[OPINI] Sesat Pikir Konsep Consent yang Dianggap Legalisasi Zina

Adanya konsep consent bertujuan untuk melindungi korban

Kekerasan seksual merupakan persoalan klasik yang selalu menjadi perdebatan di Indonesia. Masyarakat Indonesia yang masih sangat patriarkis menganggap persoalan kekerasan seksual merupakan hal tabu sehingga pembicaraan terkait isu ini di ruang publik seolah merupakan hal yang memalukan. Salah satunya ketika ada regulasi yang dibuat untuk melindungi korban kekerasan seksual.

Pada 3 September 2021, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) mengeluarkan peraturan terkait pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan kampus yang termuat dalam Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021. Ketika mencuat ke publik, peraturan ini menuai pro dan kontra dari berbagai kalangan. Dukungan muncul dari kalangan mahasiswa dan aktivis feminisme yang selalu bersinggungan dengan isu kekerasan seksual. 

Sementara itu, penolakan muncul dari beberapa kelompok agama yang menganggap peraturan ini melegalkan zina dan seks bebas. Narasi legalisasi zina ini muncul karena ada frasa dalam peraturan ini yang mereka anggap menjadi pintu terjadinya perzinahan, yaitu frasa “tanpa persetujuan korban” yang ada di dalam Pasal 5. Mereka beranggapan bahwa jika kegiatan seksual dilakukan “dengan persetujuan” maka hal tersebut bukanlah termasuk ke dalam kekerasan seksual dan hal ini sama saja melegalkan zina.

Narasi yang sama juga muncul ketika Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) mencuat ke publik. Ada sebagian kelompok yang menganggap kehadiran RUU PKS tersebut merupakan bentuk legalisasi seks bebas bahkan hingga LGBT di Indonesia. Hal ini yang membuat RUU PKS tidak kunjung disahkan oleh DPR meskipun pembahasannya sudah dilakukan sejak beberapa tahun yang lalu.

Hal ini tentunya menjadi problem bagi perlindungan korban karena tidak adanya peraturan yang dapat dijadikan landasan hukum untuk melindungi korban. Padahal jika kita melihat kenyataan di masyarakat, hampir setiap minggu kasus kekerasan seksual menjadi headline media massa. 

Apa sebenarnya makna frasa “tanpa persetujuan korban” dalam peraturan terkait kekerasan seksual? Mengapa frasa ini justru penting dan menjadi esensi dari peraturan-peraturan tersebut? 

Dalam ilmu hukum, frasa “tanpa persetujuan korban” disebut juga sebagai konsep consent. Consent dapat diartikan sebagai persetujuan yang diberikan seseorang secara sadar dan tanpa adanya paksaan untuk melakukan suatu tindakan seksual. Oleh karena itu, jika tindakan seksual dilakukan tanpa adanya persetujuan seseorang maka tindakan tersebut termasuk ke dalam kekerasan seksual. Consent menjadi esensi dari peraturan terkait kekerasan seksual karena melalui consent inilah suatu tindakan dapat dikatakan sebagai kekerasan seksual atau tidak dan dari consent inilah dapat diketahui sejauh mana seseorang berdaya dalam memberikan persetujuannya.

Menurut organisasi Planned Parenthood, ada setidaknya lima syarat agar seseorang dapat dikatakan telah memberikan persetujuan atau consent secara sah kepada orang lain. Lima syarat ini biasa disingkat sebagai FRIES.

  • Freely given: pemberian persetujuan secara sadar dan tanpa adanya paksaan.
  • Reversible: persetujuan yang telah diberikan oleh seseorang dapat ditarik kembali kapan pun.
  • Informed: persetujuan hanya dapat diberikan jika seseorang telah diberitahu apa yang akan dilakukan secara keseluruhan.
  • Enthusiastic: pemberian persetujuan dilakukan antusias tanpa adanya tekanan.
  • Specific: seseorang harus mengetahui tindakan apa yang harus dilakukan secara spesifik dan tidak merambah ke hal lainnya.

Jika kelima syarat tersebut tidak dipenuhi maka dapat dikatakan seseorang tidak memberikan consent atau persetujuan sehingga dapat dikategorikan sebagai kekerasan seksual.

Jika demikian, apakah Permendikbud 30 tersebut melegalkan zina? Tentu saja tidak. Tujuan dikeluarkannya peraturan tersebut adalah untuk melindungi perempuan dari kekerasan seksual. Frasa “tanpa persetujuan korban” tersebutlah yang menjadi ukuran apakah suatu tindakan tergolong ke dalam tindakan kekerasan seksual atau tidak. 

Selain narasi legalisasi zina, ada narasi yang cukup menggelitik yang dilontarkan oleh seorang tokoh dari suatu ormas di sosial medianya yang menyatakan bahwa keluarnya peraturan ini membuat kegiatan seksual suka sama suka menjadi legal karena termasuk ke dalam persetujuan. Bahkan, ia mengatakan bahwa kegiatan seksual tersebut menjadi legal di depan umum. Ini merupakan sesat pikir yang sangat fatal dan sangat tidak pro terhadap perlindungan korban kekerasan seksual.

Selain narasinya yang sangat keluar dari konteks pencegahan kekerasan seksual, narasi tersebut juga mengesampingkan peraturan lain yang sudah ada sebelumnya. Kegiatan seksual di muka umum jelas dilarang karena telah termuat dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Di dalam Pasal 10 telah dijelaskan secara gamblang bahwa kegiatan seksual di muka umum merupakan hal yang dilarang dan pelanggarnya dapat dijatuhi hukuman maksimal sepuluh tahun penjara dan/atau denda maksimal lima miliar rupiah.

Dalam memahami suatu konsep memang tidak dapat dilakukan secara sepotong-sepotong dan langsung menarik kesimpulannya, terutama konsep consent dalam kekerasan seksual. Konsep consent dalam peraturan terkait kekerasan seksual muncul untuk melindungi korban, bukan sebagai pintu untuk melegalkan zina atau seks bebas. Setiap orang seharusnya memiliki keberpihakan terhadap pencegahan dan perlindungan korban kekerasan seksual dengan mendukung peraturan terkait, bukan malah menuduh peraturan tersebut sebagai legalisasi zina dan seks bebas.

Baca Juga: [OPINI] Mampukah Kampus Menangkal Kekerasan Seksual?

M. Irfan Dwi Putra Photo Writer M. Irfan Dwi Putra

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Novaya

Berita Terkini Lainnya