Napak Tilas Ekonomi Indonesia di 2021

Ekonomi Indonesia masih dibayangi pandemik COVID-19

Di awal tahun 2021, mayoritas negara di dunia, termasuk Indonesia, melangsungkan program vaksinasi COVID-19 secara serentak, sebagai upaya untuk menggerakkan roda perekonomian kembali pada level pra-pandemi. Amerika Serikat, sebagai salah satu negara yang melakukan vaksinasi secara cepat dan merata, menandai pemulihan ekonominya dengan kenaikan laju inflasi yang sangat tinggi.

Tingkat inflasi naik dari 1,4 persen di awal tahun 2021, menjadi 5,4 persen di pertengahan tahun. Saat awal kenaikan inflasi, bank sentral Amerika Serikat, Fed, menilai hal ini lebih bersifat sementara atau transitory, sehingga kebijakan stimulus dapat tetap berlangsung. Namun, saat inflasi tidak terlihat melambat, maka Fed mulai mengubah nada kebijakan. Tapering yang sudah menjadi pembicaraan para pelaku pasar sejak awal tahun, akhirnya diputuskan dimulai di bulan November 2021, dengan mengurangi laju pembelian aset sebesar US$15 miliar dari semula di US$120 miliar.

Dengan demikian, tapering diperkirakan akan tuntas di bulan Juni 2022. Di bulan November, inflasi AS masih terus menanjak ke 6,8 persen, level tertinggi historis sejak 1982 di AS. Dengan laju inflasi yang cukup tinggi ini, maka diperkirakan para pembuat kebijakan perlu lebih agresif dalam mengetatkan kebijakan untuk mencegah terjadinya hiperinflasi, termasuk kemungkinan menaikkan suku bunga lebih cepat di 2022.

Kenaikan laju inflasi yang memang efek samping dari kenaikan permintaan serta pertumbuhan ekonomi, secara historis memiliki dampak positif pada kinerja pasar saham. Indeks saham Dow Jones, S&P 500, serta Nasdaq mencetak rekor tertinggi sepanjang masa pada tahun ini. Naiknya minat risiko atau risk appetite investor ini juga mendorong kenaikan permintaan pada aset berisiko di negara berkembang. Indeks Harga Saham Gabungan atau IHSG menyentuh level all time high di 6,723.

Sentimen positif pada pasar saham Indonesia didorong beberapa faktor seperti, laju vaksinasi yang tinggi, pertumbuhan kasus harian yang terus turun, sehingga mendorong pemulihan dan pembukaan aktivitas ekonomi kembali. Mobilitas masyarakat pada sejumlah aktivitas ekonomi mulai meningkat mendekati level pra-pandemi, bahkan aktivitas pada belanja kebutuhan sehari-hari, rekreasi, serta aktivitas tempat kerja sudah diatas level pra-pandemi (Sumber: Google COVID-19 Community Mobility Report, 11 Desember 2021).

Pemerintah pun tetap mendukung kelanjutan pembukaan aktivitas ekonomi dengan membatalkan pengetatan PPKM level 3 selama liburan akhir tahun, memulai vaksinasi pada kelompok usia 6-11 tahun di bulan Desember, hingga rencana untuk memulai program booster vaksin di awal tahun 2022. Hal ini juga dilakukan oleh pemerintah, sebagai upaya untuk membatasi penyebaran varian baru COVID-19, Omicron.

Varian COVID-19 terbaru, Omicron, yang ditemukan di Afrika Selatan, ditetapkan sebagai variant of concern oleh Badan Kesehatan Internasional atau WHO di bulan November 2021. Adanya perbedaan pandangan para ahli mengakibatkan kekhawatiran sejumlah negara, mulai dari keraguan efikasi vaksin saat ini untuk melawan Omicron, tingkat keparahan penyakit yang diderita, hingga berita mengenai korban meninggal dunia pertama akibat Omicron. Walaupun diduga bahwa Omicron tidak memiliki tingkat keparahan setinggi varian Delta, namun pemerintah Indonesia tetap waspada, dengan meningkatkan durasi karantina wajib bagi kedatangan internasional serta larangan masuk bagi sejumlah negara dari Afrika.

Sejumlah kebijakan ini dilakukan untuk mencegah potensi timbulnya gelombang ketiga, terutama setelah berhasil mengatasi gelombang kedua di periode Juni hingga Juli 2021, di mana laju pertumbuhan kasus positif harian akibat varian Delta hampir menembus angka 50 ribu kasus per harinya di puncak gelombang. Melalui pembatasan ketat dan peningkatan laju vaksinasi, pemerintah berhasil menekan pertumbuhan kasus ini hingga kisaran 200-an di bulan Desember.

Keberhasilan menekan penyebaran virus COVID-19 ini mendukung pemulihan ekonomi Indonesia. Konsumsi masyarakat yang tertekan selama pembatasan aktivitas sosial dan ekonomi selama pandemi, diharapkan akan terus meningkat. Pertumbuhan ekonomi domestik di kuartal IV – 2021 pun diperkirakan akan mendekati level kuartal II – 2021 yang mencatatkan kinerja di atas 7 persen.

Selain ekspektasi kenaikan konsumsi masyarakat, ekspor diperkirakan meningkat seiring dengan kenaikan permintaan komoditas global. Sejumlah negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris berikut sejumlah negara di Eropa, hingga negara di Asia seperti India dan China sempat mengalami krisis energi di bulan Oktober. Aktivitas ekonomi China yang belum pulih akibat goncangan sektor properti, terus mengalami tekanan akibat kelangkaan sumber bahan bakar energi, yang kemudian menekan aktivitas manufaktur, dan meningkatkan biaya produksi. Sehingga, sempat dikhawatirkan akan memicu terjadinya stagflasi global yang ditandai dengan inflasi tinggi, pertumbuhan ekonomi yang turun, serta tingkat pengangguran yang tinggi.

Namun kekhawatiran ini mulai mereda saat memasuki bulan Desember, di mana musim dingin di negara-negara ini tidak terlampau dingin, sehingga mengurangi permintaan akan bahan bakar energi. Kelangkaan persediaan komoditas energi di tengah kenaikan permintaan global akibat pemulihan ekonomi, mendorong kenaikan harga batu bara, minyak bumi serta kelapa sawit yang merupakan komoditas ekspor utama Indonesia. Neraca perdagangan diperkirakan akan tetap mengalami surplus, sehingga akan berkontribusi pada PDB Indonesia.

PDB Indonesia diperkirakan akan melanjutkan kenaikan di 2022. Dalam catatan APBN 2022, PDB Indonesia diperkirakan akan bertumbuh di kisaran 5 hingga 5,5 persen. Sementara itu, Dana Moneter Internasional atau IMF memperkirakan perekonomian Indonesia akan bertumbuh 5,9 persen di 2022 dan 6,4 persen di 2023. Estimasi ini diatas tingkat pertumbuhan negara berkembang dunia yang diproyeksikan berada di 5,1 persen di 2022 dan 4,6 persen di 2023.

Kenaikan laju pertumbuhan ekonomi ini akan diimbangi dengan kenaikan laju inflasi di semester II – 2022, sehingga meningkatkan ekspektasi kenaikan suku bunga acuan pada tahun depan. Oleh karena itu, seiring dengan tema pemulihan ekonomi Indonesia ini, maka kelas aset seperti saham diperkirakan akan memiliki kinerja yang lebih baik dibandingkan obligasi.

Ekspektasi kinerja saham ini mulai diantisipasi di penghujung tahun 2021 dengan adanya kenaikan harga saham pada periode window dressing dan potensi kelanjutan pada January Effect di awal tahun 2022 nanti. Laba korporasi pada 2022 diperkirakan akan tumbuh double digit. IHSG sendiri dapat menguji level 7,400 hingga 7,600 di 2022.

Tentunya para pelaku pasar juga perlu mempertimbangkan faktor risiko pasar modal seperti kenaikan suku bunga Fed yang lebih cepat, risiko perlambatan ekonomi China, hingga laju penyebaran COVID-19 dan variannya. Strategi investasi yang dapat diterapkan untuk memitigasi risiko-risiko ini adalah dengan melakukan diversifikasi dan dollar cost averaging, dengan memanfaatkan koreksi teknis yang terjadi di pasar, untuk mengakumulasi aset di harga yang lebih rendah. Sehingga, investor yang memiliki tujuan investasi jangka panjang serta profil risiko agresif dapat mempertimbangkan diversifikasi ke kelas aset yang berisiko seperti reksa dana saham untuk meningkatkan kinerja portfolio investasi.

Untuk para calon investor yang ingin memulai berinvestasi, memulai investasi di OCBC NISP pun bisa dilakukan sambil rebahan dengan adanya pembelian investasi secara online. Tentunya, investor juga perlu memilih bank dengan reputasi dan kredibilitas yang baik, yang juga diatur dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Pertimbangkan untuk berinvestasi melalui bank yang dapat menyediakan layanan investasi terintegrasi dengan transaksi keuangan harian untuk memudahkan transaksi pembelian investasi yang dipilih.

Penulis adalah Wealth Management Head Bank OCBC NISP

Topik:

  • Umi Kalsum

Berita Terkini Lainnya