Mempertahankan Eksitensi Toko Buku: Upaya Mendukung Gerakan Literasi

Keterkaitan antara gerakan literasi dengan toko buku

Akhir-akhir ini kita sering mendengar kata “literasi”. Kata ini ramai diperbincangkan di komunitas-komunitas, TBM (Taman Bacaan Masyarakat), sekolah, kampus hingga ke pemerintah pusat. Apa itu literasi? Dalam bahasa Latin, literasi (literatus) didefinisikan sebagai orang yang belajar. Dalam bahasa Inggris, literacy, artinya kemampuan untuk menulis dan membaca. Sedangkan dalam bahasa Yunani, littera, diartikan sebagai teks atau tulisan beserta sistem yang menyertainya.

Secara sederhana, literasi dapat diartikan sebagai kemampuan menulis dan membaca. Kemudian terampil dalam mengolah informasi dan pengetahuan. Sedikitnya ada enam literasi dasar; 1). Literasi baca tulis; 2). Literasi numerasi; 3). Literasi sains; 4). Literasi digital; 5). Literasi finansial; 6). Literasi budaya dan kewargaan.

Pemerintah pusat mulai menggaungkan gerakan literasi setelah tingkat minat baca Indonesia sangat memprihatinkan. Menurut data dari UNESCO, tingkat minat membaca di Indonesia hanya mencapai 0,001 persen. Jika dikalkulasikan, itu artinya, dari 1.000 orang di Indonesia, hanya ada 1 orang yang rajin membaca. Dan jika di kota yang saya tempati saat ini berpenduduk 442.803 orang (data tahun 2020), maka hanya ada 442 orang yang rajin membaca.

Semalas itukah orang Indonesia untuk perihal membaca? Padahal, banyak sekali manfaat dari aktivitas membaca. Dilansir dari situs sibopakasara.kemdikbud.go.id, ada beberapa manfaat dari kebiasaan membaca, di antaranya: Dapat menstimulasi mental, dapat mengurangi stress, menambah wawasan dan pengetahuan, dapat menambah kosakata, dapat meningkatkan kualitas memori, dapat meningkatkan fokus konsentrasi, melatih keterampilan untuk berfikir dan menganalisa, dapat memperluas pemikiran seseorang, dapat membantu mencegah penurunan fungsi kognitif, dapat meningkatkan hubungan sosial, dapat mendorong tujuan hidup seseorang dan lain-lain.

Budaya membaca juga dapat memajukan pendidikan. Menurut Billy Antoro dalam Gerakan Literasi Sekolah: Dari Pucuk Hingga Akar Sebuah Refleksi (2007: 14), membaca adalah salah satu aktivitas dalam kegiatan berliterasi, merupakan kunci bagi kemajuan pendidikan. Lewat aktivitas membaca, kita mendapatkan beragam ilmu pengetahuan.

Salah satu dampak dari rendahnya minat baca di Indonesia yaitu banyaknya toko buku yang gulung tikar. Mereka bangkrut. Buku-buku yang diterbitkan para penerbit hanya terpajang rapih di rak-rak toko buku, ditemani debu dan laba-laba. Toko buku sepi pembeli.

Jika menengok ke beberapa abad yang lalu, di masa kejayaan Islam (masa kepemimpinan Abbasiyah), Toko Buku memiliki peranan penting dalam membangun peradaban.

Bagaimana peranan toko buku di masa itu?

Peran toko buku dalam membangun peradaban

Mempertahankan Eksitensi Toko Buku: Upaya Mendukung Gerakan LiterasiIlustrasi Toko Buku (Book Store) (IDN Times/Anata)

Ketika tinggal di Bandung, Saya sering mengunjungi lapak buku bekas milik Kang Ade. Lapak buku Kang Ade terletak di depan Kampus Universitas Padjajaran (UNPAD) Jatinangor. Tidak hanya Kang Ade yang berjualan buku di lapak-lapak itu. Banyak teman-teman Kang Ade yang lainnya juga menawarkan buku dengan berbagai tema bacaan.

Buku-buku yang dijual di lapak ini adalah buku-buku bekas. Meskipun dalam kondisi bekas, buku-buku yang ditawarkan masih layak baca dan layak dikoleksi. Banyak ragam buku yang ditawarkan di lapak buku milik Kang Ade ini. Dari mulai buku sastra, politik, budaya, ekonomi, sosial, sains dan sejarah. Di lapak buku ini saya pernah mendapatkan buku Kitab Lupa Gelak Tawa (2015) karya Milan Kundera, The Missing History (2015) karya Peer Holm, Jorgensen, Gabriela, Cengkih, dan Kayu Manis (2014) karya Jorge Amando, Pers di Masa Orde Baru (2011) karya David T. Hill, Aleph (2016) dan The Pilgrimage (2011) karya Paul Coelho.

Ada tiga nilai yang saya dapatkan ketika berkunjung ke toko buku miliki Kang Ade. Pertama, saya mendapatkan buku baru untuk dibaca dan dikoleksi. Kedua, saya dapat berjumpa dengan penjual dan pembeli buku secara langsung. Ketiga, saya mendapatkan pengetahuan dan pengalaman baru.

Pedagang buku seperti Kang Ade ini adalah pembaca yang baik. Pengetahuannya luas. Tidak sedikit ilmu yang saya dapatkan manakala saya duduk berlama-lama dan mendiskusikan satu perkara.

Selain toko buku milik Kang Ade, saya juga sering berkunjung ke toko buku Kebul milik Kang Mughni yang terletak di depan Masjid Kifayatul Achyar. Masjid ini tidak jauh dari kampus I UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Banyak buku-buku filsafat di jual di toko buku ini. Yang saya tahu tentang Kang Mughni: beliau merupakan seorang pecinta buku, penggila buku, pembaca buku yang baik, penyair, pemikir dan penulis novel.

Suatu ketika saya pernah berdiskusi dengan Kang Ade mengenai dunia perbukuan. Ketika itu obrolan saya buka dengan keresahan yang saya alami. Saya menceritakan betapa sulitnya saya mendapatkan buku-buku bagus di kota yang saya tempati. Terutama buku-buku referensi bertemakan sejarah. “Di kota tempat tinggal dan tempat kuliah saya dulu hanya ada dua sampai tiga toko buku. Bahkan ada toko buku yang sudah gulung tikar. Padahal di kedua kota itu berdiri banyak perguruan tinggi negeri dan swasta,” kataku.

“Kenapa bisa begitu?” tanya Kang Ade.

“Yah alasannya karena sepi pengunjung. Minat baca yang kurang, dan mahalnya biaya sewa tempatnya, Kang.” Jawabku asal jeplak.

Kang Ade terdiam. Ia lalu memberikan pernyataan yang cukup menohok, “Seharusnya kota besar yang ingin peradabannya maju itu harus memiliki banyak toko buku baru maupun toko buku bekas.”

Mendengar pernyataan Kang Ade, pikiran saya melayang jauh ke masa Abbasiyah di Baghdad. Betapa majunya peradaban saat itu. Buku menjadi simbol kemajuan peradaban. Ramainya filosof dan ilmuwan yang menggalih pengetahuan di laboratorium dan perpustakaan. Pada masa itu dikenal sebagai puncak kejayaan Islam (golden age). Popularitas Bani Abbasiyah mencapai puncaknya di masa kepemimpinan Khalifah Harun ar-Rasyid (786-809 M) dan puteranya Al-Ma’mun (813-833 M).

Pada masa pemerintahan Khalifah Al-Ma’mun, penerjemahan buku-buku Yunani lebih digiatkan

Mempertahankan Eksitensi Toko Buku: Upaya Mendukung Gerakan LiterasiKedutaan John the Grammarian pada tahun 829, antara kaisar Bizantium Theophilos (kanan) dan khalifah Abbasiyah Al-Ma'mun, dari Madrid Skylitzes, fol. 47r, detail. (Unknown, 12th/13th century author, Public domain, via Wikimedia Commons)

Pada masa itu terdapat perpustakaan yang begitu besar pengaruh dan peranannya, Baitul Hikmah (rumah kebijaksanaan). Peranan Baitul Hikmah saat itu tidak hanya sebagai perpustakaan saja, melainkan tempat itu juga berperan sebagai pusat penterjemahan, lembaga pendidikan, observatorium astronomi dan pusat kajian.

Selain berdirinya perpustakaan, gambaran mengenai kemajuan peradaban dan kemajuan ilmu pengetahuan pada masa itu juga dapat dilihat dari banyaknya toko buku yang berdiri. Menurut Philip K. Hitti dalam History of Arabs (2013: 521), bahwa pada zaman Abbasiyah, di Baghdad terdapat lebih dari seratus toko buku yang berderet di ruas jalan yang sama. Kemudian toko-toko buku ini berkembang di Damaskus dan Kairo. “Pojok buku atau pojok warraq di Baghdad letaknya sedikit di luar bagian tertua di kota itu, kota melingkar yang didirikan oleh Al-Manshur, di sebelah tenggara, di antara bendungan-bendungan... para sastrawan sering berkumpul di tempat ini. Di kios-kios ini mereka membicarakan isu-isu sastra,” ujar J. Pedrsen dalam Fajar Intelektualisme Islam: Buku dan Sejarah Penyebaran Infomasi di Dunia Arab (1996: 75).

Di masa Abbasiyah, toko buku ikut berperan andil dalam membangun peradaban Islam. Para penjual buku saat itu banyak yang berprofesi sebagai penyalin (warraq), penulis kaligrafi dan ahli sastra.

Saat itu toko buku menjadi tempat diskusi dan kajian ilmiah. Dalam Sejarah Pendidikan Islam (2019: 139), J. Suyuthi Pulungan menuliskan, pemilik toko buku biasanya menjadi tuan rumah dalam kegiatan diskusi. Terkadang mereka juga sebagai muallim dalam lingkaran studi (halakah) yang memimpin pengkajian. Sebagian para pemilik toko buku saat itu adalah para ulama.

Salah satu toko buku yang terkenal di masa itu adalah toko buku milik al-Nadim (936-995 M). Abu Faraj Muhammad bin Abi Yaqub Ishaq al-Nadim al-Baghdadi, atau al-Nadim, merupakan pedagang buku, pecinta buku, penyalin naskah dan penulis kitab al-Fihrist yang legendaris itu.

Kitab yang ditulis al-Nadim ini semacam bibliografi. Dalam kitab ini berisi informasi sekitar 8360 kitab dan 2238 penulis. Dalam Sumbangan Islam Kepada Ilmu dan Peradaban Modern (2008: 135), S.I. Poeradisastra menjelaskan, karya al-Nadim ini berisi catatan lengkap mengenai karya-karya ash beserta karya-karya Yunani, Persia, India, Qibti, dan Suryani yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab pada masa Daulah Abbasiyah.

Episode kejayaan Islam dan kejayaan ilmu pengetahuannya berakhir manakala Hulagu Khan dan tentara Mongol datang menyerang Kota Baghdad. Tentara Mongol membunuh orang-orang Islam, termasuk para ulama. Mereka juga membumi hanguskan Kota Baghdad. Baitul Hikmah hancur.

Fernando Báez dalam Penghancuran Buku dari Masa ke Masa (2017: 126) menuliskan, naskah-naskah di perpustakaan dibawa ke muara Sungai Tigris dan dilempar ke sungai agar tintanya bercampur dengan darah. Inilah aksi penghancuran yang direncanakan matang dengan maksud menghancurkan kebanggan intelektual rakyat Baghdad.

Abbasiyah mencapai puncak keemasan manakala mereka terus menggalih dan menghargai ilmu pengetahuan. Intelektual dan laku para khalifah berperan penting di masa Abbasiyah. Namun Al-Mu’tasim (1243-1258) gagal menjaga tradisi yang dibangun oleh para pendahulunya itu. Lemahnya figur seorang khalifah dan hidup bermewah-mewahan menjadi faktor lain penyebab runtuhnya Daulah Abbasiyah.

Pernyataan yang disampaikan Kang Ade ketika itu sangat relevan dengan apa yang diungkapkan oleh para ilmuwan mengenai teori perkembangan peradaban. Menurut Fukuzawa sebagaimana dikutip oleh M Abdul Jabar Beg dalam Perspektif Peradaban (1986: 8-14), peradaban adalah kemajuan, sesuatu yang terus-menerus maju. Tingkat atau majunya peradaban suatu bangsa dapat diukur dari tingkat kecerdasan dan moralitas, dan hancurnya suatu bangsa karena kebodohan dan bobroknya moralitas.

“Jika ingin menghancurkan sebuah bangsa dan peradaban, hancurkan buku-bukunya, maka pastilah bangsa itu akan hancur,” itu kata Milan Kundera, sastrawan kelahiran Cekoslowakia.

“Semakin Anda menengok pengalaman, semakin menyadari pentingnya sebuah buku,” itu kata Paulo Freire, pendidik dari Brazil.

“Selama toko buku ada, selama itu pustaka bisa dibentuk kembali. Kalau perlu dan memang perlu, pakaian dan makanan dikurangi,” itu kata Tan Malaka dalam Madilog (1951: 15).

Bagaimana agar toko-toko buku dapat bertahan?

Mempertahankan Eksitensi Toko Buku: Upaya Mendukung Gerakan LiterasiIlustrasi Toko Buku (Book Store) (IDN Times/Anata)

Semalam (29/06/22) saya mendapatkan kabar dari teman penjual buku di Bandung. Katanya, buku yang saya pesan sudah dikirim. Lewat media sosial facebook, saya memesan tiga buku yang ditawarkannya: Forum Bengkarung (1994) karya Yudhistira Anm Massardi, Remang-remang Jakarta (1996) karya Yuyu A.N. Krisna dan Politik Kekuasaan Menurut Niccollo Machiavelli: Il Principe (1997).

Sejak tahun 2014, saya sudah memanfaatkan media sosial untuk mencari buku yang diinginkan. Para penjual buku online sangat berperan penting ketika saya menyusun tugas akhir di bangku perkuliahan. Buku-buku yang tidak ada di perpustakaan kampus, perpustakaan kota, dan perpustakaan daerah—bisa saya pesan ke lapak-lapak online.

Saat itu buku-buku yang saya pesan tergolong langka. Saya harus jeli mencari dari lapak satu ke lapak lain. Adakalanya saya mengirim pesan ke para penjual buku untuk dibantu dicarikan buku yang saya butuhkan.

Dengan bantuan para pelapak online, saya mendapatkan buku Jihad Akbar di Medan Area (1990) karya Amran Zamzami, Tionghoa Dalam Pusaran Politik (2008) karya Benny G. Setiono, Negara dan Etnis Tionghoa (2002) karya Leo Suryadinata, Masyarakat dan Kebudayaan Cina Indonesia (1993) karya Hidajat Z.M dan John Lie: Kisah Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan NKRI Dalam Operasi Lintas Laut Militer Menerobos Blokade Belanda (2008). Buku yang disebutkan terakhir merupakan catatan Laksamana Muda John Lie ketika berdinas di Angkatan Laut Republik Indonesia pada masa revolusi fisik.

Membeli buku di lapak online sudah menjadi candu sampai hari ini. Dalam satu minggu ada saja kurir yang datang ke rumah mengantarkan paket berisi buku. Akhir-akhir ini saya sedang berburu buku-buku lawas atau buku-buku kuno. Ini yang menjadi menarik dari para pelapak buku online. Mereka tidak hanya menawarkan buku baru, tapi mereka juga menawarkan buku-buku lawas, koran lawas, majalah lawas, surat-surat lawas dan perangko. Bahkan, ada juga pelapak yang menjual manuskrip.

Sebelum mengenal lapak buku online, saya biasa membeli buku di toko buku yang berada di pusat kota. Dahulu, sepulang kuliah, satu sampai dua kali dalam satu minggu saya mampir ke toko buku. Saya sangat senang berada di dalam toko buku. Namun, setelah mengenal lapak buku online, kebiasaan mampir ke toko buku agak berkurang. Meskipun lapak buku online menyediakan buku-buku yang saya inginkan, tetap saja, saya merindukan suasana di toko buku.

Saya mencoba menanam kebiasaan itu kembali, membeli buku di toko buku offline. Dalam satu bulan, minimal satu sampai dua kali saya harus berkunjung ke toko buku offline. Kembali membaca ratusan judul buku. Memanjakan mata pada deretan dan tumpukan buku. Menghirup sedikit aroma surgawi yang dipercikan Tuhan di dalam toko buku.

Hari ini (2/7/22), untuk melepas kerinduan aroma toko buku, saya sengaja berkunjung ke salah satu toko buku yang masih bertahan di Kota Cilegon. Toko Buku Qiryani namanya. Toko buku ini terletak di jalan D.I. Panjaitan/Pagebangan No. 15 Jombang Wetan, Cilegon. Diapit oleh dua toko (Toko Miumi dan Toko Teladan), toko buku ini tepat berada di depan SDN Cilegon VII. Di depan toko buku terdapat penjual ayam potong yang buka sampai sore hari. Awalnya, Toko Buku Qiryani buka di Jl. A. Yani No 141 Cilegon, jalan utama Cilegon-Serang. Namun karena masa kontraknya habis, pada tahun 2019, toko buku ini pindah ke tempat yang sekarang.

Ketika saya memarkirkan sepeda motor tepat di depan etalase yang memuat buku dan ATK, di dalam toko buku nampak sepi. Hanya terlihat dua orang remaja yang sedang berada di depan layar komputer. Kedua remaja ini adalah anak dari pemilik toko buku.

Memasuki toko buku, tiba-tiba saya terbayang dengan jalanan yang baru saya lewati. Mall dengan ribuan pengunjungnya. “Seandainya toko buku ini seramai toko-toko baju yang saya lewati tadi,” kataku dalam hati.

Di dalam toko buku yang mulai dirintis pada tahun 2004 ini, mata saya mulai menjelajahi deretan buku-buku yang tersusun rapih. Buku-buku sejarah dan sastra mulai menggoda. Namun buku-buku lain pun tak kalah menariknya. Mata saya sibuk melihat dari kanan ke kiri pada deretan judul buku yang tertera. Tiga puluh menit tak terasa saya habiskan dalam toko buku ini. Di toko buku Qiryani ini saya meminang buku H.O.S. Tjokroaminoto: Dari Santri Menjadi Guru Tokoh Bangsa (2020) karya Mikael Marasabessy.

Dari Toko Buku Qiryani, saya mampir ke lapak koran milik Kang Yadi, letaknya di seberang gedung Ex Matahari Lama. Bisa dikatakan, lapak koran ini satu-satunya yang masih bertahan di Kota Cilegon. Di lapak ini saya berlangganan koran mingguan dan majalah Intisari.

Pada edisi bulan Juli 2022 ini, majalah Intisari mengangkat tema Seratus Tahun Chairil Anwar. Tak jauh berbeda cerita penjual buku dan penjual koran di kota ini. Mereka mengeluhkan sepinya konsumen. Semakin hari semakin menghilang keberadaan para pembaca itu, ujar mereka.

Berbicara mengenai eksistensi toko buku di Kota Cilegon, sepengetahuan saya, saat ini ada beberapa toko buku yang masih bertahan; Pertama, toko buku Pioneer; Kedua, toko buku Salemba; Ketiga, toko buku Qiryani; Keempat, Toko Buku Gramedia; Kelima, toko buku Gunung Agung. Gramedia dan Gunung Agung tergolong toko buku yang baru berdiri di kota ini.

Sebelumnya memang ada toko buku yang cukup besar, yaitu toko buku Tisera. Tapi, toko buku itu tutup. Tanpa disadari, setelah lapak koran yang hilang dari kota ini, satu persatu toko buku di kota ini juga perlahan gulung tikar. Alasannya, kurangnya minat masyarakat terhadap budaya membaca yang menyebabkan tutupnya toko buku. Dan alasan selanjutnya cenderung dibuat-buat, yaitu adanya buku digital atau buku elektronik (e-book) yang lebih praktis dan sederhana, katanya.

Ketika berkunjung ke toko buku offline, ada saja obrolan menarik. Meskipun obrolan itu hanya sepintas. “Dulu sama sekarang jauh berbeda. Dulu pengunjung di toko buku ini cukup ramai. Sekarang sepi,” kata pemilik toko buku Qiryani, saat saya berkunjung satu minggu sebelumnya (21/6/2022). Saya masih sibuk membaca judul buku di rak sebelah timur. “Ada pengunjung yang datang. Tapi nawar bukunya kebangetan. Beda sama situ. Milih, tanya harga, langsung bayar. Mereka yang datang ke toko buku hanya orang-orang yang mengerti. Orang-orang yang suka sama buku. Orang-orang yang paham buku,” sambungnya.

Para pelapak buku ini saya anggap orang hebat. Orang besar di negeri ini. Mereka bisa bertahan di tengah-tengah masyarakat yang tidak sama sekali suka membaca. Suka dengan buku. Andrea Hirata pernah menyinggung masalah ini, “berjualan buku di negeri yang penduduknya tidak suka membaca adalah tindakan heroik.”

Banyak kisah menarik dan menginspirasi dari para pedagang buku yang mempertahankan idealismenya itu. Di masa pandemi Covid-19, mereka masih dapat bertahan. Mereka menggunakan ribuan cara. Salah satunya yaitu menggunakan sistem daring (berjualan online). Buku difoto, lalu diupload di media sosial. Atau, mereka para penjual buku menitipkan barang dagangannya di marketplace, seperti: Bukalapak, Tokopedia, Lazada dan Shopee. Begitu juga dengan pemilik toko buku Qiryani ini. Mereka gigih mempertahankan eksistensinya di tengah arus industrialisasi di Kota Cilegon.

Saya sangat berharap, toko-toko buku itu terus bertahan. Terus menyinari kota ini. Dan kalau bisa jumlahnya bertambah. Bagaimana mungkin, mereka ingin membangun peradaban dengan literasi, tapi meninggalkan buku, mengabaikan keberadaan toko buku?

Saya masih ingat dengan pesan guru kami, Ayatulloh Marsai. Kata beliau, “salah satu cara menggaungkan gerakan literasi yaitu dengan mendukung dan mempertahankan eksistensi toko buku.”

“Omong kosong! Mereka yang meneriakan kata ‘literasi’, tapi enggan membaca buku. Enggan berkunjung ke perpustakaan. Enggan datang ke toko buku. Jika ingin membangun peradaban dengan narasi literasi, pertahankan eksistensi toko buku,” itu kataku menutup tulisan ini.

Baca Juga: [OPINI] Mencegah Radikalisme dengan Literasi Media

Muthakin Al Maraky Photo Writer Muthakin Al Maraky

Pendidik di Madrasah Al-Khairiyah Karangtengah - Relawan di Komunitas Literasi Damar26

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Novaya

Berita Terkini Lainnya