[OPINI] Pengalamanku Tumbuh Besar di Lingkungan Pesantren

Mutiara kehidupan kudapatkan di pesantren

Tahun 2006 merupakan tahun kebahagiaan saya. Karena cita-cita saya terlaksanakan, yaitu meneruskan pendidikan di pondok pesantren. Sejak kelas tiga SD saya sudah bercita-cita untuk melanjutkan belajar di pondok pesantren. Karena menurut saya tinggal di pondok pesantren itu enak. Selain dapat kiriman uang dari orangtua setiap bulan, juga selalu dirindukan oleh keluarga. Itulah yang mendasari cita-cita saya pada waktu masih SD.

Setelah saya lulus SD, tepatnya tahun 2006, saya meminta orangtua saya untuk mendaftarkan saya ke pondok pesantren. Dan permintaan saya pun dikabulkan oleh orangtua saya. Karena memang orangtua saya senang sekali dengan cita-cita saya. Mungkin karena dari dulu orangtua saya suka dengan pendidikan agama, dan juga sudah banyak pengalaman tentang pondok pesantren. Sehingga pada waktu saya meminta kepada orang tua saya untuk mendaftarkan saya di pondok pesantren, orangtua tidak terlalu banyak pertimbangan dalam mengabulkan permintaan saya.

Hari pertama saya tinggal di pondok pesantren, belum merasakan sedih karena pisah dengan keluarga, belum merasakan kesepian, dan juga belum merasakan susah karena keterbatasan dan kesederhanaan. Mungkin waktu itu, karena dipengaruhi kebahagiaan saya atas terpenuhinya cita-cita saya. Akan tetapi satu minggu kemudian, perasaan sedih karena pisah dengan orang tua mulai muncul. Hari demi hari kerinduan semakin berat untuk di tahan. Perasaan kesepian mulai terasa di lubuk hati yang sangat dalam. Kehadiran teman-teman seakan-akan tidak bisa mengobati kegalauan hati karena kerinduan akan kehadiran orang tua di hadapan saya. Namun meskipun demikian, saya mencoba untuk bertahan, mencoba untuk bersabar demi cita-cita saya yang telah lama saya dambakan.

Kegalauan hati saya, sedikit demi sedikit terobati oleh mata pelajaran di kelas. Pertama kali saya masuk kelas di Pondok-Pesantren yaitu kelas “IBTIDA” dan mata pelajaran yang di kaji yaitu kitab “ALALA” kitab ini menurut saya waktu itu, waktu saya sedang “GALAU” mampu mengobati hati saya. Mungkin karena isinya yang selalu memotivasi. Selain itu isi kitabnya pun berupa syair yang identik untuk dilagukan, sehingga mudah untuk dihapalkan dan dipahami.

Setelah masa orientasi selesai, pelajaran mulai berjalan dengan kondusif, tugas menghafal setiap hari tidak pernah berhenti. Kesulitan menghafal mulai saya rasakan, hal ini karena dipengaruhi oleh keterbatasan kecerdasan akal saya, dan saya memaklumi kondisi saya waktu itu. Akan tetapi kelemahan akal saya, tidak saya biarkan mematahkan cita-cita saya. Hampir setiap istirahat, waktu saya habis untuk belajar. Istirahat untuk tidur pun saya kurangi untuk belajar. Namun meskipun demikian usaha saya belum membuahkan hasil yang bagus. Saya masih kalah dengan teman-teman saya dalam menghafal. Nilai saya pun setiap hari selalu di bawah teman-teman saya. Hanya bersabar yang dapat saya lakukan waktu itu.

Menghafal adalah rutinitas santri tsanawiyah yang tidak bisa ditawar. Dan nilai harian adalah hal yang tidak bisa diremehkan. Karena keduanya adalah sebagai pelatihan meningkatkan kecerdasan dan sebagai tolak ukur kemampuan santri tsanawiyah. Mau tidak mau saya pun harus mengikuti program yang telah ditetapkan di Pondok-Pesantren. Meskipun setiap hari saya harus merasa sedih karena nilai saya yang selalu rendah.

“ MANJADDA WAJADDA” kata mutiara ini yang pertama kali saya dengar dari ustaz saya, dan pertama kali yang memotivasi saya. Ustaz saya, memotivasi para muridnya di kelas dengan kata itu. Beliau menyampaikan kata itu memang untuk memotivasi para muridnya agar tidak patah semangat. Karena waktu itu beliau melihat dan memahami murid-muridnya sedang patah semangat karena kesulitan menghafal.
Berawal dari motivasi ustaz, semangat saya yang sudah mulai menurun mulai meningkat kembali. Pelajaran yang tadinya mulai saya abaikan, saya pelajari dan hapalkan lagi. “Saya yakin suatu saat nanti saya akan mendapatkan nilai yang bagus. Saya mampu bersaing dengan teman- teman saya. Dan saya yakin, saya akan menjadi juara kelas”. Itulah serangkai kata yang muncul dari hati saya setelah saya memahami motivasi dari ustaz saya waktu ngaji.

Semangat belajar semakin tinggi. Setiap hari waktu saya habis saya gunakan untuk belajar. Nilai yang tadinya saya jadikan sebagai penyemangat, mulai saya abaikan demi terjaganya kestabilan belajar. Di dalam hati saya, telah tertanam kata motivasi dari ustaz saya. Keyakinan saya akan hasil akhir selalu saya jaga. Sampai bertahun- tahun lamanya.

Tahun-demi tahun, kesulitan dapat saya hadapi tanpa putus asa. dan sekarang saya sudah memasuki kelas IX Tsanawiyah. Di kelas IX inilah saya merasakan kebahagiaan yang luar biasa. Kebahagiaan yang telah lama saya dambakan, yaitu merasakan kemudahan dalam menghafal, memahami semua mata pelajaran yang ada di kelas IX. Nilai harian di kelas IX juga lebih bagus dari pada nilai pada waktu masih kelas VII dan VIII. Setiap akhir semester juara kelas pun saya dapatkan. Keyakinan saya akan kata motivasi ustad pada waktu masih kelas VII atau kelas “IBTIDA” yang berbunyi “MANJADDA WAJADA”. Semakin tertanam di dalam hati saya. Keistiqomahan belajar terus saya pertahankan. Karena saya telah membuktikan kebenarannya.

Menjadi juara kelas tidak berhenti sampai kelas IX saja. Dari kelas IX sampai kelas XII saya berhasil mempertahankan juara kelas. Para guru dan teman-teman yang tadinya merasa kasihan dengan saya, sekarang berubah menjadi heran dengan perkembangan saya. Pernah suatu hari salah satu guru kelas XII menyempatkan waktunya untuk mempelajari perkembangan saya. Banyak pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan kepada saya. Khususnya tentang “Bagaimana cara saya meningkatkan kemampuan saya dalam belajar”.

Selain merasa heran, banyak juga para guru yang simpatik dengan saya. Karena menurut mereka, saya adalah murid yang patut di teladani. Selain saya mampu bertahan atas kelemahan akal saya waktu saya masih duduk di kelas VII, saya juga terkenal sebagai santri yang rajin, istiqomah, dan disiplin dalam belajar, dengan penuh keyakinan akan hasil akhir yang bagus. Menurut mereka keberhasilan saya ini didasari dengan kesungguhan belajar saya.

Berawal dari kebodohan saya yang terlihat di kalangan para guru, kemudian berubah menjadi sang juara di setiap tingkatan baru. Akhirnya mereka memberikan kepercayaan kepada saya untuk menjabat sebagai “Keamanan kelas”. Jabatan ini di Pondok-Pesantren sudah tidak asing lagi. Hampir setiap tingkatan kelas pasti ada. jabatan “KEAMANAN”. Fungsi keamanan sebagai penggerak sekaligus pelaksana ketertiban dan ketenteraman kelas. Karena kepercayaan yang diberikan kepada saya adalah suatu penghargaan atas keberhasilan saya, maka saya terima jabatan itu. Dan saya pun menjalankannya dengan bekal kebiasaan saya yang telah memelopori keberhasilan saya dalam mengubah kebodohan saya. Yakni kebiasaan bersungguh-sungguh dalam mengerjakan sesuatu.

Jabatan keamanan saya jalani selama enam tahun. Mulai saya kelas XII akhir sampai saya selesai kelas syawir atau kelas masa pelatihan pengurus Pondok Pesantren. Sebenarnya jabatan “KEAMANAN”. Hanya satu tahun, akan tetapi jabatan “KEAMANAN” Selalu diberikan kepada saya. Sampai selama enam periode atau selama enam tahun.
Dalam perjalanan sebagai “KEAMANAN” banyak pengalaman yang saya dapatkan. Mulai pengalaman menangani santri-santri yang nakal, mencegah perbuatan-perbuatan santri yang melanggar, sampai pengalaman menjadi penasihat para anggota “KEAMANAN BARU”. 

Jabatan “KEAMANAN” juga memberikan saya banyak pelajaran tentang undang-undang Pondok-Pesantren. Mulai dari cara merumuskan undang-undang, menerapkan dasar undang-undang berbasis “KITAB KUNING” sampai pada pelajaran mengaplikasikan undang-undang kepada santri.

Pelajaran yang tidak kalah penting yang saya dapatkan pada waktu menjabat sebagai “KEAMANAN” adalah tentang “BAGAIMANA CARA MENCINTAI MANUSIA”. Dari situlah saya dapatkan. “mutiara-mutiara kehidupan”. Yang tidak dapat di dapatkan melainkan dengan cita-cita, keistiqomahan, keyakinan, ketaatan, dan tawakal.

Oleh karena itu, saya mengimbau kepada para pembaca, marilah kita ubah mindset kita dari sekarang. Mindset yang suram kita ganti dengan mindset yang cemerlang. Insyaalloh jalan kita akan dimudahkan, dan keberhasilan cita-cita kita, akan kita dapatkan.

Baca Juga: [OPINI] Literasi: Langkah Penting Dukung Pembangunan Indonesia Maju

Mansur kks Photo Writer Mansur kks

Member IDN Times Community ini masih malu-malu menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Novaya

Berita Terkini Lainnya