[OPINI] Indonesia dan Tiga Faktor Utama Kegagalan di Piala Sudirman

Melihat kualitas yang ada, apakah kita menuntut mereka meraih juara?

Pencapaian Tim Bulu tangkis Indonesia di Ajang Perebutan Piala Sudirman 2017 memang jauh dari harapan. Digadang–gadang dapat mengembalikan Piala Sudirman ke Indonesia, Tim Indonesia bahkan gagal melangkah dari babak penyisihan grup, kalah bersaing dari India dan Denmark.

Banyak tanggapan dan analisa mengenai kegagalan ini, bahkan katanya sampai Kemenpora akan memanggil pengurus PBSI untuk menjelaskan kegagalan ini.

Yang menjadi pertanyaaan apakah memang sedemikian parah penampilan tim Indonesia di ajang Piala Sudirman tahun ini? Atau kegagalan ini bisa dianggap seperti kegagalan yang lain? Untuk menanalisa kegagalan tersebut penulis setidaknya ingin melihatnya melihat dari beberapa faktor agar mendapatkan pemahaman yang seobjektif mungkin (tentunya dari kacamata penulis).

Ada tiga hal yang akan disorot disini yakni, kualitas pemain, strategi pelatih dan tentunya nasib baik  keberuntungan.

Kualitas Pemain.

Indonesia datang ke perhelatan Piala Sudirman sebagai unggulan ke-6. Sekali lagi ke-6, bukan dalam 3 besar. Indonesia berada jauh di bawah Tiongkok, Denmark, Korea Selatan, Jepang, bahkan Malaysia. Pemain Indonesia yang berada di peringkat 3 besar dunia adalah hanya pada ganda putra melalui Kevin/Marcus, yang paling mendekati adalah ganda campuran melalui Tantowi/Liliyana Natsir.

Tetapi menjelang keberangkatan, Liliyana tidak bisa ikut karena faktor cidera. Praktis, di sektor ini Indonesia berharap pada Praveen/Debby yang sejauh ini belum mampu mengembalikan pencapaian terbaik mereka saat menjuarai All England tahun lalu.

Untuk 3 nomor lainnya boleh dibilang Indonesia hanya bermodalkan semangat kala menghadapi lawan–lawannya. Tunggal Putra dan Putri diatas rangking 20 dunia. Di ganda putri sejak Greysia/Nitta belum kembali maka Indonesia belum bisa berbicara banyak.

Melihat kualitas yang ada, apakah kita masih menuntut banyak mereka meraih juara? Kepengurusan periode lalu pun harusnya ada andil. Karena perhitungan peringkat tim didasarkan akumulasi peringkat seluruh pemain, yang notabene adalah buah karya pengurus lama juga.

Kalau Indonesia hanya mengandalkan satu nomor yang menonjol dan itupun hanya satu pasang yakni di ganda putra, dan nomor lain masih dalam taraf “regenerasi”, terus dituntut harus juara dengan materi seperti itu? 10 orang manajer sekaligus mendampingi mereka pun akan susah meraih hasil terebut.

Strategi.

Strategi permainan adalah mutlak ditangan para manager dan pelatih serta jajarannya. Dalam menentukan siapa yang akan turun tentunya melihat kesiapan dan lawan yang akan dihadapi. Banyak yang bilang Indonesia salah strategi saat menghadapi India. Mengapa tidak menurunkan pemain seperti saat mengalahkan Denmark?

Mari kita telaah hal ini. Pertandingan melawan India adalah pertandingan pertama bagi Indonesia. Tetapi pertandingan kedua bagi India yang sebelumnya kalah 4-1 dari Denmark. Secara psikologis yang paling ingin menang dan memiliki motivasi tinggi adalah India.

Boleh saja Indonesia ada di peringkat unggulan ke-6, dan India di peringkat ke-9. Tetapi secara materi kalau mau dilihat India lebih unggul. Sektor Tunggal jelas India lebih unggul baik Putra dan Putri. Indonesia hanya punya kesempatan di Sektor Ganda.

Strategi pelatih saat itu menurut penulis sudah mempertimbangkan banyak hal. Termasuk mengantisipasi didera dan kelelahan saat harus menghdapi Denmark sehari setelahnya. Pelatih pasti menginginkan Indonesia menang 3-2. Dengan meraih 3 partai ganda. Karena memang begitulah hitungan di atas kertas.

Ganda campuran di adalah partai paling krusial sebenenarnya. Pelatih berharap kepada kesenioran seorang Tantowi dalam mengendalikan permainan. Tantowi dan partnernya sudah berjuang sedemikian rupa walau akhirnya kalah 3 set. Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa bukan Praveen/Debby?

Di sini penulis berpikir secara matematis Tantowi dan rekannya bisa meraih poin. Mereka menyimpan Praveen/Debby karena berharap menyimpan tenaga untuk pertandingan besok, saat menghadapi Denmark. Manajer dan pelatih ingin mencuri poin dari Denmark dengan harapan bisa menjadi juara Grup.

Tunggal kedua mengapa bukan Anthony Ginting malah Jonathan? Harus diketahui bahwa selain peringkat, Jonathan lebih baik dari Anthony dan pada pertemuan terakhir di Singapore Open Anthony kalah dari pemain India ini.

Masuk akal bahwa siapapun yang diturunkan peluang Indonesia sebenarnya sangat tipis. Di ganda putra sesuai prediksi Indonesia bisa mengambil poin melalui Marcus/Kevin. Tunggal putri, kembali kalah ketika Fitriani harus berhadapan dengan pemain yang kelasnya mungkin 2 tingkat di atasnya, walau dia sudah memberikan yang terbaik di lapangan.

Ganda putri sebenarnya tidak ada hal mutlak yang bisa jadi acuan Indonesia pasti merebut poin. Prestasi ganda kita di kejuaraan tahun ini masih berkutat pada babak 16 besar paling baik 8 besar.

Jadi secara keseluruhan kekalahan Indonesia dari India sekali lagi bukan akibat strategi yang salah. Tetapi memang begitulah. Di atas lapangan tidak bisa seperti di atas kertas. Tidak juga bisa lantas diambil kesimpulan mengapa tidak tim yang diturunkan saat melawan Denmark yang dipasang melawan India? Apakah ada yang bisa menggaransi mereka bakal menang? Bisa jadi justru sudah kalah melawan India, besoknya dibantai habis saat melawan Denmark karena sudah kelelahan.

Faktor Nasib Baik.

Boleh percaya atau tidak, faktor ini bisa menentukan hasil akhir suatu pertandingan. Beberapa partai Indonesia bahkan kalah dengan selisih poin yang sangat tipis. Ganda campuran saat menghdapi India, Juga ganda Putra saat kalah dengan Denmark. Penilaian terhadap kesalahan service, bola keluar atau bola masuk sangat berpengaruh.

Terutama pada saat poin–poin kritis. Bukan mencari pembenaran tetapi beberapa keputusan wasit selama pertandingan masih bisa diperdebatkan. Sebab satu kesalahan berarti satu poin. Dan akan sangat berpengaruh terutama pada poin–poin kritis.

Bukan saja keuntungan buat lawan, tetapi secara psikologis mempengaruhi sang pemain tersebut. Kalau pemain sudah bertanding selama 3 set. Saat set terakhir kedudukan sudah 22-22. Maka pada saat itu bukan faktor teknik yang berbicara. Tetapi mental dan mengharap keberuntungan, bisa dari kesalahan lawan bisa juga dari kekurang jelian wasit.

Perlu dicatat, Indonesia selalu bertanding di lapangan yang tidak mempunyai teknologi mata elang. Sedikit merugikan memang. Karena pemain tidak bisa memprotes lebih jauh keputusan hakim garis saat keputusan mereka dianggap tidak benar. Apakah hal ini berlebihan? Penulis anggap tidak.

Karena seharusnya setiap lapangan di turnament sekaliber Piala Sudirman, harusnya memeliki teknologi yang sama sehingga akan terasa lebih fair.

Apakah ketiga hal di atas seolah mencari pembenaran atas kegagalan meraih prestasi tinggi? Bisa iya, bisa tidak. Tergantung dari sudut mana memandang. Tetapi penulis hanya ingin menyampaikan opini sebaik mungkin. Mungkin memang benar beberapa pemain sepertinya tidak memberikan perlawanan terbaik atau belum menunjukkan kualitas permainan yang diinginkan.

Ekspresi mereka kok datar saja kayak tidak ada semangat? Lah mau gimana? Bawaan sejak orok sudah begitu? Kalah kalem, menang juga kalem. Atau ada juga pemain yang dianggap terlalu over pede, sehingga kalah pada pertandingan yang seharusnya mereka menangkan.

Sekali lagi ini adalah pertandingan beregu. Masing–masing yang bermain tentunya selain membawa misi pribadi juga membawa misi negara. Beban mereka sudah berat. Janganlah kita terus menyalahkan mereka. Penulis yakin dan percaya, mereka juga tidak mau kalah.

Mereka sudah memberikan yang terbaik yang mereka bisa. Tetapi nyatanya sudah begini yang kita terima. Kita lihat kelemahan kita. Kita juga terus pupuk keunggulan. Bibit–bibit muda mulai bermunculan, yang kurang kita pacu untuk terus berkembang, yang sudah baik kita terus support.

Berilah kesempatan pada pengurus baru ini untuk meningkatkan lagi prestasi bulu tangkis kita. Di mana peta kekuatan bulu tangkis dunia saat ini sudah semakin merata. Saat ini para pemain muda kita sedang berjuang di Thailand Master. Semoga mereka segera melupakan kegagalan di Piala Sudirman dan meraih hasil terbaik di sana.

leonardi Photo Writer leonardi

Member IDN Times Community ini masih malu-malu menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Irma Yudistirani

Berita Terkini Lainnya