[Opini] Belajar dan Mengajar, Sebenarnya Siapa yang Lebih Butuh?

Siswa atau guru?

Pada saat mengikuti KKN, saat itu adalah pertama kalinya saya mengajar lebih dari dua puluh siswa SMP di dalam sebuah kelas. Saya menemui krisis. Hanya beberapa siswi yang berada di deretan kelas yang memberi perhatiannya pada materi. Selebihnya, terkesan mengolok, bermain, beberapa di antara mereka hanya memandang di depan kelas, tanpa ada partisipasi. Saya pikir mungkin karena saya bukan guru mereka maka tidak ada alasan agar mereka mengerti. Atau parahnya saya memang tidak punya kemampuan dalam mengajar. Setelahnya saya lebih senang memperhatikan teman-teman seangkatan bergerak di depan kelas.

Salah satu teman saya, nampak lebih berpengalaman, menghadapi anak-anak kelas sembilan di hadapannya. Mungkin karena, para siswa setahun lebih tua dibanding siswa yang saya ajar, mereka nampak lebih tenang, tanpa banyak bicara. Yang seketika menarik perhatian saya adalah tawa yang hadir di kelas jelas berbeda dari tawa mengganggu yang saya dapati. Teman saya nampak sesekali menyelingi pelajaran dengan canda khas dirinya, bercerita tentang kehidupan kuliah, dan mendapat tatapan penuh kekaguman dari mereka. Saya merasa, mereka berfikir menjadi seorang seperti yang mereka lihat.

Berbeda dengan seorang teman yang konsisten menerangkan dari awal sampai akhir. Dia mengajar kelas tujuh, sekitar setengah tahun yang lalu, mereka masih siswa kelas enam sekolah dasar. Tapi perhatian mereka nyatanya lebih baik dari para senior atau kakak kelas. Teman saya tanpa hambatan bisa berlama-lama di kelas, menyalurkan pengetahuan yang dia miliki. Bahkan tanpa mencoba berbagai cara untuk menarik perhatian mereka.

Teman saya yang lain, sangat suka bercerita. Dia mahasiswa jurusan seni. Hampir setengah jam pelajaran digunakannya untuk berbincang dengan para siswa. Dari lelucon umum sampai kisah pribadinya menjadi topik. Suasana formal hanya muncul untuk beberapa saat. Dan hanya butuh satu kali pertemuan untuk mereka menjadi akrab. Tidak ada usaha keras baginya untuk menarik perhatian siswa dan saya bertanya apakah metode berbicara dari hati ke hati bisa diterapkan dalam pelajaran yang dianggap sulit seperti matematika atau kimia.

Sementara yang saya lakukan adalah mengajar dan hanya berusaha agar mereka mendapat sesuatu dari apa yang saya jelaskan di depan kelas. Saya benar-benar menginginkan mereka tahu, apa yang saya tahu. Dan bahkan menggunakan berbagai metode, saya menyukai teori otak kanan dan kiri, seperti menggunakan spidol dengan tinta yang berbeda untuk menarik perhatian mereka, atau membagi papan tulis dengan cara yang menyenangkan. Tapi segera saya simpulkan bahwa mereka tidak membutuhkan  pelajaran saya.

Awalnya saya pikir, hal ini adalah urusan mereka. Entah mereka memperhatikan atau tidak, saya hanya perlu mengajar atau dengan kata lain mengisi waktu sebagai kewajiban. Setelahnya bahkan saat mereka tidak mengerti apa yang saya katakan, mari biarkan saja. Hanya saja, kenyataannya adalah, ada penyesalan saat orang-orang di hadapan kita tidak memberi perhatian pada sesuatu yang saya anggap sebagai kebaikan.

Jika orang-orang berselisih paham tentang apakah sekolah adalah tempat orang-orang pintar atau untuk mencerdaskan anak bangsa, saya penasaran dan ingin mengetahui apa yang siswa harapkan dari sekolah. Karena seberapa besar pun guru mencoba untuk menyalurkan pengetahuan pada siswa atau menggunakan berbagai metode untuk menunjukkan sebuah keterampilan yang bisa digunakan, jika siswa menolak tidak ada pemberian dan penerimaan yang  bisa terjadi.

Saat ini, berbagai lembaga bimbingan semakin berkembang dan selalu menjadi incaran dari para siswa atau orangtua. Hal yang sangat terlihat pengaruhnya adalah nampak jelas kebutuhan pada tempat kursus atau bimbingan belajar, dibanding sekolah. Karena alasan pertama yang digunakan siswa, “saya butuh memperbaiki bahasa inggris saya. Maka saya harus ikut kursus bahasa.” Berbeda saat seorang siswa ke sekolah dengan alasan hanya untuk memenuhi jumlah kehadiran.

Lalu berbagai komentar lain beterbangan, “guru pun hanya ke sekolah karena pekerjaaan mereka.” Tentu saja yang salah adalah jika guru tidak ke sekolah.  Tapi beberapa kalimat terkadang mencoba menyalahkan salah satu pihak. Mari melihat dengan cara berbeda, sebenarnya beberapa siswa tidak suka dengan kehadiran seorang guru, mungkin saja karena metode yang membosankan, tidak ada timbal balik yang terjadi di kelas, terlalu banyak pertanyaan, atau pembicaraan yang sudah keluar dari topik pelajaran.

Padahal guru tidak selemah yang siswa pikirkan. Guru yang berdiri di depan kelas, tahu jelas bagaimana siswa menanggapi pembelajaran. Saya ingat sekali saat seorang guru IPS tersenyum lebar ketika teman sekelas saya mampu menjawab setiap pertanyaan yang beliau beri. Meski berbeda dari saya yang tiap kali merasa gugup saat bertatap mata. Atau ketika seorang guru keterampilan menjahit mengerutkan kening, “meski kamu bersemangat di berbagai mata pelajaran lain, tidak harusnya kamu menganggap remeh mata pelajaran saya,” kata beliau saat saya tidak bisa membuka mulut meski sudah jelas terhidang pada buku di atas meja.

Jika melihat kembali pada saat itu, ada beberapa hal yang ingin saya sampaikan pada guru saya. Pertama, saya memang tidak menghapal jawaban dari pertanyaannya. Kedua, ini pelajaran praktek, untuk apa saya harus hapal kata-kata di luar kepala. Juga, tidak perlu membandingkan saya di mata pelajaran, yang bahkan dia tidak hadiri.

Tapi saat mencoba menjadi pengajar, ada hal yang baru yang saya dapat. Pertama, betapa kesalnya saat siswa di dalam kelas tidak memperhatikan apa yang saya ajarkan dan akhirnya terkesan merendahkan. Kedua, saya berharap siswa yang tidak ingin belajar, harusnya berada di luar saja. Dan tentunya, saya kesal pada diri sendiri yang tidak bisa berbuat apa-apa, selain mengikuti waktu, masuk ke kelas, berbicara tanpa diartikan, lalu keluar setelah jam berganti.

Persamaan yang saya hadapi adalah tentang kebutuhan dari saya dan orang-orang yang saya ajar sebagai siswa. Jika salah satu mencoba memenuhi, tanpa ada yang ingin menerima, maka hal yang harusnya punya arti malah akan terbuang percuma. Sama halnya, saat ada siswa yang membutuhkan pelajaran lebih, tapi seorang guru tidak mampu menyediakan apa yang dia cari, maka kurangnya rasa hormat yang terkesan merendahkan.

Dalam kegiatan belajar-mengajar tentunya dibutuhkan sikap saling mengerti antar siswa dan guru. Dan bagi siswa bukan tentang bodoh atau pintarnya yang menentukan harus sekolah atau tidak, tapi tentang butuh atau tidaknya siswa pada apa yang tersedia dari sekolah.

Baca Juga: [OPINI] Kontemplasi Hardiknas 2020: Ironi Kebijakan Belajar dari COVID

Jelsyah D. Photo Verified Writer Jelsyah D.

👉 @jelsyahd

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Novaya

Berita Terkini Lainnya