[OPINI] Mengajarkan Kesederhanaan pada Anak Melalui Televisi

Dunia TV Indonesia harus berubah

“Pokoknya aku mau dibelikan mainan seperti punya Sinta.” Gadis berusia sepuluh tahun itu menggebrak meja makan di depan ibunya. Dia juga mengancam tak akan makan kalau permintaannya tak dipenuhi. Sang ibu dengan wajah melas berusaha memberi pengertian pada putrinya untuk menunggu sampai punya uang. Gadis itu menggebrak meja lagi dengan wajah bersungut-sungut.

Adegan tersebut pernah saya lihat saat menemani anak menonton film televisi. Jujur saya merasa geram. Dan lebih dari itu, saya juga merasa sangat kecewa dengan ide-ide cerita pada film yang ada di televisi kita, khususnya film atau sinetron yang ditujukan kepada anak-anak.

Kekecewaan saya ini tentu bukan tanpa alasan. Bayangkan saja, film anak di televisi seringkali jauh dari ajaran kesederhanaan. Kehidupan sederhana (baca;kurang mampu secara ekonomi) yang diceritakan dalam film Indonesia masih sering dihiasi dengan begitu banyak problem hidup, kepedihan, dan pembullyan.

Kalau kita melihat yang terjadi di kehidupan nyata, sebenarnya banyak orang dari keluarga sederhana yang tetap bahagia dan menjalani hidup dengan penuh optimis. Hal ini membuktikan bahwa ketidakmampuan secara ekonomi tidak selalu menimbulkan problem. Namun entah mengapa tayangan di televisi kita tidak banyak yang mengangkat tema bahagia dalam kesederhanaan.

Jika film anak dan sinetron remaja Indonesia masih saja menampilkan kepedihan-kepedihan dan pembullyan terhadap orang kurang mampu, efeknya anak-anak kita menjadi enggan untuk tampil sederhana atau apa adanya karena khawatir dibully oleh teman-temannya. Makanya jangan heran jika sekarang kita sering melihat anak-anak memaksa orang tua untuk membelikan ini dan itu, hanya agar bisa bergaya seperti teman mereka yang berduit.

Sebuah berita pernah datang dari Ponorogo, remaja berusia 16 tahun nekat membakar rumah orang tuanya sendiri karena tak kunjung dibelikan ponsel. Diketahui bahwa bapak dari anak tersebut adalah seorang petani desa. Sang bapak sebenarnya sudah berjanji akan membelikan ponsel setelah lebaran. Namun, sang anak tetap tak sabar menunggu hingga lebaran tiba.

Cerita lain datang dari Pemalang, Jawa Tengah. Seorang anak nekat memanjat sutet dan mengancam akan bunuh diri jika tak dibelikan sepeda motor. Tidak dibelikannya sepeda motor oleh orang tua si anak sebenarnya bukan tanpa alasan. Orang tuanya mengaku memang tidak memiliki cukup uang untuk membelikan barang seharga belasan juta rupiah tersebut.

Kualitas cerita sinetron Indonesia yang dianggap kurang baik ini sebenarnya sudah mendapatkan sorotan beberapa pihak. Menteri Pendidikan, Nadiem Makarim, mengatakan bahwa sinetron Indonesia saat ini tidak mementingkan isi cerita tetapi hanya mengandalkan rating.

Tidak hanya Menteri Pendidikan yang menyinggung tentang kualitas sinetron Indonesia, Artis ibukota seperti Nafa Urbach dan Indra L. Brugman juga merasa jenuh dan miris melihat sinetron-sinetron Indonesia. “Kualitasnya jauh lebih jelek daripada yang dulu,” kata Nafa.

Di sisi lain, anak-anak kita saat ini juga banyak disuguhi tontonan dengan pemeran utama seseorang yang lahir dari keluarga kaya raya, mengendarai mobil mewah, hidup dengan segala kemudahan dan bisa mendapatkan apa pun yang diinginkan. Konflik yang ditampilkan dalam sinetron  remaja sebagian besarnya hanyalah masalah cinta-cintaan. Sedangkan di film anak kita justru sering menjumpai olok-olokan dan pembullyan.

Kurangnya tontonan yang mengajarkan kesederhanaan dan melimpahnya tontonan tentang hidup bermegah-megahan juga bisa mengakibatkan anak-anak kita berpikir bahwa yang sederhana itu memang tidak membahagiakan dan tidak mampu secara ekonomi adalah penderitaan. Bukankah mengerikan jika sampai tertanam dalam benak anak-anak bahwa  bahagia itu hanya ketika kita mampu membeli apa pun yang kita inginkan?

Keberadaan film anak dan sinetron remaja yang mengisahkan kehidupan orang kaya dengan segala konfliknya itu sebenarnya bukanlah sesuatu yang buruk. Bagaimanapun, film-film semacam itu juga memberikan pengajaran kepada anak-anak bahwa setiap orang, baik yang kaya maupun tidak, memiliki konflik hidup masing-masing. Namun karena pesan moral yang disampaikan film terkadang masih kurang kuat, yang ditangkap anak-anak kita hanyalah apa yang mudah mereka lihat, yaitu gaya hidup tokoh-tokohnya yang hedonis.

Bibir-bibir yang terpoles lipstik, softlens dan maskara yang menghiasi mata anak-anak SMP dan SMA saat ini, bahkan tidak menutup kemungkinan anak SD juga melakukannya, sesungguhnya tak lepas dari pengaruh film dan sinetron yang mereka tonton. Kita bisa melihat sendiri betapa banyaknya anak-anak di sekitar kita yang berusaha meniru gaya artis yang mereka gandrungi.

Sebenarnya kalau kita bicara tentang gaya hidup, hal tersebut memanglah pilihan setiap orang. Namun, agaknya anak-anak kita masih sulit menerapkan gaya hidup sesuai dengan kemampuan. Kalau film atau sinetron anak terus mempertontonkan tentang gaya hidup mewah, penderitaan orang kurang mampu, dan pembullyan,  keluarga kelas menengah ke bawah bisa menghadapi masalah. Oleh sebab itu, menampilkan film anak yang mengajarkan bahagia dalam kesederhanaan menjadi sangat perlu.

Saya selalu berandai-andai, televisi kita berisi tontonan tentang anak-anak yang bisa bermain dan berteman dengan siapa saja. Tidak pernah ada perbedaan antara yang kaya dan tidak kaya, apalagi sampai terjadi gesekan hanya karena harta. Ya, bahagia dalam kesederhanaan, itulah yang seharusnya  diajarkan kepada anak-anak di tengah maraknya gaya hidup hedonis saat ini.

Bukankah kita belum banyak melihat film anak seperti yang saya sebutkan itu di televisi?

Sudah saatnya layar kaca kita diisi lebih banyak lagi tontonan yang mengajarkan kesederhanaan agar anak-anak kita nantinya bisa tetap bahagia apa pun latar belakang ekonominya. Bukankah menyedihkan jika kejadian yang terjadi di Ponorogo dan Pemalang itu bertambah banyak di negeri kita?

Baca Juga: [OPINI] Penyalahgunaan Kalimat 'Menjadi Diri Sendiri'

Johara Masruroh Photo Writer Johara Masruroh

Member IDN Times Community ini masih malu-malu menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Novaya

Berita Terkini Lainnya