai malam di mana orang-orang menyalakan kembang api. Otak seorang Izza Namira refleks ingin kasih judul ke setiap tahun yang berhasil dilaluinya.

Kalau boleh sharing, tahun 2019 aku kasih judul "Congrats on Your So Many Firsts" karena aku berhasil lulus kuliah untuk pertama kalinya, landed my first job, dikirim ke luar kota buat keperluan kantor, dan berbagai "first time" lainnya. Tapi jangan kira mulus-mulus aja, sebelum itu kehidupan Izza Namira di tahun 2018 berjudul "Full of Rough Paths, but You Made It Anyway". Ini di saat aku harus menghadapi susahnya kehidupan kuliah.

Terus, 2020 ini judulnya apa?

Saat aku mikirin ini di awal 2021 lalu, aku diam dan bingung karena 2020 bagiku merupakan tahun yang kejam. Ibaratnya kalau 2020 itu roller coaster, isinya cuma tikungan tajam, turunan curam, dan loop yang gak ada hentinya. Kedengaran sangat ekstrem, ya? Tapi memang itulah kenyataannya.

Roller Coaster tercuram dan diri yang gamang

Di awal pandemik, sebagai penulis kanal Health, aku pastinya harus update informasi. Aku menyaksikan sendiri perkembangan penyakit yang gak usah disebutin namanya ini. Dari awal dia disebut gak berbahaya di China, sampai tiba-tiba mereka lockdown besar-besaran. Indonesia saat itu masih tenang-tenang aja, aku juga, karena gak ada yang menyangka akan sebesar sekarang.

Sampai akhirnya, kantor mengumumkan untuk work from home (WFH). Jujur sebelum pandemik, bisa dibilang aku adalah orang yang sering request WFH di tim (he he he). Karena menurutku lebih nyaman, apalagi gak usah keluar duit buat abang ojol. Jadi, si homebody ini pede banget buat menghadapi WFH.

Dua minggu pertama, okelah. Masuk sekitar minggu keempat, bosan mulai muncul. Batas antara kehidupan pribadi dan pekerjaan juga sudah pudar. Aku bisa menghadap laptop dari pukul 6.00 dan baru menyelesaikan kerjaan pukul 20.00. Entah karena aku yang malas-malasan di siangnya, kebanyakan bengong, atau memang kerjaan yang makin numpuk.

"Aku pengin pulang, tapi aku udah di rumah" adalah mood sehari-hariku. Apalagi to-do-list isinya semua yang berhubungan dengan si biang kerok pandemik. Kalau boleh jujur, nulis tentang "dia" gak pernah mudah buat aku. Apalagi di awal, saat aku harus menyaksikan tingginya angka penularan, angka kematian, berbagai prediksi, orang-orang bandel yang bikin geregetan, dan kisah-kisah depressing lainnya. Angka itu bukan sekadar angka, tapi nyawa manusia yang harus jadi korban.

Berusaha meluruskan niat, tapi pastinya gak semudah itu. Ditambah lagi, seorang Izza yang introvert ini mulai kesepian dan butuh interaksi sosial yang nyata. Gak heran, sih, karena setiap hari ruteku cuma ke kamar, meja kerja, dapur, dan kamar mandi. Kadang ke balkon buat stretching dan siram tanaman.

Seakan pandemik gak cukup kejam, tiba-tiba datanglah masalah personal yang bertubi-tubi. Aku juga harus kehilangan satu sosok paling penting di hidupku. Semua kombinasi di atas, ditambah pressure dari lingkungan dan media sosial yang mencitrakan bahwa kita harus selalu produktif terlepas apa pun kondisinya, berimbas cukup besar buat aku.

Mulai kehilangan arah, kehilangan motivasi, bingung, sedih, dan marah. Semua bercampur jadi satu. Rasanya ingin banget menyalahkan keadaan, tapi ujung-ujungnya tetap aja diri sendiri yang jadi kambing hitam. Memang benar, ya, you are your own worst critic.

Setelah aku mulai gak tahan dengan kondisi diri yang kacau dan berpikiran "Wah, gak sehat nih kalau diterusin", aku pun coba untuk mengurai semua hal negatif yang ada di kepala. Capek juga lama-lama merasa gamang di atas roller coaster yang gak ada ujungnya.

Toxic positivity dan konfrontasi diri

Selama pandemik ini, tentu kita gak asing lagi dengan kata-kata, "Disyukuri aja, masih mending kondisimu lebih baik, punya kerjaan, bla bla bla." Toxic positivity. Alih-alih berpikiran kayak gitu, aku coba untuk bikin daftar yang isinya apa aja yang membuat aku gak puas dengan situasi sekarang.

Memang gak semua bisa dicari solusinya secara instan, tapi sebisa mungkin aku cari apa yang bisa aku lakukan untuk bikin diri ini lebih nyaman. Pertama, tentang produktivitas. Aku sampai pada kesimpulan bahwa ini adalah pertama kalinya generasi kita dihadapkan dengan situasi pandemik. Jadi, sangat normal kalau aku terseok-seok dan merangkak sedemikian rupa untuk membiasakan diri dengannya.

Selama proses itu berlangsung, produktivitas pasti terkena imbasnya. Aku berusaha buat terus ingat bahwa itu adalah hal yang wajar. You can't be productive all the time. Ada waktu untuk kerja, ada waktu untuk belajar, dan ada waktu untuk menarik napas, mengistirahatkan diri dari semuanya.

Kalau gak ingin ikut kelas online, bikin kue, bikin bisnis, dan kiat-kiat produktif lainnya, aku meyakinkan diri bahwa itu gak apa-apa. Toh, aku bisa belajar dari cara lain. Aktivitas kecil seperti nonton drama Korea, dengerin lagu Bangtan, atau nonton video kucing di YouTube punya manfaat tersendiri yang mungkin gak aku sadari sebelumnya.

Contohnya dari sosok idolaku, BTS, aku belajar banyak hal tentang self-love. Aku terpapar ilmu seputar toxic masculinity, mental health, rasisme, dan semua kritik sosial yang disampaikan di lagunya. Berkat aktivitasku di ranah ini, aku juga mendapat banyak sahabat dari berbagai negara. Walaupun remeh, gak ada yang sia-sia, kan?

Beralih ke cabang masalah berikutnya, yaitu pekerjaanku sebagai penulis kanal Health. Terpapar berita pandemik terus menerus ternyata gak bagus untuk well-being kita. Aku gak bisa menghindari topik tersebut karena ini menyangkut profesionalitas. Namun di sisi lain, rasa penat itu bikin kualitas artikel juga menurun.

Setelah mikir lama, akhirnya aku merasa bahwa di sinilah aku harus menekan ego. Walaupun gak sedikit komentar negatif yang masuk ke artikel-artikel pandemik yang aku buat, aku percaya bahwa informasi itu tetap berguna untuk publik. Mungkin gak untuk semua orang, tapi aku tetap lega kalau artikel itu bisa membantu segelintir orang yang membutuhkannya.

Setelah mengubah mindset seperti itu, beban ketika menghadapi to-do-list artikel pandemik jauh lebih berkurang. Karena aku percaya bahwa apa yang aku sampaikan lagi-lagi gak akan sia-sia.

Mencari jalan keluar di tengah pandemik yang kejam

Gak melulu negatif kok, di sisi lain aku juga menemukan banyak hal yang bisa jadi penyemangat ketika pandemik. Aku belajar bahwa sebelum ini semua berlangsung, banyak kesenangan dan momen yang kurang aku apresiasi.

Contohnya dari hal-hal kecil seperti serunya obrolan kantor waktu makan siang, catch up dengan sahabat sambil jajan boba, jalan-jalan random di mal, kerja di cafe, sampai enaknya mi ayam kalau dimakan di tempat abang-abangnya. Walaupun terdengar sepele, hal-hal remeh itu yang sering bikin kangen selama pandemik ini.

Tapi ternyata kehidupan itu cukup adil kok. Hilangnya sumber kebahagiaan kecil itu tergantikan dengan hal lain yang dulu jarang atau bahkan gak bisa aku rasain. Contohnya, di masa WFH ini aku punya "teman" baru di balkon rumah. Mereka adalah lovebird dan tanaman-tanaman peliharaan mama.

Sebenarnya masih banyak kebahagiaan kecil lain yang aku temukan saat pandemik. Mulai dari wangi kue dari dapur waktu mama baking, main game online bareng teman di sela-sela kerja, little catch up sama sahabat walaupun cuma lewat aplikasi chatting, dan gak perlu riweuh setrika kerudung di pagi hari.

Kembali ke pertanyaan awal, jadi judul apa yang pantas diberikan pada 2020?

Setelah mengupas dan mengenang semua momen satu per satu, buatku 2020 bisa dilabeli sebagai “Not My Favorite but I’m Growing Within”. 2020 bukanlah favoritku tapi gak bisa dimungkiri, banyak banget pelajaran yang bisa didapatkan darinya.

2020 jadi momen yang tepat buatku untuk kembali menaruh diri sendiri di prioritas teratas di hidupku. Di saat itu, aku berusaha untuk kembali merangkul, mencoba memahami, dan menyayangi diriku dan semua hal negatif tentangnya. Terlepas dari semua ups and downs yang terjadi, kembali lagi, siapa yang mau menerima diriku ini kalau bukan aku sendiri?

2020 memang kejam, memang jadi salah satu roller coaster tercuram buat banyak orang, tak terkecuali aku. Dengan catatan ini, aku ingin berbagi dan membuat bukti fisik dari apa yang aku lalui selama ini, bukan untuk menggurui.

Ada beberapa hal yang harus selalu aku (dan kamu) ingat. Tidak semua yang terjadi adalah salah kita. Pandemik ini bukan salah siapa-siapa. It’s just meant to happen. So, it's okay to struggle, take your time as much as you need. Kita cuma manusia yang bisa berusaha, berharap, dan berdoa, dunia gak akan ke mana-mana kok.

Pandemik ini memang banyak ngajarin kita untuk bersabar. Baik dalam menghadapi perubahan, dengan waktu yang seperti berlari kencang, dan termasuk sabar dengan diri sendiri dan semua hal negatif yang menyelimutinya. Aku tahu semua orang berkorban dan berjuang dalam bentuk dan skalanya masing-masing. Tapi terlepas dari itu, semoga aku dan kamu gak terlalu keras dengan diri sendiri, ya.

"Dear myself in the darkness, I want to look for you and tell you. Today I want to get to know you better again," - Abyss, Jin BTS.

#SatuTahunPandemik adalah refleksi dari personel IDN Times soal satu tahun virus corona menghantam kehidupan di Indonesia. Baca semua opini mereka di sini.

Topik:

  • Umi Kalsum

Berita Terkini Lainnya