Setahun Pandemik: Semua Serba Kali Pertama

#SatuTahunPandemik COVID-19, saya memilih bertahan

Nyaris setahun sudah pandemik COVID-19 mewabah di dunia. Artinya, setahun sudah insan di dunia berjuang untuk melawan, atau setidaknya bertahan, dari serangan virus Corona. Tak terkecuali masyarakat Indonesia. Kamu dan saya termasuk di dalamnya.

2020 bukan tahun yang mudah, juga untuk saya. Banyak pilihan terpampang di depan mata. Perihal pekerjaan,  arah masa depan, kehidupan sosial, dan masih banyak lainnya. Di antara pilihan yang ada, hingga saat ini saya memilih bertahan.

Buat saya, COVID-19 tidak sepenuhnya mimpi buruk yang menjadi nyata. Faktanya, banyak pelajaran berharga, banyak momentum yang tak rela saya tukar dengan apa pun juga. Meski banyak duka, banyak luka, banyak sakit yang terpaksa ditutupi tawa,
COVID-19 membawa saya menemukan banyak pengalaman yang saya jalani untuk kali pertama.

Kali pertama liputan jadi virtual semua

Kala itu, 16 Maret 2020, pemerintah Indonesia menyerukan belajar, bekerja, dan beribadah dari rumah. Sejak saat itu, banyak hal berubah. Setidaknya untuk saya dan kehidupan pekerjaan saya. Tiba-tiba, tidak ada lagi aktivitas liputan lapangan. Tiba-tiba, tak ada lagi doorstop sembari berdesakan dengan sesama rekan wartawan. Tiba-tiba, semua pekerjaan berpindah virtual. Dibatasi layar dan bergantung pada jaringan.

Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat, wilayah perbatasan darat Indonesia dan Malaysia menjadi lokasi terakhir saya turun langsung ke lapangan untuk liputan. Setelahnya, semua kegiatan peliputan berpindah dalam jaringan.

Tak ada lagi bertatap muka langsung dengan Mas Menteri Nadiem Makarim (Mendikbud) dalam liputan lapangan. Tak ada duduk ngemper di lapangan bersama rekan wartawan sembari menunggu agenda acara atau jadwal persidangan untuk jadi bahan liputan.

Bahkan, tak ada lagi gelak tawa, riuh teriak, dan eufroria semangat yang dirasakan langsung ketika laporan pertandingan bulutangkis dituliskan. Detik saat saya menulis refleksi ini, saya tiba-tiba merindukan suasana Istora Senayan.

Bekerja remote bukan hal yang baru di IDN Times dan IDN Media. Bahkan, bukan juga hal baru untuk wartawan. Pada dasarnya, sistem kerja kami memang remote dari lapangan, bukan? Tapi tetap saja, beda rasanya. Ada hal baru yang harus diadaptasi, ada kebiasaan baru yang harus dibiasakan.

Contoh sederhana, pakai masker ke mana-mana. Atau, hal yang bagi saya dengan love language physical touch cukup menyedihkan adalah larangan untuk bersentuhan. Bayangkan, saat rangkulan, tepukan, pelukan biasa jadi penyemangat dan sumber kebahagiaan saya, kini physical distancing diwajibkan, bersentuhan seolah diharamkan. Tidak nyaman. Tapi mau tidak mau harus dibiasakan.

Kali pertama jalani rapid dan swab bahkan sadar ada kemungkinan masalah kesehatan

Juni, Juli, Agustus, jadi bulan cukup istimewa. Tiga bulan beruntun itu memberi saya pengalaman kali pertama menjalani test usap untuk memastikan tidak ada virus Corona yang tinggal di tubuh saya. Pada Juni dan Juli, sebelum tes usap, saya menjalani tes rapid, kedua hasilnya menunjukkan hasil reaktif.

Puji Tuhan, tiga kali menjalani tes usap, tiga kali hasilnya negatif. Rasanya campur aduk. Dari ketakutan menjalani proses pengambilan sampel, debar jantung seolah lebih cepat tiap hari menunggu hasil tes, hingga rasa gundah dan sedih takut menjadi pembawa virus untuk keluarga.

Situasi pandemik ini juga membuat saya sedikit lebih peduli dengan kesehatan fisik saya. Memutuskan untuk sejenak memeriksakan diri ke dokter, kembali saya merasakan pengalaman kali pertama. Di kesempatan ini, kali pertama saya mengetahui ada yang tidak beres dengan kesehatan fisik saya.

Ternyata, saya tak sekuat dan sesehat yang saya bayangkan dan rasakan selama ini. Ingin memeluk diri sendiri, sekadar berterima kasih karena sudah bertahan selama ini.

Kali pertama ulang tahun tanpa kehadiran langsung keluarga, sahabat dan teman
Bagi saya, ulang tahun selalu jadi momentum isitmewa. Biasanya saya habiskan dengan beragam kegiatan bersama keluarga, sahabat dan teman-teman, biasanya diramaikan dengan makan bersama. Mengundang mereka yang punya tempat istimewa di hati saya untuk menyantap hidangan sederhana, bersama. Diisi gelak tawa, diisi kejutan sederhana namun selalu penuh makna, diisi pelukan yang seolah mengisi ulang baterai hidup saya sampai kembali penuh jadinya. Itu biasanya, namun kali ini berbeda.

Tahun  2020 jadi kali pertama saya tak merayakan ulang tahun sehangat biasanya. Bersyukur masih ada kejutan dari rekan kerja. Masih banyak sapaan via telepon, videocall, pun pesan singkat dari mereka yang tersayang bagi saya.

Paling sedihnya, saya harus merayakan pertambahan usia saya, untuk kali pertama, tanpa pelukan hangat dari keluarga. Kala itu, 20 Juli 2020, saya masih harus menjalani masa isolasi mandiri sembari menunggu hasil tes usap kedua saya tahun itu.

Ulang tahun saya diawali dengan doa bersama keluarga, dengan jarak di antara kami tentunya. Sedih rasanya. Bahkan di hari yang istimewa untuk saya, tak ada pelukan sehangat biasanya.

Kali pertama pertemuan virtual jadi obat dan kebiasaan penyemangat

Tapi nyatanya, setahun pandemik tak sepenuhnya jadi mimpi buruk, setidaknya untuk saya. Jika perjumpaan dengan sahabat dan orang tersayang dulu kerap terhalang ruang dan waktu, belum lagi kesibukan, sekarang seolah semua teratasi dengan pertemuan virtual yang semula aneh namun makin lama semakin menyenangkan.
Bertemu mereka yang sejak dulu selalu ada untuk saya secara fisik, kini terpaksa dibatasi layar saja.

Tapi, untuk kali pertama saya merasa pertemuan virtual menjadi obat dalam sakit dan jadi kebiasaan yang jadi penyemangat menjalani hari serta jadi momentum menumpahkan beban, penat. Melepas tawa bersama, berbagi cerita, tak jarang sampai hari berganti dan mata terpejam tanpa sempat berpamitan “sampai jumpa di hari lainnya." Lucu, unik, aneh, namun istimewa.

Kali pertama merasa di titik terendah, burnout, tapi memutuskan tetap bertahan.

Tahun 2020 juga jadi kali pertama saya merasa ada di titik terendah hidup saya. Orang menyebutnya jenuh, bosan, mungkin efek bekerja dari rumah saja, mungkin burnout dengan segala tanggung jawab yang ada, entah. Saya pun tak mengerti.
Namun pandemik ini juga untuk kali pertama mengingatkan saya bahwa kesehatan mental saya, tidak kalah penting dengan kesehatan fisik yang selama ini berusaha dijaga. Saya belajar, semua perasaan valid untuk diakui keberadaannya.

Bahagia, duka, suka, luka, gembira, malas, penat, jenuh, lelah, muak, semua rasa valid keberadaannya.

Di tengah masa sulit dalam mencoba tetap waras, beberapa orang datang dan pergi, membuat ketidakpastian mengisi hari-hari. Efeknya, tak karuan suasana hati tapi terus menampakkan senyum dan tawa untuk menutupi.

Dari banyak opsi yang disajikan. Untuk ikut pergi, lari, sembunyi, mengambil langkah lain yang mungkin menyenangkan meski sesaat, saya memilih bertahan.

Dengan mimpi dan harapan, dengan sisa-sisa kekuatan, dengan dukungan dari mereka yang tersayang, saya bertahan. Untuk terus menjaga kesehatan, untuk terus mengupayakan kebahagiaan, untuk saya dan orang terdekat saya, saya bertahan.

Menutup refleksi ini, satu ingin saya sampaikan, kepada diri sendiri dan kalian yang membaca cerita panjang ini yang semoga meninggalkan kesan: terima kasih masih bertahan.

#SatuTahunPandemik adalah refleksi dari personel IDN Times soal satu tahun virus corona menghantam kehidupan di Indonesia. Baca semua opini mereka di sini.

Baca Juga: Setahun Pandemik: Belajar Multitasking hingga Afirmasi Diri

Topik:

  • Umi Kalsum

Berita Terkini Lainnya